Gwangju (ANTARA) - Ratusan warga negara Indonesia yang berdomisili di Korea Selatan mengikuti upacara peringatan hari kemerdekaan di kompleks Kedutaan Besar RI di Seoul pada Sabtu, sambil menyampaikan keluh kesah di hadapan para korps diplomatik.

"Kemerdekaan republik ini dicapai dengan jalan yang tidak mudah, kita harus mengisinya dengan lebih banyak berprestasi," kata Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan, Umar Hadi, pada saat upacara pengibaran bendera, sebagaimana dikutip Purna Widada, Koordinator Fungsi Penerangan Sosial Budaya Kedutaan RI.

Selain upacara pengibaran bendera, pihak kedutaan juga menggelar serangkaian acara lomba untuk anak-anak, penurunan bendera, dan diakhiri dengan kenduri kemerdekaan pada malam waktu setempat.

"Secara keseluruhan, acara-acara tersebut diikuti oleh hampir 1.000 warga Indonesia yang umumnya tinggal di sekitar Seoul," kata Purna.

Khusus pada acara kenduri kemerdekaan, beberapa perwakilan komunitas warga Indonesia di Korea Selatan diberi kesempatan untuk menyampaikan keluh kesah dan harapan mereka di hadapan Duta Besar Umar dan diplomat-diplomat yang bertugas di negara tersebut.

Perwakilan yang mendapatkan kesempatan berbicara antara lain dari komunitas pekerja migran, komunitas anak, dan para pelaku pernikahan lintas negara.

Berdasarkan wawancara ANTARA dengan beberapa pekerja migran Indonesia di Korea Selatan, persoalan utama yang mereka hadapi adalah tidak dipenuhinya hak mobilitas mereka (freedom of movement) yang termasuk salah satu dari komponen hak asasi manusia.

Beberapa pekerja migran Indonesia di sektor perikanan yang diwawancarai di Pulau Jeju (sekitar 450 km sebelah selatan Seoul), mengaku paspor dan kartu identitas mereka ditahan oleh pemberi kerja. Padahal, dokumen-dokumen tersebut dibutuhkan saat mereka hendak berlibur atau berpergian ke luar pulau.

"Selama hampir dua tahun di sini, saya tidak pernah bisa mengunjungi daratan utama Semenanjung Korea. Padahal itu kan hak kami," kata seorang pekerja migran Indonesia di Jeju, salah satu pulau paling selatan di Korea Selatan yang luasnya lima kali lebih kecil dari Bali.

Sementara itu, pelaku pernikahan lintas negara (mixed marriage) juga menanggung berbagai persoalan. Pernikahan lintas negara mulai menjamur di Korea Selatan sejak tahun 1990an saat laki-laki di negara tersebut, terutama di daerah pedesaan, kesulitan mencari pasangan dari dalam negeri. Akibatnya, tingkat kesuburan atau fertilitas menurun tajam sehingga menjadikan Korea Selatan sebagai salah satu negara dengan penduduk manula terbanyak di dunia.

Menghadapi masalah tersebut, pemerintah Korea Selatan kemudian menggalakkan pernikahan lintas negara, di antaranya dengan melegalkan agen pencari istri. Banyak perempuan dari Vietnam dan China yang didatangkan ke negara ini khusus untuk menjadi istri dan melanjutkan keturunan.

Data dari lembaga statistik pemerintah menyebutkan sembilan persen dari seluruh pernikahan di Korea Selatan adalah pernikahan lintas negara dan beberapa di antara mereka berasal dari Indonesia.

Persoalan perbedaan budaya membuat para perempuan itu kesulitan untuk menyesuaikan diri di negara baru. Akibatnya, tingkat perceraian tinggi di antara para pelaku pernikahan lintas negara dengan prosentase mencapai 10 persen. Selain itu, anak-anak mereka juga dilaporkan sering menghadapi diskriminasi rasial di negara yang terkenal sangat homogen ini.

Namun, beberapa pelaku pernikahan lintas negara dari Indonesia yang dikenal ANTARA terlihat berhasil di negara asing. Salah satunya adalah Hana yang tinggal di Gwangju, sekitar 270km sebelah selatan Seoul. Beberapa puluh tahun yang lalu, Hana datang ke Korea Selatan untuk menjadi buruh, namun kemudian menemukan jodoh di negara ini. Hana kemudian membuka restoran Indonesia bersama suaminya di Gwangju.

Pewarta: GM Nur Lintang
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2019