Mikel Arteta revolusi Arsenal

id Liga Inggris,Arsenal,Mikel Arteta

Mikel Arteta revolusi Arsenal

Manajer Arsenal Mikel Arteta saat pertandingan leg pertama semifinal Piala Liga antara Liverpool dan Arsenal di Stadion Anfield, Liverpool, Inggris, 13 Januari 2022. (REUTERS/CRAIG BROUGH)

Jakarta (ANTARA) - Menghadapi tim raksasa seperti Liverpool di kandangnya sendiri di Anfield dengan sepuluh pemain selama hampir satu jam setelah Granit Xhaka diganjar kartu merah oleh wasit pada menit ke-24, adalah pengalaman mengerikan.

Bagaimana tidak, dalam pertandingan leg pertama semifinal Piala Liga itu, Arsenal tak henti diteror. Namun The Gunners berhasil menjaga gawangnya sekalipun tak henti diberondong The Reds.

Reaksi cepat pelatih Mikel Arteta dan kemampuannya dalam membaca pertandingan serta mengenali skuadnya membuat timnya selamat dari kekalahan. Hasil 0-0 ini juga berkat penampilan tenang tapi menggigit para pemain Arsenal yang rata-rata masih muda belia.

Laga itu menjadi salah satu dari banyak contoh mengenai adanya revolusi dalam Arsenal yang tidak saja disimpulkan dari permainan atraktif nan ofensif, tapi juga dari hasil pertandingan yang diperoleh Arsenal.

Setelah mengawali musim dengan buruk akibat kalah tiga kali kalah berturut-turut dalam pertandingan liga, Arsenal memenangkan 15 dari 22 pertandingan terakhirnya dalam semua kompetisi.

Arsenal hanya empat kali kalah yang dua di antaranya saat melawan dua tim pendominasi Liga Inggris; Liverpool dan Manchester City.

Sebelum dibungkam 1-2 oleh Man City 1 Januari lalu di Stadion Emirat, Arsenal memenangkan lima laga berturut-turut dengan melesakkan total 19 gol dan kebobolan 2 gol.

Seperti saat menahan seri Liverpool dalam semifinal Piala Liga itu, Arsenal dalam kualitas tinggi. 1 Januari itu City malah nyaris ditahan seri The Gunners yang bermain dengan sepuluh pemain sejak menit ke-60. Beruntung Rodri menciptakan gol pada menit terakhir waktu tambahan.

Kisah transformasi Arsenal ini menjadi bagian menarik dari Liga Inggris musim ini, apalagi revolusi itu bertumpu kepada skuad muda sampai legenda Arsenal Lee Dixon berkata, "Penghargaan besar harus diberikan kepada Arteta karena telah memberikan kesempatan kepada pemain-pemain muda."

Padahal, menurut Dixon, langkah Arteta itu adalah perjudian karena inkonsistensi bisa terjadi kapan saja pada tim muda, dan ini memang sempat terjadi saat awal musim.

Tetapi itu tak berlangsung lama karena Arsenal kemudian malah menjadi salah satu tim yang berpeluang besar menuntaskan musim dalam area empat besar.

Seperti Steven Gerrard meremajakan Glasgow Rangers dan kini Aston Villa, Arteta fokus merendahkan umur rata-rata pemainnya dengan mempersilakan pemain-pemain senior yang tidak cocok dengan filosofinya untuk mundur dari barisan.

Willian, David Luiz dan Sokratis Papastathopoulos adalah di antara pemain seperti itu. Sebaliknya pemain muda seperti Ben White, Bukayo Saka, Martin Odegaard, Gabriel Martinelli, dan Kieran Tierney didorong untuk lebih maju lagi.

Tak saja berbekal pengalaman menjadi asisten untuk salah satu pelatih sepakbola terhebat sepanjang masa Pep Guardiola, Arteta memimpin Arsenal dengan modal afinitas yang kuat dengan klubnya yang bertahun-tahun dibelanya sewaktu menjadi pemain. Dia memahami sekali tradisi Arsenal dan cara The Guners bermain.

Pada awalnya kepelatihan dia ditanggapi skeptis banyak kalangan. Alasannya, dia tak berpengalaman melatih klub, apalagi klub sebesar Arsenal, sekalipun pernah menjadi asisten Guardiola di Manchester City.

Tetapi ada modal yang tak dipunyai pelatih lain, yakni Arteta mengenal luar dalam Arsenal yang mungkin seperti Guardiola saat pertama kali melatih Barcelona yang juga dikenalnya luar dalam karena menjadi legenda selama menjadi pemainnya.

Kuncinya kesatuan

Arteta sendiri memiliki ciri khusus berupa ketenangan dalam memimpin tim tapi ketenangan yang menciptakan tim yang mengerikan. Buktinya bisa dilihat dari hasil 5-0 dan 4-1 di kandang Norwich dan Leeds. Kemudian menang 2-0 dan 3-0 atas Southampton dan West Ham yang bukan tim sembarangan.

Bagi penggemar Arsenal era lawas, revolusi Arteta ini mirip dengan revolusi yang dilakukan George Graham yang melatih Arsenal dari 1986 sampai 1995 sebelum era Arsene Wenger.

Graham mewarisi skuad muda luar biasa seperti dipunyai Arteta saat ini. Keduanya mewarisi pemain-pemain bintang yang mapan yang disayangi penggemar Arsenal kendati tak sesuai dengan rencana pelatihnya.

Pada musim pertamanya melatih Arsenal, Graham mempersilakan pemain-pemain senior seperti Stewart Robson, Tony Woodcock, dan Tommy Caton agar hengkang.

Tetapi justru tanpa bintang-bintang seperti itu Graham mempersembahkan Piala Liga pada 1987 yang merupakan trofi pertamanya kepada The Gunners pada musim pertamanya.

Formula sukses Graham mirip dengan yang diracik Arteta sekarang, yakni memadukan pemain muda dengan pemain berpengalaman yang cocok dengan filosofi pelatih.

Namun dua musim kemudian para pemain berpengalaman yang bertahan harus bersaing sengit dengan pemain-pemain muda yang semakin matang dan menjadi pilihan utama Graham. Ini membuat pemain-pemain favorit penggemar seperti Viv Anderson, Kenny Sansom dan Charlie Nicholas meninggalkan Arsenal.

Situasi sama terjadi saat ini di mana pemain-pemain yang sesuai dengan etos kerja dan gaya Arteta akan dipertahankan oleh pelatih asal Spanyol ini. Sebaliknya pemain yang tidak cocok dengan filosofinya dipersilakan meninggalkan Emirates.

Arteta sama tegasnya dengan Graham yang tak segan membiarkan pemain-pemain pindah ke klub lain, sekalipun tampil bagus.

Keduanya memandang manajemen dan pembinaan klub sebagai upaya bersama di mana semua orang dalam klub mempercayai perannya dan setiap peran terkait satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama yang lebih besar.

Pandangan ini pula yang membuat Arteta aktif bekerja bersama direktur teknis Edu dan manajer akademi muda Arsenal Per Mertesacker serta unsur klub lainnya guna menghadirkan kembali hal-hal yang menjadi identitas Arsenal, khususnya kesatuan tim. "Tanpa kesatuan Anda tak bisa mencapai apa yang ingin Anda capai," kata Arteta seperti dikutip laman Goal.

Menurut dia, kesatuan tim mengharuskan semua orang bekerja dalam organisasi yang menyisihkan ego dan membuang agenda pribadi. "Itu yang ingin kami ciptakan," tandas Arteta.

Kemauan dia ini sama kerasnya dengan Guardiola saat menjadikan Barcelona dan kini Manchester City menjadi tim-tim maut yang seperti Arteta bertumpu kepada pemain muda yang dipoles sejumlah pemain berpengalaman.

Demi pemain muda ini Arteta bahkan rutin hilir mudik menyambangi pertandingan dan latihan tim muda bersama Mertesacker, selain melibatkan legenda-legenda Arsenal untuk turut memoles bakat muda, termasuk kiper legendaris David Seaman yang dimintanya membantu melahirkan kiper-kiper hebat Arsenal.

Namun demikian dia mengakui Arsenal masih dalam proses menjadi sebesar dulu dan sebesar yang dia inginkan. Genderang revolusi masih akan terus ditabuhnya.

Tapi jika Anda melihat betapa enerjik dan eksplosifnya permainan Arsenal belakangan ini, maka klub ini sepertinya tengah dalam kondisi terbaik guna menjadi yang terbaik, untuk sekarang dan nanti.