London (ANTARA) - Para pemuka agama dari 125 negara di dunia menyerukan perlunya kerjasama artikulatif dengan para diplomat untuk memajukan perdamaian dunia. Hal ini terungkap dalam sesi bertajuk “Religion and Diplomacy,”  bagian dari rangkaian kegiatan Konferensi Internasional ke-10 Religion for Peace (RfP), yang berlangsung di Lindau, Jerman, pada 20 – 23 Agustus lalu.

Pensosbud KBRI Berlin, Hannan Hadi kepada Antara London, Senin menyebutkan dalam sesi Religion and Diplomacy difasilitasi Kementerian Luar Negeri Jerman dan dilakukan dalam bentuk diskusi terbagi dalam tujuh kelompok. Masing-masing kelompok membahas sub topik berdasarkan isu-isu yang mengemuka di beberapa kawasan.

Dubes RI untuk Jerman, Arif Havas Oegroseno, satu-satunya Dubes asing di Jerman yang menjadi moderator pada Sesi Religion and Diplomacy memimpin diskusi untuk sub topik mengenai toleransi versus konfrontasi di Kawasan Asia Tenggara.

Kelompok diskusi mengenai kawasan Asia Tenggara dihadiri oleh 13 peserta, diantaranya Argentina, India, Indonesia, Jerman, Italia, Jepang dan India. Dari Indonesia hadir Utusan Khusus Presiden untuk Dialog Antar Agama dan Peradaban, Din Syamsuddin, dan dua tokoh pemuda dari agama Protestan dan Budha.

Rekomendasi hasil diskusi disampaikan Dubes Oegroseno kepada Koordinator Sesi Religion and Diplomacy, Volker Berresheim, yang juga menjabat sebagai Ketua Divisi Religion and International Cooperation, Kemlu Jerman.

Rekomendasi tersebut berisi tiga langkah aksi penguatan kerjasama antara diplomat dan para pemuka agama. Hasil ini akan digabungkan dengan rekomendasi dari enam kelompok lainnya.

“Kita akan selenggarakan debriefing pada 28 Agustus mendatang untuk menyelaraskan butir rekomendasi dari ketujuh kelompok”, ujar Dubes Berresheim.

Dubes Oegroseno mengatakan, masing-masing negara punya kebijakan luar negeri yang berbeda terkait dengan dialog antar umat beragama. Di beberapa negara ada yang sudah maju dan menjadi bagian dari kebijakan luar negeri mereka. Sementara di negara lainnya ada yang sifatnya masih sporadis dan belum terstruktur.

Menurut Oegroseno, tahun ini KBRI Berlin bekerja sama dengan Kemenag RI, mengirimkan tiga tokoh dari parlemen dan media di Jerman untuk berkunjung ke Indonesia selama sepuluh hari. “Kita menyebutnya program Indonesia Interfaith Scholarship (IIS) “ ujarnya.

"Dari program ini, kita ingin tokoh-tokoh di Jerman bisa melihat langsung kehidupan toleransi di Indonesia. Kita bawa mereka ke berbagai tempat peribadatan dan pusat kajian agama penting di beberapa daerah di Indonesia. Hal ini akan lebih efektif untuk menangkal isu-isu negatif terkait intoleransi di Tanah Air”, ujanya.

Pada konferensi internasional ke-10 ini, RfP bekerja sama dengan Foundation Peace Dialogue of the World Religions and Civil Society, serta Kementerian Luar Negeri Jerman. Sekitar 1000 peserta dari 10 agama di berbagai negara, tokoh LSM, peneliti, akademisi, media dan diplomat hadir di konferensi yang dibuka Presiden Republik Federal Jerman, Frank-Walter Steinmeier.

Saat membuka konferensi, Steinmeir menegaskan dimensi dialog antar pemuka agama harus diperluas. Semua stakeholders di bidang politik dan diplomasi juga harus dilibatkan.

Pemerintah Jerman telah membentuk unit khusus di Kemlu Jerman, yaitu Divisi Agama dan Kerja Sama Internasional, yang juga menjadi bagian aktif dalam penyelenggaraan Konferensi ini.

“Kita harus bisa mentransformasi pengaruh  agama yang selama ini digunakan sebagai alat untuk memecah belah dan legitimasi untuk berbagai tindakan tidak manusiawi, menjadi kekuatan dan energi baru untuk membantu mewujudkan perdamaian dunia dan agenda-agenda bersama yang kita cita-citakan”,  kata Presiden Steinmeir. 

Baca juga: Indonesia jadi inspirasi toleransi beragama di Jerman
Baca juga: Dubes Australia ingin belajar toleransi dari Indonesia
Baca juga: Belajar toleransi di Jerman


Pewarta: Zeynita Gibbons
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2019