Jakarta (ANTARA) - Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) melanjutkan penyusunan naskah akademik kebijakan manajemen krisis siber dalam kegiatan diskusi yang diadakan di Jakarta Selatan, Kamis.

Diskusi tersebut mengundang pakar dan praktisi ahli teknologi keamanan informasi untuk memberi masukan komprehensif terkait manajemen krisis siber di antaranya Guru Besar Teknologi Informasi, Marsudi W. Kisworo, Guru Besar Ilmu Komputer, Richardus Eko Indrajit.

Baca juga: BSSN: kemudahan teknologi miliki risiko dan ancaman

Baca juga: Keamanan siber ibu kota baru, BSSN: Kami lihat dinamikanya

Baca juga: Hoaks menyerang pikiran, BSSN: Lawan juga dengan pikiran


"Kita tahu, krisis itu keadaan yang tidak selalu terjadi. Tapi, bisa terjadi. Karena itulah diperlukan suatu pengaturan bagaimana Indonesia ketika mengalami krisis, baik itu infrastruktur fisik yang diserang maupun infrastruktur fisik yang digunakan untuk menyerang," ujar Marsudi.

Marsudi mengatakan diskusi itu juga membahas langkah apa yang pertama kali dilakukan ketika krisis siber terjadi.

"Apa yang harus dilakukan. Siapa yang harus memimpin. Karena dalam krisis apapun, baik itu bencana alam atau lain-lain, itu harus ada leading sector," ujar Marsudi.

Pada kegiatan tersebut, Kepala BSSN, Hinsa Siburian menyampaikan sejumlah poin penting mengenai ancaman dan keamanan siber.

Menurut dia, keamanan siber menjadi fokus utama penyelenggaraan sistem elektronik, karena serangan siber terjadi secara masif dan dapat mengancam jiwa manusia, mengguncang kestabilan ekonomi, bahkan mengancam kedaulatan negara.

Dengan kondisi tersebut, manajemen krisis siber perlu dirumuskan sebagai suatu langkah administratif dalam rangka pengambilan keputusan secara cepat dan serentak untuk menghadapi semua potensi ancaman keamanan siber.

Hinsa menyebutkan bahwa kegiatan hari Kamis itu merupakan tindak lanjut dari diskusi pertama yang dilaksanakan pada 26 Agustus 2019.

Ia menambahkan bahwa berdasarkan penelitian dan laporan Google Temasek dan Bain bertajuk e-Conomy South East Asia 2019, diperkirakan nilai ekonomi berbasis internet di Asia Tenggara mencapai 100 miliar dolar AS atau Rp 1.418,17 triliun pada tahun ini. Dari angka tersebut, 40 persennya berasal dari Indonesia yang diperkirakan nilainya 40 miliar dolar AS.

Dengan nilai ekonomi yang luar biasa itu, kata Hinsa, Indonesia harus menjaga potensi-potensinya dari ancaman krisis siber guna mewujudkan pertumbuhan ekonomi nasional.

Hinsa mengatakan BSSN memiliki peran untuk menyediakan serta mengamankan ekosistem ranah siber yang nyaman, ramah, dan aman.

Salah satu upaya yang dilakukan BSSN yaitu memberikan jaminan keamanan dan perlindungan data kepada masyarakat Indonesia melalui Regulasi dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang profesional demi terwujudnya kesejahteraan ekonomi melalui infrastruktur teknologi yang aman.

Hinsa berharap diskusi itu dapat menghasilkan naskah akademik kebijakan serta rancangan peraturan BSSN tentang manajemen krisis siber yang unggul dan komprehensif yang menjadi basis dan panduan penyusunan perundang-undangan yang dapat menjadi payung hukum pengelolaan krisis siber nasional.

Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019