Jakarta (ANTARA) - Peningkatan produktivitas pertanian dinilai merupakan salah satu solusi untuk mengatasi persoalan ketersediaan pangan di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Panajem Paser Utara, dua wilayah yang akan menjadi ibu kota baru menggantikan Jakarta.

Pakar Teknologi pangan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dase Hunaefi dalam sebuah diskusi Youth Biotech Outreach di Universitas Indonesia (UI) Depok, Jawa Barat, Selasa, mengatakan peningkatan produktivitas pertanian lebih baik dibandingkan membuka areal pertanian baru apalagi di kedua wilayah tersebut didominasi lahan gambut serta sebagai paru-paru dunia.

"Pemanfaatan teknologi rekayasa genetika atau bioteknologi lebih mendukung peningkatan produktivitas pertanian di ibu kota baru nantinya," katanya.

Menurut dia, pembukaan areal pertanian yang baru apalagi jika merambah hutan dikuatirkan merusak keanekaragaman hayati. Oleh karena itu perlu dukungan teknologi salah satunya biotek untuk mengatasi persoalan ketersediaan pangan.

"Brasil telah memanfaatkan bioteknologi untuk meningkatkan produksi pertaniannya dan negara itu juga merupakan negara dengan biodiversifikasi nomer satu di dunia," katanya.

Sebelumnya, saat menjadi pembicara dalam sebuah diskusi di Balikpapan, Sabtu (31/8) lalu Menteri Pertanian Amran Sulaiman menyatakan, sebanyak 12 daerah disiapkan sebagai penyangga pangan untuk ibu kota baru di kawasan perbatasan Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Namun, Mentan mengakui saat ini di Kalimantan Timur masih mengalami defisit beras sebanyak 60 ribu ton atau setara 10 ribu hektar. Untuk itu Kementan siap mengirimkan bantuan ekskavator guna membuka areal pertanian 10 unit guna mencetak lahan pertanian baru 10-20 ribu hektar.

Sementara itu Direktur Pusat Informasi Bioteknologi Indonesia (Indobic) Bambang Purwantara menyatakan penerapan bioteknologi untuk sektor pertanian di Indonesia tinggal menunggu disahkannya pedoman pengawasan dan pemantauan produk rekayasa genetika.

Dia menyatakan Peraturan Menteri Pertanian No 36 tahun 2016 tentang Pedoman Pengkajian Keamanan Pakan Produk Rekayasa Genetika merupakan pembuka pintu untuk pengembangan produk ini.

"Sekarang tinggal menunggu pedoman pedoman pengawasan dan pemantauannya yang nanti akan berbentuk Permen. Diharapkan tahun ini bisa keluar Permennya," katanya.

Menurut Bambang, meskipun di Indonesia tanaman hasil rekayasa genetika belum dilakukan pelepasan, namun bukan berarti tidak ada pengembangan karena PTPN XI telah mengembangkan tebu yang toleran kekeringan hasil biotek, yang cocok untuk daerah sedikit air.

Selain itu juga dikembangkan kentang yang tahan hama penyakit sehingga mampu mengurangi penggunaan pestisida yang akhirnya menekan biaya produksi petani serta menurunkan pencemaran lingkungan.

Mengutip laporan yang dirilis oleh International Service for the Acquisition of Agri-biotech Applications (ISAAA) dia menyebutkan, lahan budidaya tanaman biotek telah meningkat hampir 113 kali lipat sejak tahun 1996, dengan luas kumulatif sekitar 2,5 miliar hektar.

Di negara-negara dengan adopsi tinggi terutama AS, Brasil, Argentina, Kanada, dan India, tingkat adopsi tanaman utama mendekati 100 persen.

Dua puluh enam negara (21 negara berkembang dan 5 negara industri) menanam 191,7 juta hektar tanaman biotek, atau bertambah 1,9 juta hektar pada tahun 2017.

Baca juga: Menristekdikti tetapkan Unej pusat unggulan bioteknologi pertanian dan kesehatan
Baca juga: Pakar: bioteknologi penting untuk pertanian Indonesia
Baca juga: Padi ciherang aromatik, inovasi bioteknologi dari Balitbang Pertanian

 

Pewarta: Subagyo
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2019