Tindakan bedah minimal invasif untuk koreksi kelainan bentuk tulang

id koreksi kelainan tulang,limb lengthening and reconstruction,bedah minimal invasif

Tindakan bedah minimal invasif  untuk koreksi kelainan bentuk tulang

Ilustrasi (Pixabay)

Jakarta (ANTARA) - Tindakan limb lengthening & reconstruction yang tergolong metode pembedahan minimal invasif bisa membantu mengoreksi kelainan tulang pada lengan dan tungkai kaki akibat cedera atau bawaan lahir dan dapat dilakukan mulai usia anak hingga dewasa, menurut dr. Faisal Miraj, Sp.OT (K) dari Perhimpunan Dokter Spesialis Orthopedi dan Traumatologi Indonesia.

Dokter spesialis bedah ortopedi konsultan ortopedi anak, Limb Lengthening and Reconstruction RS Pondok Indah – Pondok Indah dan RS Pondok Indah – Bintaro Jaya itu menjelaskan, limb lengthening and reconstruction yakni salah satu bidang ortopedi untuk melakukan pemanjangan alat gerak di lengan dan tungkai kaki pada beberapa keadaan, misalnya, tungkai kaki tidak sama panjang atau untuk menambah tinggi badan.

Bidang ini juga dapat mengoreksi kelainan bentuk, seperti tulang yang bengkok dan melengkung, penanganan infeksi tulang, hilangnya sebagian segmen tulang karena cedera atau infeksi tulang yang luas, serta keadaan di mana patah tulang yang tidak dapat menyambung maupun patah tulang yang menyambung dengan bentuk yang tidak normal, baik bengkok, berputar atau memendek.

Faisal memaparkan, tindakan pengoreksian tulang biasanya dilakukan akibat adanya kelainan tulang, khususnya di sekitar tungkai kaki dan lengan. Hal ini dapat terjadi karena beberapa penyebab tergantung jenis kelainan yang diderita.

Jenis kelainan ini salah satunya kelainan pendeknya tungkai kaki atau kelainan bentuk tungkai kaki dan lengan yang disebabkan kelainan bawaan seperti skeletal displasia, hemimelia, limb deficiency, hemihipertrophi, radial club hand, multiple hereditary exostoses, oliers disease, dan osteogenesis imperfecta.

Ada juga bentuk tungkai khususnya jenis kaki X atau kaki O, biasanya terjadi karena adanya defisiensi zat gizi seperti defisiensi vitamin D dan gangguan hormonal, seperti hiperparatiroid.

Selain itu, kaki O jenis tibia vara akibat blount disease, bone defect atau hilangnya sebagian segmen tulang karena infeksi, tumor, maupun patah tulang yang berat juga bisa menjadi jenis kelainan yang diderita seseorang.

Pseudoarthrosis baik yang berasal dari bawaan sejak lahir atau setelah cedera yang menyebabkan patah tulang dan tulang menjadi sulit menyambung dan malunion fracture yaitu kelainan bentuk tulang akibat penyambungan patah tulang yang tidak sesuai, sehingga berbentuk bengkok, memutar, ataupun menjadi lebih pendek pun termasuk jenis kelainan.

Leg length discrepancy atau kedua tungkai kaki yang tidak sama panjang, menjadi masalah yang paling sering dialami pasien. Kelainan ini biasanya terjadi akibat cedera dan patah tulang yang sembuh ataupun tidak sembuh dan setelah itu menjadi pendek atau bisa juga karena kelainan bawaan.

Diagnosis kelainan tulang

Dokter biasanya akan merujuk pasien melakukan pemeriksaan fisik untuk mengetahui masalah dan penyebab kelainan tulang yang dialami. Selanjutnya, dokter dapat melakukan beberapa pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan radiologi dengan scannogram untuk melihat kelainan pada tungkai dari panggul sampai pergelangan kaki.

Bila diperlukan, dokter bisa menganjurkan pemeriksaan tambahan berupa CT-Scan atau MRI, pemeriksaan laboratorium, terutama jika diduga adanya kekurangan zat gizi seperti kekurangan vitamin D, kalsium, atau fosfor.

Selain itu, pemeriksaan hormon seperti hormon paratiroid, apabila kelainan bentuk yang terjadi kemungkinan disebabkan karena kelebihan hormon tersebut juga bisa dilakukan.

Penanganan melalui teknik bedah minimal invasif

Faisal menjelaskan, prosedur limb lengthening and reconstruction dilakukan dengan metode pembedahan minimal invasif yakni menggunakan sayatan berukuran kecil sehingga tidak banyak merusak jaringan lunak sekitar tulang.

Tata laksana pembedahan ini dimulai dengan pemasangan alat di luar tungkai kaki pasien atau external fixator seperti alat limb reconstruction system, ilizarov konvensional, maupun computerized. Kemudian dilakukan osteotomy atau pemotongan tulang. Selanjutnya, dengan alat-alat tersebut juga dapat dilakukan pemanjangan berkala dan juga koreksi kelainan bentuk lain seperti meluruskan tungkai yang bengkok atau terputar.

Setelah tindakan bedah, pasien memerlukan 2 – 3 hari untuk menjalani program fisioterapi awal. Fisioterapi yang dilakukan bertujuan untuk early mobilization atau percobaan berjalan awal dengan bantuan tongkat, walker, maupun kursi roda.

Biasanya dokter akan menilai luka operasi dalam waktu 1 – 2 minggu setelah dilakukannya tindakan. Apabila tidak ada infeksi dan luka kering dengan baik, maka dapat langsung dilakukan pencabutan benang serta edukasi perawatan mandiri terhadap alat bantu yang sedang digunakan.

Pemanjangan tungkai maupun koreksi kelainan bentuk lainnya umumnya dilakukan secara bertahap. Alat yang dipakai akan dipertahankan sampai bentuk tungkai yang diinginkan oleh pasien dan dokter tercapai.

Alat tersebut akan digunakan sampai tulang mengeras. Pasien boleh mengganti alat dengan tipe jenis lain, misalnya menggantinya dengan alat yang dipasang di dalam atau internal fixator.

Untuk menghindari terjadinya infeksi pada bekas luka operasi, pasien harus menjaga kebersihan alat yang digunakan serta kebersihan kulit di sekitar luka operasi. Caranya dengan melakukan perawatan harian yang sudah diajarkan oleh tim medis seusai tindakan.

Selama pemasangan alat, pasien juga disarankan tetap aktif melakukan fisioterapi atau latihan strengthening dan stretching. Hal ini dilakukan untuk menjaga sendi dan tulang tetap fleksibel dan tidak kaku.

Faisal menyimpulkan, tindakan limb lengthening and reconstruction memungkinkan pemanjangan tungkai, serta memperbaiki kelainan bentuk tulang baik pada anak, remaja, maupun dewasa. Tindakan ini juga dilakukan dengan metode invasif minimal sehingga masa pemulihan lebih singkat. Setelah tindakan dilakukan, bersamaan dengan program fisioterapi yang berkesinambungan diharapkan pasien dapat segera beraktivitas kembali dengan normal.