Jakarta (ANTARA) - Di Jakarta, para petinggi Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) bersuka cita meresmikan kantor sekretariat yang baru sekaligus merayakan hari jadi organisasi ke-52. Namun, perayaan serta kebahagiaan itu tak dapat dirasakan oleh jutaan orang Rohingya yang sampai hari ini terpaksa hidup dalam ketidakpastian, terusir dari tanah kelahiran mereka di Rakhine, Myanmar.

Sekitar satu juta orang Rohingya yang mendiami Rakhine kini mengungsi demi keselamatan mereka yang terancam aksi militer massal pada Oktober 2016. Tentara Myanmar tidak hanya menargetkan pelaku kerusuhan yang membakar 20 pos polisi di Rakhine, tetapi turut membakar rumah, melakukan pembunuhan, perkosaan, dan penyiksaan di permukiman Rohingya. Kekerasaan dan sentimen terhadap komunitas itu sebenarnya telah berlangsung sejak 1978, 1991-1992, 2012, dan puncaknya pada 2016-2017.

Akibatnya, 745.000 orang Rohingya mengungsi di Cox’s Bazaar, Bangladesh. Dari jumlah itu, 400.000 di antaranya adalah anak-anak. Per Maret 2019, 909.000 orang Rohingya juga ditemukan di Ukhiya dan Teknaf Upazilas. Sementara, 626.500 pengungsi lain memilih sementara tinggal di Kutupalong-Balukhali.

Baca juga: Masalah etnis hambat pendataan pengungsi Rohingya di Bangladesh

Terpisah dari jutaan pengungsi di Bangladesh, ribuan etnis Rohingya lainnya memilih mengarungi laut dengan perahu kayu hingga akhirnya terdampar di Thailand, Malaysia, Indonesia.

Bagi orang Rohingya, tak ada masa depan hidup di pengungsian. Tak ada pekerjaan dan lahan penghidupan. Sebagian besar dari mereka tentu berharap dapat kembali pulang menjalani hidup sedia kala, baik di tanah kelahirannya ataupun di negara ketiga yang memang bersedia menampung para pengungsi.

Untuk asa itu, tanggung jawab tidak hanya ada di pundak pemerintah Myanmar, tetapi juga ASEAN sebagai perhimpunan yang wajib mendorong negara anggotanya menjamin hak hidup dan hak warga negara rakyatnya. ASEAN tak boleh membiarkan negara anggota menghapus status kewarganegaraan rakyatnya hanya berdasarkan alasan ras/etnis/suku/agama.
 

Sepuluh pria Muslim Rohingya dengan tangan terikat berlutut, di desa Inn Din, Myanmar, 1 September 2017 (ANTARA FOTO/Handout via REUTERS)
Rohingya

Sejak Undang-Undang Dasar Negara Republik Sosialis Persatuan Burma ditetapkan pada 1974, pemerintah Myanmar mulai tidak mengakui orang Rohingya sebagai bagian dari warga negara. Dalam periode waktu itu, etnis Rohingya dicap sebagai penduduk asing dengan bentuk fisik, bahasa dan adat-istiadat yang berbeda dengan sebagian besar rakyat Myanmar.

Perlakuan itu tetap terjadi walaupun banyak bukti sejarah menunjukkan orang Rohingya telah mendiami Rakhine atau yang dulunya disebut Arakan sejak abad sebelum Masehi. Penelusuran Azeem Ibrahim lewat bukunya "The Rohingyas, Inside Myanmar Hidden Genocide” memperlihatkan orang Rohingya ada di Arakan sejak 3000 SM, di saat komunitas penutur Indo-Aryan bermigrasi dari India Utara.

Kehidupan orang Rohingya berlanjut hingga beberapa abad kemudian, termasuk di saat Burma–nama lain Myanmar–dijajah oleh pemerintah Inggris sampai akhirnya merdeka pada 1948. Sentimen sebagian besar masyarakat Myanmar terhadap orang Rohingya tumbuh karena saat masa penjajahan mereka dianggap diistimewakan oleh penjajah Inggris. Alhasil, saat Burma merdeka, hanya Rohingya yang tak menerima status kewarganegaraan penuh dari pemerintah.

Baca juga: PBB desak pemimpin dunia beri sanksi bisnis militer Myanmar

Orang Rohingya sempat diakui oleh penguasa pada 1960-an. Perdana Menteri Burma pertama, U Nu, mengatakan status kewarganegaraan Rohingya seharusnya sama dengan warga negara lainnya yang mendiami wilayah Kachin, Shan, Kayah, Karen, Mon, dan Rakhine. Orang Rohingya pun mendapat pengakuan dari negara pada Sensus Penduduk 1961.

Akan tetapi, gelombang kebencian terhadap Rohingya kembali tumbuh pada 1974. Propaganda yang menyebut Rohingya bukan warga asli Myanmar kembali gencar dilakukan sekelompok orang dan dibiarkan pemerintah. Dalam kurun waktu 1974-1984, orang Rohingya banyak jadi korban kekerasan dan diskriminasi, dan potret buram itu berlanjut pada 2016-2017, menyebabkan jutaan orang Rohingya terusir dari tanah leluhur.

Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2017 pun membentuk Misi Pencari Fakta Independen (UN Fact-Finding Mission) untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM terhadap orang Rohingya yang terusir dari Rakhine. Misi itu diketuai oleh mantan jaksa agung asal Indonesia, Marzuki Darusman, Radhika Coosmaraswamy dari Sri Lanka dan Christoper Dominic Sidoti asal Australia.

Baca juga: Myanmar sebut seruan PBB bahayakan negara

Setahun sejak terbentuk, Misi Pencari Fakta telah menyiarkan beberapa laporan pada September 2018, Mei 2019, Juni 2019, dan terakhir 5 Agustus 2019. Laporan itu menunjukkan ada pelanggaran HAM secara sistematis terjadi di negara bagian Rakhine, Kachin dan Shan. Kemudian pada catatan terbaru, Misi Pencari Fakta PBB mengungkap jaringan bisnis tentara Myanmar, Tatmadaw, dan beberapa perusahaan asing dari Asia dan Eropa yang kemungkinan mendanai operasi militer dan aksi pelanggaran HAM di negara itu.

Ketua Misi Pencari Fakta Marzuki Darusman saat ditemui di Jakarta, 5 Agustus 2019, menyampaikan pihaknya menyarankan Dewan Keamanan PBB beserta komunitas internasional menjatuhkan embargo senjata ke Myanmar. Tak hanya itu, Misi Pencari Fakta meminta perusahaan asing yang bekerja sama dengan Myanmar segera meninjau kembali hubungan dagang dengan dua perusahaan induk yang dikuasai militer, Myanmar Economic Holdings Limited (MEHL) dan Myanmar Economic Corporation (MEC).

Pengungsi Rohingya membawa spanduk saat berpartisipasi dalam aksi memperingati Hari Pengungsi Sedunia di kamp pengungsi di Cox's Bazar, Bangladesh, Kamis (20/6/2019). REUTERS/Rafiqur Rahman/djo/wsj. (REUTERS/RAFIQUR RAHMAN)
Peran ASEAN

Dari pengalaman yang ada, sikap keras komunitas internasional hanya membuat Myanmar semakin tertutup, dan akibatnya, perbincangan tentang masa depan orang Rohingya makin buram.

Perwakilan Indonesia di Komisi Lintas Pemerintah ASEAN untuk HAM (AICHR), Yuyun Wahyuningrum, saat dihubungi Antara mengatakan dialog merupakan cara efektif yang patut digunakan komunitas internasional guna membicarakan masa depan orang Rohingya dengan pemerintah Myanmar.

Walaupun banyak pihak menyebut ASEAN lambat turun mengatasi krisis kemanusiaan di Rakhine, Yuyun menilai, ASEAN justru jadi pintu yang membuka dialog dengan pemerintah Myanmar terlaksana.

Baca juga: Tim PBB nilai ASEAN lambat atasi pelanggaran HAM Etnis Rohingya

“ASEAN mulai step by step membangun komunikasi dengan Myanmar sekitar 2017. Ada beberapa langkah yang disepakati dengan syarat tak ada penyebutan Rohingya, tetapi diganti dengan boat people (orang kapal), dan tak boleh ada penyebutan pengungsi, yang ada irregular migration (migrasi tak wajar),” kata Yuyun yang tengah menempuh gelar PhD di ISS Den Haag, Belanda.

Hasil dari dialog itu, pemerintah Myanmar pada 2018 bersedia merepatriasi warga Rakhine yang mendiami kantong pengungsian di Bangladesh, Malaysia, Thailand, dan Indonesia.Tak hanya pemulangan kembali, Myanmar juga bersedia bekerja sama dengan AHA Center, organisasi lintas-pemerintah ASEAN untuk koordinasi penyaluran bantuan kemanusiaan. Badan itu tak hanya jadi kanal penyaluran bantuan untuk orang Rohingya, tetapi juga jadi lembaga yang dipercaya menyelidiki kesiapan Myanmar menerima pengungsi, begitu pun sebaliknya, kesediaan orang Rohingya pulang ke negaranya.

Penelusuran awal AHA Center menunjukkan pengungsi membutuhkan jaminan atas keamanan (security), penghidupan (livelihoood) dan status kewarganegaraan (citizenship) apabila mereka dipulangkan kembali ke Myanmar. Namun, masalah kewarganegaraan, menurut Yuyun belum dibicarakan oleh pemerintah Myanmar bersama ASEAN, karena negara itu masih bersikeras orang Rohingya bukan bagian dari warga negara.

Baca juga: Pembicaraan Rohingya-Myanmar di Bangladesh berakhir dalam kebuntuan

Alhasil sebagai gantinya, Myanmar menjanjikan orang Rohingya sebagai resident atau penduduk tak tetap, bukan citizen atau warga negara. Orang Rohingya nanti akan menerima kartu verifikasi nasional sekembalinya dari pengungsian. Proses saat ini, AHA Center masih mendata pengungsi yang akan dipulangkan ke Myanmar. Mereka yang telah didata dan lolos verifikasi pemerintah akan dikirim ke perbatasan, kemudian masuk ke pusat penerimaan guna menjalani pemeriksaan selama 2-3 bulan. Sejauh ini, pemerintah Myanmar akan membangun dua pusat penerimaan untuk pengungsi dari jalur darat dan jalur air.

Namun, jumlah itu tentu tak memadai mengingat jumlah pengungsi yang kembali mencapai lebih dari ratusan ribu orang. Apalagi, menurut Yuyun, kapasitas satu pusat penerimaan hanya mampu mengurusi 100 orang per hari. Jika pemulangan dilakukan, pengungsi yang tiba di perbatasan harus menunggu kurang lebih lima tahun hingga akhirnya direlokasi ke tempat tinggal baru.

Untuk itu, menurut Yuyun, masa depan orang Rohingya bukan sekadar dipulangkan kembali ke negaranya. Namun yang lebih penting, mereka hidup dengan haknya sebagai manusia dan warga negara. Ia pun menyarankan agar negara-negara ASEAN tak hanya mendorong lembaga kemanusiaan seperti AHA Center untuk terlibat, tetapi juga komisi HAM kawasan, yakni AICHR, untuk mengawal proses pemulangan orang Rohingya. Alasannya, semua pihak wajib memastikan perlindungan hak terhadap orang Rohingya tidak dilanggar lagi untuk kesekian kalinya.

Baca juga: Menlu Retno dan Utusan PBB bahas keamanan repatriasi Rohingya

Baca juga: Solusi Indonesia untuk perdamaian abadi di Rakhine State




 

Editor: Azizah Fitriyanti
Copyright © ANTARA 2019