DKP selidiki kegiatan ilegal pengambilan telur ikan terbang di Malra

id ikan terbang,penangkapan ikan ilegal,ikan terbang malra,dinas kelautan perikanan maluku,berita sumsel, berita palembang, antara palembang

DKP selidiki kegiatan ilegal pengambilan  telur ikan terbang di Malra

Ikan torani atau yang lebih dikenal dengan ikan terbang. (FOTO ANTARA/HO-Pixabay.com)

Malra, Maluku (ANTARA) - Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Maluku sedang menyelidiki adanya aktivitas pengambilan telur ikan terbang di Perairan Maluku Tenggara (Malra) maupun Kota Tual secara ilegal oleh nelayan dari luar provinsi itu.

"Informasi yang kami peroleh dari masyarakat bahwa di Perairan Kota Tual tepatnya di Tayando, dan di Malra, yakni Tanimbar Kei dan Ur Pulau, bahwa nelayan luar daerah yang berasal dari Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara kini melakukan aktivitas pengambilan telur ikan terbang," kata Kepala Kantor Cabang DKP Maluku untuk Tual, Tommy Bella di Tual, Senin.

Ia menjelaskan Perairan Malra seperti di Kei Kecil maupun Kei Besar, sejak lama dikenal sebagai lokasi bertelurnya ikan terbang atau ikan torani. Setiap tahun nelayan melakukan pengambilan telur ikan terbang pada periode Maret hingga Oktober, dengan cara menyediakan tempat bertelur yang terbuat dari daun kelapa.

"Bila pengambilan telur ikan terbang itu dilakukan secara masif dan tidak terkontrol dikhawatirkan akan mengganggu kelangsungan hidup ikan terbang di daerah Maluku Tenggara dan Kota Tual ini," katanya.

Ia menjelaskan untuk dapat beroperasinya kapal-kapal nelayan luar provinsi di wilayah diatur dalam nota kesepahaman (MoU) antara kedua daerah,  dalam hal ini Pemerintah Sulawesi Selatan dan Provinsi Maluku, serta Pemerintah Sulawesi Tenggara dengan Provinsi Maluku, yang ditindaklanjuti dengan adanya Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara DKP daerah terkait.

Sejauh ini MoU antara Pemprov Maluku dan Sulawesi Selatan sudah ada, namun belum ada PKS. Sedangkan untuk Maluku dan Sulawesi Tenggara belum ada MoU maupun PKS sama sekali.

"Sekalipun sudah ada MoU namun belum ada PKS maka mereka tidak boleh beraktivitas, dan jika kini mereka beroperasi di daerah ini sesuai informasi yang kita dapatkan, maka dapat kita katakan mereka ilegal," katanya.

DKP Maluku sendiri belum mengeluarkan persetujuan PKS dengan DKP Sulawesi Selatan di tahun 2021, karena pertimbangan utamanya yakni surat edaran dari Bupati Malra dan Wali Kota Tual yang melarang nelayan dari luar masuk ke daerah ini akibat pandemi COVID-19.

Menurut dia aktivitas nelayan luar daerah dari tahun ke tahun terus berulang meski pihaknya sudah melakukan patroli dan kegiatan edukasi. DKP Maluku sudah pernah menahan beberapa kapal yang berasal dari Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan, namun sanksinya baru berupa pembinaan dan menyuruh mereka pulang ke daerahnya.

"Untuk tahun 2021 ini, kita telah patroli namun belum menemukan mereka karena ketika kita turun pengawasan laut sepi dan tidak tahu mereka berkumpulnya di mana, sehingga informasi sangat kita butuhkan dari masyarakat," ujarnya.

Ia menambahkan masyarakat tidak lepas dari tanggung jawab dalam kasus tersebut karena mereka memiliki kemampuan untuk mengusir nelayan luar provinsi. DKP juga telah melakukan penggalangan di desa-desa dengan membentuk Pokmaswas (Kelompok Masyarakat Pengawas), yang dapat mengambil tindakan langsung seperti penangkapan terhadap aktivitas ilegal di kawasan mereka.

Selain itu, kata diia, pemerintah daerah perlu mengeluarkan aturan khusus terhadap aktivitas tersebut melalui adanya peraturan bupati maupun wali kota yang pada intinya melarang masyarakatnya bekerja sama dengan nelayan dari luar. "Karena dari pengalaman kami, nelayan dari luar ada bekerjasama dengan mereka," katanya.

DKP terus berupaya memberikan pengetahuan kepada masyarakat setempat melalui sosialisasi bahwa apa yang warga dapat dari aktivitas nelayan dari luar daerah tidak sebanding dengan apa yang mereka dapatkan.

"Karena telur ikan ini bernilai ekonomis tinggi. Saat ini mereka mencuri kalian punya harta, makanya ketika mendapati mereka, kalian usir. Karena apa yang kalian dapat itu rugi, baik dari pembelian daun kelapa ataupun setoran ke pihak-pihak warga," katanya.

Ia menambahkan sesuai aturan yang berlaku adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan yang berhak mengeluarkan izin kepada kapal perikanan berukuran di atas 30 GT, sedangkan kapal perikanan berukuran di bawah 30 GT Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI) dikeluarkan oleh pemda.

Untuk kapal berukuran di bawah 10 GT pemda menerbitkan Tanda Daftar Kapal Perikanan (TDKP). Sementara itu, kapal motor dari luar daerah yang beroperasi di daerah untuk mengambil telur ikan ini hanya berukuran di bawah 10 GT, demikian Tommy Bella.