Skrining ketat diperlukan sebelum kunjungi dokter gigi

id dokter gigi dan ppkm,penularan covid-19,risiko covid-19 di klinik gigi,dokter gigi,berita sumsel, berita palembang, antara palembang

Skrining ketat diperlukan sebelum  kunjungi dokter gigi

Ilustrasi seseorang sedang mendapat penanganan dokter gigi (Pixabay)

Membersihkan gigi tidak meningkatkan risiko infeksi COVID-19
Jakarta (ANTARA) - Anda yang ingin berkonsultasi langsung dengan dokter gigi pada masa Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat saat ini perlu memperhatikan beberapa hal, salah satunya bersiap menjalani penapisan atau skrining secara ketat demi mencegah penularan COVID-19.

Dokter gigi dari Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran, Shaliha Hasim mengatakan, skrining ini mencakup pemeriksaan suhu, gejala dan kontak erat pada kasus COVID-19. Pasien yang bergejala seperti COVID-19 semisal demam dan batuk saat skrining harus siap ditolak untuk berkonsultasi.

"Kalau dia ada batuk tetapi memaksa untuk tindakan, minimal harus swab antigen dulu. Jadi, kalau ada gejala yang jelas, tidak akan kita terima. Kalau ternyata dia positif, masuknya ke dokter umum untuk diarahkan ke pengobatan COVID-19 dulu," tutur dokter yang berpraktik di DMP Empang, Bogor itu saat dihubungi ANTARA, Selasa.

Menurut Shaliha, hal ini berbeda dengan dulu. Pasien sekedar batuk batuk, pilek atau mengaku tidak kontak dengan orang yang terkonfirmasi positif COVID-19 akan diterima untuk berkonsultasi.

Sebelum datang ke klinik gigi, pasien sebenarnya bisa memanfaatkan fasilitas telemedicine dulu sebagai deteksi awal masalah gigi mereka. Namun, memang tak semua kasus gigi bisa diselesaikan lewat telemedicine.

Setelah lolos penapisan, pasien harus masuk ke ruangan pemeriksaan sendiri sembari mengenakan APD. Apabila dia butuh ditemani pendamping, maka pendamping dibatasi hanya satu orang dan dia pun harus bersedia mengenakan APD.

APD untuk pasien dan pendamping biasanya bisa dibeli seharga Rp15 ribu yang terdiri dari gown (pakaian) dan head cap atau penutup kepala.

Selain itu pasien juga harus dilengkapi dengan informed consent (persetujuan medik) yang harus ditandatangi kalau mereka masuk dan dilakukan tindakan risiko tinggi tertular dan menularkan (COVID-19), kata Shaliha.

Selain menerapkan skrining ketat, Shaliha dan timnya memilih tetap praktik di tengah PPKM Darurat juga karena memiliki fasilitas APD level 3 sesuai anjuran Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB PDGI) dan Kementerian Kesehatan.

Ruangan praktik pun diatur sesuai protokol pencegahan penularan COVID-19 seperti memiliki ventilasi baik, penyemprotan ruangan setiap usai menangani satu pasien, dokter tidak makan dan minum serta salat di dalam ruangan pratik atau klinik.

Shaliha mengatakan para dokter dan perawat tidak makan dan minum di dalam ruangan klinik begitu juga solat (di tempat lain atau ruangan lain). Begitu APD mereka kenakan, mereka harus siap berlaku seperti sedang berpuasa. Untungnya konsultasi gigi hanya empat jam untuk setiap shift.

Kasus yang ditangani sebatas yang darurat seperti pulpitis yakni nyeri gigi berdenyut yang membuat sakit kepala sehingga pasien tidak bisa melakukan kegiatannya, abses atau bengkak, polip pulpa yakni jaringan asing tumbuh di dalam gigi sehingga membuat tidak nyaman saat makan.

Pada kasus polip pulpa, biasanya dokter akan membersihkan jaringan yang tumbuh lalu menutupnya sementara. Kasus lainnya, misalnya gigi berlubang dan ngilu, pemboran akan dilakukan minimal dan menambal sementara gigi berlubang itu.

"Yang menyebabkan aerosol itu pengeboran dan scalling. Jadi kalau scalling tidak samasekali kecuali lokal misalnya karena dibutuhkan. Scalling seperti yang rutin dilakukan kami tolak. Kalau penambalan yang butuh pengeboran banyak biasanya ditunda dengan penambalan sementara" tutur Shaliha.

Sebelumnya, PDGI melalui surat edaran pada 3 Juli 2021 mengimbau dokter gigi selama PPKM Darurat sementara tidak membuka praktik. Tetapi bagi dokter yang membuka praktik, hanya melayani kasus-kasus darurat sembari mengenakan APD level 3. Dokter juga dianjurkan memberikan pelayanan pada pasien melalui teledentistry atau telemedicine.

Imbauan ini dikeluarkan salah satunya seiring peningkatan kasus COVID-19 yang semakin tinggi di Indonesia. Data dari laman covid19.go.id, terjadi penambahan sekitar 40.427 kasus baru pada Selasa pukl 12.05 WIB dengan total kasus menjadi 2.567.630. Dari angka ini, pasien sembuh mencapai 2.119.478 orang.

Di sisi lain, PDGI mencatat pada 5 Februari 2021 sebanyak 396 dokter gigi yang terpapar COVID-19 dengan rincian dari puskesmas 199 orang, rumah sakit 92 orang, klinik 36 orang, praktek mandiri 35 orang, dan institusi pendidikan atau fakultas kedokteran gigi 13 orang. Dari jumlah ini, sebanyak 39 orang di antaranya meninggal dunia.



Risiko penularan COVID-19 di klinik gigi

Virus SARS-CoV-2 diketahui menyebar melalui tetesan pernapasan dan prosedur gigi diketahui menghasilkan banyak aerosol sehingga menyebabkan kekhawatiran air liur yang keluar selama pembersihan atau prosedur restoratif dapat membuat ruang praktik dokter gigi menjadi lokasi transmisi tinggi virus penyebab COVID-19 itu.

Mengomentari hal ini, peneliti dari Ohio State University melalui studi yang dipublikasikan dalam Journal of Dental Research pada 12 Mei 2021 menemukan, bukannya air liur tetapi larutan encer alat irigasi yang menjadi sumber utama bakteri atau virus dalam percikan dan semburan dari mulut pasien.

Bahkan ketika tingkat rendah virus SARS-CoV-2 terdeteksi dalam air liur pasien tanpa gejala, aerosol yang dihasilkan selama prosedur tindakan pada gigi tidak menunjukkan tanda-tanda virus corona.

"Membersihkan gigi tidak meningkatkan risiko infeksi COVID-19," kata peneliti sekaligus profesor periodontologi di Ohio State, Purnima Kumar seperti dikutip dari Science Daily.

Penelitian sebelumnya telah menunjukkan, aerosol dari prosedur gigi cenderung mendarat di wajah dokter dan dada pasien dengan jarak jangkau bisa sampai sejauh 11 kaki atau 3,3 meter.

Air liur sempat dikatakan berpotensi mematikan pada awal pandemi COVID-19. Untuk itu, Kumar dan tim memutuskan melakukan studi melibatkan 28 pasien yang menerima implan gigi dan restorasi di Ohio State's College of Dentistry pada 4 Mei dan 10 Juli 2020.

Para peneliti mengumpulkan sampel air liur dan larutan pembersih yang digunakan untuk membilas mulut saat sebelum dan 30 menit setelah prosedur.

Mereka menemukan, mikroba dalam larutan pembersih gigi (irigasi) berkontribusi sekitar 78 persen di dalam aerosol sementara air liur, bila ada, menyumbang 0,1- 1,2 persen dari mikroba yang didistribusikan di sekitar ruangan.

"Larutan irigasi mengencerkan air liur dengan perkiraan 20-200 kali lipat, dan penelitian ini divalidasi oleh studi tahun 2020 yang melaporkan kurang dari 1 persen tingkat positif COVID-19 di kalangan dokter gigi," kata Kumar.

Dokter gigi berada di garis depan praktik pengendalian infeksi dalam perawatan kesehatan. Selama pandemi, protokol baru diterapkan para dokter di ruang praktik termasuk sistem ventilasi ruangan yang diperkuat, peralatan penyedot aerosol ekstra, masker N95 dan pelindung wajah dan perpanjangan waktu henti antar pasien.

Mereka ini tentu tidak merasa aman karena dikelilingi aerosol. Temuan studi ini bisa menenangkan mereka saat melakukan prosedur.

"Namun, kita tidak boleh melupakan fakta virus ini menyebar melalui aerosol, dan berbicara, batuk atau bersin di klinik gigi masih dapat membawa risiko penularan penyakit yang tinggi," demikian pesan Kumar.