Jakarta (ANTARA) - Salah satu budaya di masyarakat Indonesia yang hingga kini masih berlangsung adalah memelihara satwa burung. Tidak ada yang salah dengan budaya itu. Namun, akan menjadi masalah jika dalam mempertahankan budaya itu, warga yang hobi dengan itu kemudian mengambil dari habitat alaminya.

"Bila kemudian masyarakat mengambil dari alam dalam jumlah besar, di situlah muncul masalah karena akan berdampak pada penurunan populasinya," kata konservasionis satwa liar Tony Sumampau dalam sebuah diskusi pada Orientasi Wartawan Konservasi (Owaka) yang digelar oleh Forum Konservasi Satwa Liar Indonesia (FOKSI) beberapa waktu lalu.

Ia menyebut bahwa setidaknya ada 10 jenis burung di Indonesia membutuhkan perhatian khusus atau menjadi prioritas dalam konservasi.

Ke-10 burung yang menjadi prioritas konservasi itu yakni jalak putih (Sturnus melanopterus), beo nias (Gracula robusta), jalak bali (Leucopsar rothschildi), jalak suren (Gracupica contra), murai batu medan (Copsychus malabaricus), cucak rawa (Pycnonotus zeylanicus), cucak keling (Aplonis panayensis), poksai kuda (Garrulax rufifrons) , poksai sumatra (Garulax bicolor) , dan anis (Geokichla citrina).

Namun, menurut Burung Indonesia cucak rawa sebenarnya sempat termasuk ke dalam daftar jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi di Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20 tahun 2018, namun kemudian dikeluarkan bersama dua jenis burung lainnya yakni anis-bentet kecil (Colluricincla megarhyncha) dan anis-bentet sangihe (Colluricincla sanghirensis) hanya dua bulan setelah peraturan tersebut diterbitkan.

Salah satu dari 10 burung prioritas konservasi itu adalah jalak putih.

Jalak putih merupakan burung endemik Indonesia. Habitatnya tersebar di Pulau Jawa, Bali dan sebagian Nusa Tenggara Barat.

"Keberadaannya semakin terancam oleh hilangnya habitat serta maraknya perburuan liar," kata Tony Sumampau yang juga Sekjen Persatuan Kebun Binatang Seluruh Indonesia (PKBSI).

Status burung tersebut dilindungi. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa serta tertuang dalam Undang-Undang No 5/1994 burung itu dinyatakan berstatus kritis atau "critically endangered" oleh Badan Dunia untuk Perlindungan Alam atau IUCN (International Union for Conservation of Nature).

Dalam sebuah laporan di laman http://www.satuharapan.com/read-detail/read/jalak-putih-burung-endemik-berstatus-kritis disebutkan bahwa meski burung ini tidak termasuk ke dalam jenis burung yang suka dikonteskan, akan tetapi jalak putih sangat diminati berbagai kalangan dan dijadikan burung peliharaan favorit.

Disebutkan pula bahwa di pasaran, harga per pasang jantan dan betina yang bersertifikat murni, bervariasi, mulai dari Rp 2 juta (usia 3 bulan), Rp 3 juta (remaja), hingga Rp 5 juta (dewasa).

Pelepasliaran

Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) Siti Nurbaya pada pertengahan Juni 2016 hadir pada pelepasliaran burung jalak bali di lembaga konservasi "ex-situ" (di luar habitat alami) Taman Safari Indonesia (TSI) di Cisarua, Kabupaten Bogor.

Saat itu, sebanyak 40 jalak putih hasil pengembangbiakan di TSI dilepaskan di alam.

Dari kajian habitat yang telah dilakukan dengan Burung Indonesia dan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) disebutkan TSI telah menjadi rumah bagi kurang lebih 70 spesies burung.

Area TSI yang berada di kawasan kaki Gunung Gede dan Gunung Pangrango memiliki kondisi alam yang masih terjaga sehingga sesuai dan dapat memenuhi kebutuhan tinggal serta pakan setelah dilepasliarkan, termasuk SDM yang memadai sehingga dapat menunjang keamanan dari satwa tersebut.

Selain pengembangbiakan jalak putih dan kajian habitat, sebelum pelepasliaran telah dilakukan sosialisasi bekerja sama dengan BKSDA Bogor dan TNGP ke masyarakat di lima desa dari dua kecamatan serta institusi pendidikan yang berada di sekitar TSI.

"Peran masyarakat sekitar sangatlah penting, terutama setelah jalak putih dilepasliarkan. Mereka pun telah berkomitmen untuk ikut serta menjaga satwa burung ini," kata Tony Sumampau.

Sosialisasi juga dilakukan ke lembaga pendidikan dengan tujuan untuk mengenalkan jalak putih sekaligus membangun kepedulian serta menanamkan rasa cinta terhadap satwa dan alam dari usia dini.

Meningkat

Walaupun ada beberapa jenis burung di Indonesia yang kondisinya kritis dan bahkan terancam punah, namun menurut laporan Burung Indonesia jumlah jenis burung di Indonesia meningkat menjadi 1.777 jenis pada 2019.

Menurut Biodiversity Conservation Specialist Burung Indonesia, Ferry Hasudungan peningkatan itu mencakup jenis-jenis penetap maupun migran yang berkunjung ke wilayah Indonesia setiap tahunnya.

Ia mengatakan dibandingkan pada 2018, terdapat penambahan enam jenis burung dari jumlah sebelumnya yaitu 1.771 jenis. Penambahan jumlah ini disebabkan adanya perubahan taksonomi dan juga catatan baru untuk Indonesia.

Enam jenis yang merupakan catatan baru di Indonesia di antaranya salah satu jenis burung perancah Eurasian Oystercatcher (Haematopus ostralegus), poksai kepala-botak (Garrulax calvus), jenis burung sikatan Zappey's Flycatcher (Cyanoptila cumatilis), sikatan-burik sulawesi (Muscicapa sodhii), cikrak rote (Phylloscopus rotiensis), dan kedidi paruh-sendok (Calidris pygmaea).

Beberapa di antaranya adalah jenis burung migran yang pertama kali tercatat di Indonesia.

Dari seluruh jenis tersebut, 168 jenis burung dinyatakan terancam punah berdasarkan hasil kajian Burung Indonesia yang dilakukan hingga akhir 2018 dari sebelumnya berjumlah 163 jenis.

Selain itu. dari 168 jenis, 30 jenis dinyatakan berstatus kritis oleh IUCN, status terakhir sebelumnya dinyatakan punah di alam.
Kemudian, ada 44 jenis dinyatakan berstatus genting dan 94 jenis rentan terhadap kepunahan di alam.

Ferry Hasudungan mengatakan dari ribuan jenis burung yang tercatat di Indonesia, 557 jenis di antaranya telah dilindungi oleh Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomer P.106 tahun 2018.

Namun, kata dia, sayangnya, dari 14 jenis burung yang status keterancamannya meningkat pada 2018, ada empat jenis yang belum mendapatkan status perlindungan dari pemerintah. Hal tersebut terjadi pada perenjak jawa (Prinia familiaris), poksai mantel (Garrulax palliatus), dan cucak rawa (Pycnonotus zeylanicus).
Namun, untuk jenis baru cikrak rote (Phylloscopus rotiensis), status keterancamannya saat ini belum dievaluasi.

Sedangkan Tony Sumampu menyebut bahwa dalam kondisi adanya satwa burung yang terancam punah, ada sebanyak 416 jenis di antaranya merupakan jenis endemis yang membuat Indonesia berada di posisi nomor satu di dunia dalam hal keanekaragaman jenis burung endemis.

Karena itu, upaya konservasi satwa yang terancam punah itu menjadi pekerjaan rumah (PR) bersama antara pemerintah lembaga konservasi satwa dan pemangku kepentingan lainnya, termasuk masyarakat.

Baca juga: Pelepasan burung Jalak Putih puncak Hari Bhakti Rimbawan

Baca juga: TSI lepasliarkan jalak putih tingkatkan populasi

 

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019