Kelima nama pimpinan KPK 2019 - 2023 yang telah dipilih DPR akan menghadapi tantangan yang tidak mudah dan cukup berat dan setidaknya ada empat tantangan yang harus diselesaikan
Jember, Jawa Timur (ANTARA) - Pengamat hukum yang juga Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember Dr Bayu Dwi Anggono mengatakan ada empat tantangan berat untuk pimpinan KPK periode 2019-2023 yang baru terpilih dalam proses pemungutan suara yang dilakukan Komisi III DPR RI.

"Kelima nama pimpinan KPK 2019 - 2023 yang telah dipilih DPR akan menghadapi tantangan yang tidak mudah dan cukup berat dan setidaknya ada empat tantangan yang harus diselesaikan," katanya di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Jumat.

Ia mengatakan tantangan pertama adalah mengembalikan kepercayaan publik atas proses seleksi calon pimpinan KPK yang dianggap penuh masalah tersebut.

"Mereka juga harus membuktikan sebagai figur-figur yang independen, meskipun kemarin disebut berkompromi dengan DPR saat menandatangani surat pernyataan dengan DPR, namun bukan berarti sekarang mereka akan tunduk kepada kehendak DPR utamanya soal revisi UU KPK," tuturnya.

Kemudian tantangan ketiga yakni merangkul pegawai dan insan KPK, agar bisa bekerja mendukung mereka karena mengingat dalam beberapa waktu terakhir, insan KPK secara jelas telah menyatakan penolakan terhadap sejumlah nama yang diloloskan oleh pansel bentukan Presiden dan ternyata nama tersebut dipilih DPR.

"Keempat tantangannya yakni melanjutkan kerja pemberantasan korupsi yang sudah efektif dilakukan pimpinan KPK periode 2015 - 2019, di mana KPK tidak pandang bulu dalam melakukan pemberantasan korupsi baik itu terhadap oknum anggota DPR/DPRD, menteri, aparat penegak hukum, kepala daerah, penyelenggara negara lainnya, dan swasta," ujarnya.

Menurutnya harapan publik sangat besar digantungkan kepada Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember Nurul Ghufron yang terpilih karena yang bersangkutan adalah satu-satunya pimpinan KPK periode 2019-2023 dari unsur perguruan tinggi.

"Selama ini perguruan tinggi selalu dikenal dengan nilai-nilai objektifitas, independensi, keberanian dan keberpihakan kepada kepentingan umum," ucap mantan aktivis GMNI Jember ini.

Untuk itu, lanjut dia, di tengah penolakan keras dari kalangan perguruan tinggi maupun masyarakat terhadap calom pimpinan KPK yang dianggap bermasalah maupun upaya pelemahan KPK melalui revisi UU KPK, maka Nurul Ghufron harus bisa menempatkan diri sebagai figur yang mampu menangkap aspirasi publik utamanya dari perguruan tinggi dan masyarakat agar kemudian bisa memperjuangkannya.

"Jika ternyata kemudian Pak Ghufron tidak mampu menangkap aspirasi dari kalangan perguruan tinggi maupun masyarakat tersebut dan justru turut serta dalam upaya pelemahan KPK, maka bisa dipastikan publik utamanya akan semakin kehilangan kepercayaan tidak hanya kepada KPK namun juga kepada para akademisi dan perguruan tinggi yang selama ini dianggap selalu memperjuangkan kepentingan publik," ujarnya.

Ia menjelaskan perlu digarisbawahi bahwa pemilihan pimpinan KPK jilid ke 5 tersebut merupakan pemilihan yang paling mengundang banyak dinamika dan kontroversi mulai dari penolakan terhadap sejumlah nama yang menjadi pansel yang dibentuk presiden karena rekam jejaknya bermasalah.

"Kemudian tidak tegasnya pansel dalam menerapkan sejumlah persyaratan dalam UU KPK seperti kewajiban lapor LHKPN sebagai persyaratan calon sampai dengan tidak diperhatikannya masukan publik atas beberapa nama calon pimpinan KPK yang dianggap memiliki cacat etik," katanya.

Menurutnya kontroversi lainnya juga terjadi saat proses fit and proper test yakni DPR dianggap membuat ketentuan yang tidak lazim saat mewajibkan semua calon pimpinan KPK menandatangani surat pernyataan yang berisikan komitmen untuk mendukung revisi UU KPK yang didalamnya terdapat pasal-pasal yang melemahkan KPK.

Pewarta: Zumrotun Solichah
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019