Jakarta (ANTARA) - Seorang nelayan bernama Abu Bakar didakwa menyuap Gubernur Kepulauan Riau Nurdin Basirun sebesar Rp45 juta dan 11 ribu dolar Singapura (sekira Rp112 juta) agar menandatangani izin Prinsip Pemanfaaatan Ruang Laut.

"Terdakwa Abu Bakar bersama-sama dengan Kock Meng memberi uang sejumlah Rp45 juta dan 11 ribu dolar Singapura kepada Nurdin Basirun selaku Gubernur provinsi Kepulauan Riau (Kepri) melalui Edy Sofyan selaku Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan provinsi Kepri dan Budy Hartono selaku Kepala Bidang Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan provinsi Kepri," kata jaksa penuntut umum (JPU) KPK Yadyn di pengadilan tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.

Baca juga: KPK periksa enam saksi kasus korupsi Gubernur Kepri non-aktif

Baca juga: KPK panggil tujuh saksi untuk tersangka Nurdin Basirun

Baca juga: KPK periksa delapan pihak swasta terkait kasus Nurdin Basirun


Pemberian uang itu dilakukan bertahap. Pertama, untuk uang Rp45 juta dimulai saat Abu Bakar mengenal Kock Meng sebagai pengusaha yang ingin mengurus izin pendirian restoran di daerah Tanjung Playu namun belum memiliki izin pemanfaatan ruang laut pada September 2018.

Abu Bakar mengaku mengenal Budy Hartono sebagai kepala bidang Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Kepri.

Pada Oktober 2018, Abu dan Kock Meng lalu menemui Budy Hartono di kantor Budy untuk mengajukan Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang Laut. Kock Meng mengajukan izin di Tanjung Playu, Batam seluas 50 ribu meter persegi sedangkan Abu Bakar mengajukan 20 ribu meter persegi di Jembatan Lima Barelang, Batam.

Budy Hartono menyampaikan syarat pengajuan izin ada biaya pengurusan sejumlah Rp50 juta, biaya itu disetujui.

Uang lalu diberikan oleh Kock Meng dan menyerahkan Rp50 juta kepada Abu Bakar di pelabuhan Sijantung. Selanjutnya Abu Bakar menyerahkan Rp45 juta kepada Budy Hartono di rumah Edy Sofyan sedangkan Rp5 juta digunakan Abu Bakar sebagai biaya operasionalnya.

Setelah menerima uang dari Abu, Budy Hartono menyerahkan uang tersebut kepada Edy Sofyan selaku Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan provinsi Kepri.

Hasilnya, izin prinsip pemanfaatan laut untuk Abu Bakar dan Kock Meng ditandatangani Gubernur Kepril Nurdin Basirun.

"Edy Sofyan kemudian menggunakan uang Rp45 juta itu untuk kepentingan Nurdin Basirun saat melakukan kunjungan ke pulau-pulau yang dilanjutkan makan bersama dengan rombongan. Edy Sofyan melakukan pembayaran untuk pengeluaran kegiatan tersebut atas sepengetahuan Nurdin Basirun," tambah jaksa Yadyn.

Kedua, pemberian uang 5.000 dolar Singapura terkait dengan permohonan izin Prinsip Pemanfaatan Ruang Laut di Tanjung Playu Batam seluas 10,2 hektare yang diajukan Abu Bakar pada 22 Mei 2019 kepada Budy Hartono.

Budy lalu meminta agar Abu Bakar menyiapkan dana sejumlah Rp50 juta.

Penyerahan uang dilakukan pada 30 Mei 2019 di pelabuhan Telaga Punggur Batam oleh Abu Bakar kepada Budy Hartono di dalam amplop cokelat. Saat dihitung uang tersebut berjumlah 5.000 dolar Singapura.

Setelah menerima uang tersebut Budy Hartono lalu menemui Edy Sofyan yang sedang berada bersama Nurdin Basirun di pelabuhan Pelantar I Tanjungpinang. Budy lalu menyerahkan amplop berisi uang itu kepada Edy dengan mengatakan "Pak ini ada titipan dari Abu Bakar".

Setelah menerima uang tersebut, Edy bersama rombongan Gubernur Nurdin Basirun melakukan kegiatan safari subuh ke pulau-pulau di Tanjung Pantun Sei Jodoh yang dilanjutkan sarapan ke kedai kopi, makan siang dan kegiatan lainnya.

"Setelah acara selesai, Edy Sofyan menemui Nurdin Basirun di hotel Harmono Nagoya Batam dan di dalam kamar Nurdin Basirun, Edy Sofyan menyerahkan amplop uang tersebut sambil berkata 'Pak ini titipan Abu'. Nurdin Basirun kemudian menerima amplop uang dari Edy Sofyan tersebut," jelas jaksa Yadyn.

Budy lalu menghubungi Shalihin untuk mengantar berkas izin prinsip ke Batam agar ditandatangani oleh Nurdin Basirun. Setelah menerima surat izin prinsip, Budy Hartono lalu menyerahkan surat izin tertanggal 31 Mei 2019 yang sudah ditandatangani Nurdin Basirun di pelabuhan Sijantung Jembatan Lima.

Ketiga, pemberian uang senilai 6.000 dolar Singapura terkait izin prinsip melakukan reklamasi. Menurut Budy Hartono, lokasi yang diinginkan Abu Bakar tidak masuk dalam 42 titik rencana Perda RZWP3K (Rencana Zonasi Wilayah Pesisi dan Pulau-Pualu Kecil) Kepulauan Riau.

Pada 5 Juli 2019, Budy Hartono menyampaikan kepada Abu Bakar untuk pembuatan data dukung ada biaya Rp75 juta dimana Rp25 juta akan diserahkan kepada Nurdin Basirun melalui Edy Sofyan. Abu Bakar lalu melaporkan kepada Kock Meng dan Kock Meng menyetujui dan menyerahkan uang Rp75 juta Budy.

Staf Budy, Aulia, pada 6 Juli 2019 bersama dengan tim penyusun dari Universitas Maritim Raja Ali Haji lalu turun ke lokasi untuk menyusun data dukung rencana reklamasi. Lokasi yang diajukan adalah milik Kock Meng, namun pengajuannya menggunakan nama Abu Bakar.

Dalam perjalanan ke rumah Edy Sofyan dari pelabuhan Feri Sri Bintan Tanjungpinang, Abu Bakar menyerahkan amplop kuning berisi uang sejumlah 6.000 dolar Singapura kepada Budy Hartono dengan tujuan agar data dukung yang dibutuhkan dapat segera diselesaikan sehingga areal dalam Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang Laut yang dimohonkan dapat masuk titik reklamasi pada raperda zonasi.

Budy lalu menemui Edy Sofyan di kedai Kopi Bahagia. Dari sana, keduanya menuju kantor dinas Kelautan dan Perikanan Kepri untuk mengambil berkas proposal konsultan menuju pelabunan Sri Bintan Tanjungpinang.

"Setelah keluar dari pelabuhan Sri Bintan Tanjungpinang, Budy diamankan petugas KPK dan ditemukan uang 6.000 dolar Singapura dalam mobil Avanza hitam milik Budy Hartono," ungkap jaksa Yadyn.

Atas perbuatannya, Abu Bakar didakwa pasal 5 ayat 1 huruf a atau pasal 13 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 jo pasal 64 ayat 1 KUHP.

Pasal itu yang mengatur mengenai orang yang memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman hukuman minimal 1 tahun penjara dan maksimal 5 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019