Industri farmasi diminta serap bahan baku domestik
Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno meminta industri farmasi nasional untuk banyak menyerap produksi bahan baku obat (BBO) dalam negeri agar tidak selalu ketergantungan terhadap bahan baku impor.
"Memang tantangannya besar karena kalau kita bicara bahan baku obat di negara seperti Indonesia harus ada jaminan untuk pembeliannya, jangan sampai nanti bahan baku obat ini begitu sudah diproduksi sedemikian rupa tetapi produsen-produsen obat-obatan tetap mengimpor," kata Eddy Soeparno dalam rilis di Jakarta, Rabu.
Ia mengemukakan bahwa hilirisasi industri farmasi telah berkembang baik yang dapat memenuhi 90 persen kebutuhan pasar nasional, tetapi sekitar 90-95 persen BBO yang digunakan masih impor karena aspek hulunya dinilai masih lemah.
Padahal, lanjutnya, industri BBO merupakan industri dengan tingkat persaingan dan risiko yang tinggi, sehingga mereka menghadapi tantangan yang besar.
Eddy menekankan perlunya kebijakan yang jelas dari pemerintah untuk mendorong pengembangan industri BBO di Indonesia, salah satunya dengan mendorong percepatan pengembangan industri BBO di Indonesia agar mencapai kemandirian di bidang farmasi dan tidak terus menerus bergantung pada impor.
"Saat ini terutama di masa pandemi COVID-19, aspek kesehatan menjadi suatu hal yang sangat penting, sangat kita utamakan dan fokuskan. Saya kira inilah momentum yang tepat, menjadikan katalisator bagi kita untuk bisa mengembangkan industri farmasi, industri kesehatan, terutama industri bahan baku obat," ucapnya.
Lebih lanjut, Eddy berharap ke depan industri BBO di Indonesia dapat memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga nantinya Indonesia dapat memenuhi kebutuhan akan obat-obatan secara lebih mandiri.
Sebelumnya, Kementerian Perindustrian menyebutkan bahwa industri farmasi di Tanah Air siap menggunakan bahan baku obat (BBO) hasil produksi lima industri dalam negeri termasuk PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia (KFSP).
"Industri farmasi formulasi siap menggunakan BBO hasil produksi dalam negeri dengan beberapa pertimbangan seperti keberlanjutan BBO, kesesuaian spesifikasi BBO, konsistensi BBO, kemudahan audit, waktu delivery, hingga harga yang bersaing," kata Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kemenperin Muhammad Khayam lewat keterangannya di Jakarta, Minggu (12/12).
Khayam menyampaikan KFSP telah mampu memproduksi sebanyak 11 jenis molekul BBO yang sudah komersial, di antaranya adalah Clopidogrel, Simvastatin, Atorvastatin, Rosuvastatin, Entecavir, Lamivudin, Zidovudin, Efavirenz, Tenofovir, Remdesivir, dan Povidone Iodine.
Sementara itu, 11 BBO lainnya tengah dalam penyempurnaan, antara lain Candesartan, Valsartan, Amlodipine, Glimepiride, Bisoprolol, RIfampisin, Parasetamol, Pantoprazol, Risperidone, Meloksikam, dan Telmisartan.
Sedangkan, industri BBO lainnya adalah PT Ferron Par Pharmaceutical yang memproduksi BBO Omeprazol Injection Grade, PT Riasima Abadi Farma yang memproduksi BBO Parasetamol, serta PT Kalbio Global Medika dan PT Daewoong Infion yang memproduksi BBO Eritropoietin.
"Memang tantangannya besar karena kalau kita bicara bahan baku obat di negara seperti Indonesia harus ada jaminan untuk pembeliannya, jangan sampai nanti bahan baku obat ini begitu sudah diproduksi sedemikian rupa tetapi produsen-produsen obat-obatan tetap mengimpor," kata Eddy Soeparno dalam rilis di Jakarta, Rabu.
Ia mengemukakan bahwa hilirisasi industri farmasi telah berkembang baik yang dapat memenuhi 90 persen kebutuhan pasar nasional, tetapi sekitar 90-95 persen BBO yang digunakan masih impor karena aspek hulunya dinilai masih lemah.
Padahal, lanjutnya, industri BBO merupakan industri dengan tingkat persaingan dan risiko yang tinggi, sehingga mereka menghadapi tantangan yang besar.
Eddy menekankan perlunya kebijakan yang jelas dari pemerintah untuk mendorong pengembangan industri BBO di Indonesia, salah satunya dengan mendorong percepatan pengembangan industri BBO di Indonesia agar mencapai kemandirian di bidang farmasi dan tidak terus menerus bergantung pada impor.
"Saat ini terutama di masa pandemi COVID-19, aspek kesehatan menjadi suatu hal yang sangat penting, sangat kita utamakan dan fokuskan. Saya kira inilah momentum yang tepat, menjadikan katalisator bagi kita untuk bisa mengembangkan industri farmasi, industri kesehatan, terutama industri bahan baku obat," ucapnya.
Lebih lanjut, Eddy berharap ke depan industri BBO di Indonesia dapat memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga nantinya Indonesia dapat memenuhi kebutuhan akan obat-obatan secara lebih mandiri.
Sebelumnya, Kementerian Perindustrian menyebutkan bahwa industri farmasi di Tanah Air siap menggunakan bahan baku obat (BBO) hasil produksi lima industri dalam negeri termasuk PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia (KFSP).
"Industri farmasi formulasi siap menggunakan BBO hasil produksi dalam negeri dengan beberapa pertimbangan seperti keberlanjutan BBO, kesesuaian spesifikasi BBO, konsistensi BBO, kemudahan audit, waktu delivery, hingga harga yang bersaing," kata Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kemenperin Muhammad Khayam lewat keterangannya di Jakarta, Minggu (12/12).
Khayam menyampaikan KFSP telah mampu memproduksi sebanyak 11 jenis molekul BBO yang sudah komersial, di antaranya adalah Clopidogrel, Simvastatin, Atorvastatin, Rosuvastatin, Entecavir, Lamivudin, Zidovudin, Efavirenz, Tenofovir, Remdesivir, dan Povidone Iodine.
Sementara itu, 11 BBO lainnya tengah dalam penyempurnaan, antara lain Candesartan, Valsartan, Amlodipine, Glimepiride, Bisoprolol, RIfampisin, Parasetamol, Pantoprazol, Risperidone, Meloksikam, dan Telmisartan.
Sedangkan, industri BBO lainnya adalah PT Ferron Par Pharmaceutical yang memproduksi BBO Omeprazol Injection Grade, PT Riasima Abadi Farma yang memproduksi BBO Parasetamol, serta PT Kalbio Global Medika dan PT Daewoong Infion yang memproduksi BBO Eritropoietin.