Sementara wajib haji, seperti bermalam di Muzdalifah, mabit di Mina, serta melempar jumrah harus dilaksanakan secara simultan pada 10 Dzulhijah dan hari tasyrik, yakni tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijah, juga di area yang terbatas.
Secara keseluruhan ritual haji harus dilakukan dalam waktu kurang dari seminggu. Inilah yang membuat ritual haji sangat menguras tenaga dan emosi para jamaah.
Dengan kompleksitas itu, manajemen penyelenggaraan haji menjadi sangat rumit dan membutuhkan kerja dengan ketelitian dan presisi yang tinggi. Semua negara yang terlibat dalam pelaksanaan haji, baik pemerintah Arab Saudi maupun negara-negara yang memberangkatkan jamaahnya ke Tanah Suci, akan menghadapi tantangan yang berat.
Sebagai salah satu dari lima rukun Islam, berhaji merupakan impian bagi 2,04 miliar muslim dari seluruh penjuru dunia, tak terkecuali para penyandang disabilitas.
Indonesia, yang pada tahun ini menjadi kontingen terbesar jamaah haji, akan memberangkatkan 221 ribu jamaah, dan 513 di antaranya adalah penyandang disabilitas.
Sejak beberapa tahun lalu, Pemerintah Indonesia berupaya keras untuk memperhatikan jamaah haji yang perusia lanjut dan penyandang disabilitas. Tahun 2025 ini, Kementerian Agama bahkan mencanangkan tema khusus "haji ramah lansia dan disabilitas."
Namun bagaimana implementasinya pada 2025 ini?
Pada musim haji 2025, Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia untuk pertama kalinya, menggandeng penyandang disabilitas sebagai petugas haji pada musim haji.
Dua komisioner Komisi Nasional Disabilitas (KND), Dante Rigmalia dan Deka Kurniawan, turut serta menjadi petugas haji yang memberikan pendampingan kepada jemaah penyandang disabilitas.
Dante yang juga seorang penyandang disabilitas mengapresiasi langkah Kemenag yang telah memberikan kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk berperan aktif dalam penyelenggaraan haji.
Menjamin hak berhaji kaum disabilitas

Wakil Ketua Komisi Nasional Disabilitas (KND) Deka Kurniawan berbincang dengan peserta haji. (ANTARA/HO-MCH 2025)