Integrasi pelabuhan upaya tingkatkan daya saing Indonesia

id pelabuhan indonesia,holding pelindo,holding bumn pelabuhan,pelindo

Integrasi pelabuhan upaya tingkatkan daya saing Indonesia

Aktivitas bongkar muat di Terminal Peti Kemas (TPK) Belawan yang merupakan Pelabuhan Petikemas terbesar di Sumatera. Pemerintah berencana melakukan integrasi (penggabungan) BUMN Pelabuhan yakni Pelindo I-IV menjadi suatu entitas tunggal untuk meningkatkan efisiensi logistik nasional serta menciptakan sistem operasional pelabuhan yang terstandar di seluruh wilayah di Indonesia. ANTARA/HO/Pelindo I

Belum optimalnya infrastruktur transportasi di Indonesia menjadi salah satu penyebab biaya logistik menjadi lebih mahal. Menurut Frost and Sullivan (2019), Indonesia memiliki biaya logistik termahal di Asia
Jakarta (ANTARA) - Indonesia merupakan negara maritim yang memiliki potensi yang besar karena terletak di jalur yang strategis dalam perdagangan internasional. Keberadaan Indonesia dalam jalur perdagangan internasional sudah mulai dikenal sejak abad ke-5 yang menjadi jalur perdagangan laut antara China, Arab dan India.

Jalur perniagaan dihubungkan melalui Laut China Selatan kemudian Selat Malaka, kemudian setelah sampai India, kemudian berlanjut ke negara-negara lainnya yang terletak di Teluk Persia, Laut Tengah dan Laut Merah bahkan ke Eropa.

Letak Indonesia yang sangat strategis dan memiliki sumber daya alam yang berlimpah seperti rempah-rempah, menjadikan Indonesia salah satu pusat perdagangan dunia pada jalur perdagangan global saat itu.

Hingga kini, Selat Malaka menjadi salah satu jalur perdagangan internasional terpadat di dunia.

Setiap tahun, jumlah kapal yang melintas di Selat Malaka mencapai lebih dari 100.000 kapal dengan mengangkut lebih dari 90 juta kontainer.

Berdasarkan data Lloyd’s List (2019), pelabuhan Singapura mampu melayani sekitar 37,2 juta kontainer, dan Malaysia dikisaran 22,6 juta kontainer. Sedangkan Indonesia mampu menarik sekitar 10,5 juta kontainer dan Thailand sebanyak 8,1 juta kontainer.

Kondisi ini menimbulkan keprihatinan, mengingat Indonesia memiliki garis pantai terpanjang di Selat Malaka yakni sekitar 600 mil, namun kurang mendapat limpahan dari arus kapal global di Selat Malaka.

Sementara itu, Singapura dengan garis pantai hanya 15 mil dan Malaysia 200 mil mampu menarik minat kapal untuk bersandar dengan jumlah lebih besar.

Kapal asing kurang tertarik bersandar di pelabuhan Indonesia sepanjang Selat Malaka disebabkan belum tersedianya fasilitas bongkar muat kontainer yang memadai sehingga pelayanan kepelabuhanan menjadi kurang optimal dan efisien. Selama ini, pengembangan pelabuhan di Indonesia masih terfokus di Pulau Jawa, yang justru tidak dilalui poros maritim dunia.

Terkait dengan itu, peran pelabuhan menjadi sangat penting dalam mendukung peningkatan aktivitas ekonomi.

Pemerintah Indonesia berkeinginan mengembangkan poros maritim yang ditunjukkan dengan upaya menyediakan infrastruktur dan fasilitas pelabuhan yang bersaing secara internasional, terlebih pelabuhan yang terdapat di sepanjang Selat Malaka seperti Pelabuhan Kuala Tanjung di Sumatera Utara.

Pembangunan pelabuhan yang kompetitif merupakan upaya Indonesia dalam meningkatkan daya saing Indonesia dalam persaingan global.

Merujuk data World Economic Forum (WEF) dalam The Global Competitiveness Report 2019, infrastruktur transportasi Indonesia berada di posisi 55 dari 141 negara.

Sedangkan tingkat efisiensi dari pelabuhan menduduki peringkat 61. Sementara itu, Singapura merupakan negara dengan infrastruktur transportasi terbaik di dunia. Tak heran, jika capaian ini yang membuat perusahaan-perusahaan pelayaran global lebih memilih untuk menyandarkan kapal-kapalnya di negara ini.

Dari tahun 2017 hingga 2019, Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan. Rekor terburuk terjadi pada tahun 2018 ketika defisit neraca pembayaran Indonesia mencapai 8,57 miliar dolar AS atau setara 3,57 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Salah satu penyebab defisit pada neraca perdagangan bersumber dari sisi kepelabuhan. Meski Indonesia adalah negara maritim, ternyata tidak memiliki konektivitas pelabuhan sebaik negara tetangga. Akibatnya, biaya logistik di Indonesia menjadi lebih mahal.

Biaya Logistik

Belum optimalnya infrastruktur transportasi di Indonesia menjadi salah satu penyebab biaya logistik menjadi lebih mahal. Menurut Frost and Sullivan (2019), Indonesia memiliki biaya logistik termahal di Asia, yakni sebesar 24 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Biaya logistik Vietnam mencapai 20 persen dari PDB, Thailand 15 persen dari PDB, dan Tiongkok 14 persen dari PDB.

Sedangkan biaya logistik di Malaysia, Filipina, dan India hanya sebesar 13 persen dari PDB. Faktor utama penyebab masih tingginya biaya logistik di Indonesia antara lain adalah pertama, waktu yang dihabiskan kapal di pelabuhan Indonesia relatif lebih lama dibandingkan dengan negara lain

Bank Dunia (2018) mencatat, rata-rata kapal di Indonesia menghabiskan waktu selama 1,28 hari. Sedangkan di Malaysia hanya selama 0,93 hari dan Singapura selama 0,65 hari. Kedua, waktu yang digunakan untuk pengurusan ekspor dan impor di Indonesia baik dari sisi kepabeanan maupun dokumen, lebih lama jika dibandingkan dengan negara lain.

Di Indonesia, waktu yang dihabiskan untuk proses dokumen ekspor mencapai 138,8 jam dan untuk dokumen impor selama 164,4 jam. Sementara itu, di Malaysia dokumen ekspor diproses hanya selama 35 jam, dan dokumen impor selama 60 jam. Ketiga, biaya yang digunakan untuk ekspor dan impor di Indonesia cenderung lebih mahal. Di Indonesia biaya ekspor rata-rata sebesar 253,7 dolar AS dan impor sebesar 382,6 dolar AS.

Sedangkan biaya ekspor dan impor di Malaysia dikenakan nilai yang sama, di kisaran 212,5 dolar AS. Keempat, efisiensi rantai nilai yang masih rendah.

Infrastruktur transportasi yang menghubungkan sentra produksi dan pelabuhan yang masih tidak terintegrasi menyebabkan biaya rantai pasok di Indonesia menjadi lebih mahal. Kelima, permintaan dan penawaran antar daerah yang tidak seimbang.

Sebaiknya, kapal-kapal yang membawa angkutan ke daerah harus membawa kembali muatan dari daerah yang dituju. Akibat jumlah pasokan barang masih belum merata, dan mengakibatkan terjadinya perbedaan biaya logistik yang jauh antara Kawasan Indonesia Bagian dan Timur.


Integrasi Pelabuhan

Kebijakan logistik untuk meningkatkan daya saing pelabuhan di Indonesia telah dirancang dalam RPJMN 2020-2024 melalui pembangunan infrastruktur ekonomi dan pelayanan dasar. Pembangunan tersebut diantaranya adalah peningkatan sistem logistik dengan sasaran penguatan pilar pertumbuhan dan daya saing ekonomi.

Salah satu upaya dalam meningkatkan daya saing logistik Indonesia dilakukan dengan mengintegrasikan pengelola pelabuhan. Saat ini, pengelolaan pelabuhan yang dimiliki negara dijalankan oleh empat badan usaha.

Dari sisi persaingan global, Indonesia akan sulit untuk bersaing dengan negara lain mengingat skala pelabuhan yang terpecah menjadi empat sehingga tidak memiliki daya tawar yang tinggi terhadap perusahaan pelayaran global.

Rendahnya daya saing pelabuhan tersebut disebabkan sumber daya yang masih terbatas, administrasi pelayanan yang berbeda, dan kinerja perusahaan yang beragam.

Penyatuan seluruh badan usaha pengelola pelabuhan menjadi penting dalam upaya meningkatkan kapasitas perusahaan, standarisasi layanan pelabuhan, dan sumber daya manusia yang lebih kuat, sehingga mendorong perusahaan holding meningkatkan target efisiensinya dan pada akhirnya, biaya logistik dapat lebih ditekan.

Dalam persaingan global saat ini, Indonesia memiliki 2 pelabuhan yang tersibuk di dunia yaitu Pelabuhan Tanjung Priok yang dikelola oleh Pelindo II dan Pelabuhan Tanjung Perak yang dikelola Pelindo III. Sayangnya, kedua pelabuhan tersebut tidak berada di Selat Malaka yang menjadi poros maritim terbesar dunia.

Sementara itu, pelabuhan yang terletak di Selat Malaka, Pelabuhan Belawan dan Kuala Tanjung yang dikelola oleh Pelindo I, masih belum mampu bersaing dengan pelabuhan besar lain seperti Port Klang dan Tanjung Pelepas (Malaysia), serta Singapura. Untuk dapat menyaingi ketiga pelabuhan besar tersebut maka Pelindo I memerlukan sumber daya yang besar, infrastruktur pendukung yang lengkap dan layanan administrasi yang berkualitas.

Percepatan pelayanan di pelabuhan termasuk pelayanan pandu, dwelling time atau waktu bongkar muat kontainer sampai meninggalkan terminal pelabuhan, akan berdampak terhadap penurunan biaya logistik di pelabuhan.

Efisiensi biaya logistik sudah menjadi perhatian khusus pemerintah Indonesia saat ini, yang dituangkan dalam RPJMN 2020-2024. Strategi yang ditempuh pada peningkatan efisiensi dalam sistem logistik nasional dilakukan melaui pembangunan sarana dan prasarana pendukung efisiensi distribusi dan logistik.

Perbaikan sistem logistik juga diarahkan untuk meningkatkan efisiensi perdagangan internasional melalui percepatan arus barang ekspor dan impor dengan penerapan integrasi proses bisnis melalui sistem Indonesia National Single Window (INSW).

Dalam RPJMN 2020-2024 telah ditetapkan proyek utama (major project) jaringan pelabuhan utama terpadu yang bermanfaat bagi penurunan biaya logistrik, terbentuknya standarisasi kinerja pelabuhan utama, serta peningkatan efisiensi rute pelayaran domestik dan penunjang kawasan ekonomi yang terintegrasi dengan pelabuhan.

Guna membangun jaringan pelabuhan terpadu tersebut maka integrasi pengelola pelabuhan di Indonesia harus dapat diwujudkan.

Dengan demikian, pengelolaan dan pemanfaatan aset perusahaan holding pengelola pelabuhan menjadi lebih optimal, sumber daya manusia dan layanan administrasi menjadi lebih terstandarisasi, yang keseluruhannya akan bermanfaat bagi peningkatkan kinerja perusahaan, penurunan biaya logistik dan meningkatkan daya saing pelabuhan di Indonesia.

*) Wahyu Ario Pratomo adalah Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara