Jakarta (ANTARA) - Indonesia mendorong dialog dan komunikasi antara Pakistan dan India untuk menyelesaikan isu dataran tinggi Kashmir.

“Dari sisi Indonesia, kita senantiasa berpandangan bahwa untuk masalah Kashmir akan lebih elok apabila Pakistan dan India membuka dialog dan berkomunikasi. Karena kebuntuan komunikasi itulah yang menyebabkan munculnya kelangkaan informasi sehingga menimbulkan berbagai macam interpretasi dan meningkatkan eskalasi permasalahan,” ujar Pelaksana tugas Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Teuku Faizasyah dalam taklimat media di Jakarta, Kamis.

Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Pakistan Shah Mahmood Quereshi telah meminta Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (DK PBB) membahas penyelesaian sengketa wilayah Kashmir yang telah berlangsung selama 70 tahun.

Dalam sebuah surat yang dikirimkan ke PBB, Menlu Pakistan mengecam "tindakan agresif baru-baru ini" oleh India, dan mengatakan bahwa India "dengan sengaja merusak status Jammu dan Kashmir yang disengketakan yang diakui secara internasional."

Menanggapi permintaan tersebut, Indonesia yang saat ini duduk sebagai anggota tidak tetap DK PBB, menyatakan tetap mengedepankan diplomasi perdamaian dan keamanan.

Meskipun permintaan telah diajukan ke DK PBB, hingga saat ini belum ada keputusan dari seluruh anggota untuk membahas isu Kashmir.

“Nanti kita tunggu keputusan dari anggota DK PBB. Tetapi kalaupun pembahasan isu ini sampai ke DK, saya rasa harus ada nilai tambah, artinya bagaimana pembahasan tersebut bisa berkontribusi pada perdamaian dan tidak justru menambah eskalasi konflik yang ada,” tutur Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kemlu RI Febrian Alphyanto Ruddyard.

Sebagai anggota tidak tetap DK PBB, Indonesia menekankan penyelesaian isu Kashmir secara bilateral antara Pakistan dan India.

Penyelesaian masalah secara bilateral menjadi kunci utama dari penyelesaian masalah ini. Kalau di DK PBB, posisi Indonesia adalah menekankan pentingnya kedua negara untuk saling menahan diri dan bisa menyelesaikan secara bilateral,” kata Febrian.

Situasi politik di negara bagian Kashmir, India, kembali memanas sejak awal Agustus setelah pemerintah pusat membatasi ruang gerak dan jalur komunikasi, serta menempatkan 10 ribu tentara di wilayah tersebut.
 

Anggota pasukan keamanan India berpatroli di sebuah jalan yang ditinggalkan saat pemberlakuan pembatasan setelah pemerintah mencabut status khusus untuk Kashmir, di Srinagar, Jumat (9/8/2019). ANTARA FOTO/REUTERS/Danish Ismail/wsj/cfo (REUTERS/DANISH ISMAIL)

Tidak hanya itu, pemerintah India juga menutup sekolah dan kampus, memberlakukan jam malam, meminta wisatawan keluar dari Kashmir, serta menjadikan pemimpin di negara bagian itu sebagai tahanan rumah.

Pembatasan yang dilakukan sejak 4 Agustus 2019 itu merupakan upaya pemerintah India mengantisipasi aksi massa yang memprotes pencabutan otonomi khusus di Kashmir pada 5 Agustus 2019.

Otonomi khusus di Kashmir telah berjalan selama 70 tahun dan dijamin oleh konstitusi India Pasal 370. Berdasarkan kebijakan itu, negara bagian Jammu dan Kashmir berhak memiliki aturan perundang-undangan, bendera, dan kebebasan mengatur nyaris seluruh sektor, kecuali urusan luar negeri, pertahanan dan komunikasi.

Saat otonomi khusus itu berlaku, pemerintah negara bagian Kashmir berwenang memberi izin tinggal dan mengatur jual beli lahan serta properti.

Namun, setelah status istimewa dicabut, untuk pertama kalinya, warga di luar wilayah Kashmir dapat membeli tanah dan rumah di negara bagian itu. Alhasil, bagi sebagian besar warga setempat, kebijakan pemerintah India itu merupakan upaya mengubah demografi Kashmir yang dihuni mayoritas Muslim.

Baca juga: China minta DK PBB bahas Kashmir pekan ini

Baca juga: Indonesia diminta lebih proaktif dorong perdamaian di Kashmir

Baca juga: Pakistan putuskan jalur transpor ke India terkait Kashmir


Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2019