Presiden Jokowi: Kekerasan di Myanmar harus ditentikan, demokrasi dikembalikan

id presiden jokowi,asean leaders' meeting,myanmar

Presiden Jokowi: Kekerasan di Myanmar harus ditentikan, demokrasi dikembalikan

Presiden RI Jokowi bersama para pemimpin serta perwakilan negara-negara ASEAN mengikuti ASEAN Leaders' Meeting (ALM) di Gedung Sekretariat ASEAN Jakarta, Sabtu (24-4-2021). ANTARA/HO-Biro Pers Sekretariat Presiden/Laily Rachev

Jakarta (ANTARA) - Presiden RI Joko Widodo dalam ASEAN Leaders' Meeting (ALM) menegaskan bahwa kekerasan di Myanmar harus dihentikan dan demokrasi di negara tersebut juga harus segera dikembalikan.

"Perkembangan situasi di Myanmar sesuatu yang tidak dapat diterima dan tidak boleh terus berlangsung. Kekerasan harus dihentikan, demokrasi, stabilitas, dan perdamaian di Myanmar harus segera dikembalikan," kata Presiden Joko Widodo dalam konferensi pers di Gedung Sekretariat ASEAN, Jakarta, Sabtu.

Presiden Jokowi menyampaikan hal tersebut didampingi oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung.

ALM sendiri dihadiri oleh 10 orang pemimpin dan perwakilan negara-negara anggota ASEAN, termasuk Ketua ASEAN saat ini yang juga Kepala Negara Brunei Darussalam Sultan Hassanal Bolkiah serta Sekretaris Jenderal ASEAN Dato Lim Jock Hoi.

"Kepentingan rakyat Myanmar harus selalu menjadi prioritas," kata Presiden menegaskan.

Presiden Jokowi menyebutkan ada tiga hal yang diminta Indonesia kepada pemimpin militer Myanmar.

"Dalam pertemuan ini saya juga menyampaikan pentingnya pemimpin militer Myanmar untuk memberikan komitmen, yaitu permintaan komitmen pertama adalah penghentian penggunaan kekerasan dari militer Myanmar," ungkap Presiden.

Pada saat yang sama semua pihak harus menahan diri sehingga ketegangan dapat diredakan.

"Permintaan komitmen kedua, proses dialog yang inklusif harus dimulai, tahanan politik harus segera dilepaskan," kata Jokowi.

Presiden Jokowi memandang perlu pembentukan Special Envoy ASEAN, yaitu Sekjen dan Ketua ASEAN untuk mendorong dialog dengan semua pihak di Myanmar.

"Permintaan komitmen ketiga adalah pembukaan akses bantuan kemanusiaan dari ASEAN yang dikoordinasi Sekjen ASEAN bersama AHA Center (The ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian Assistance on Disaster Management)," ungkap Presiden.

Pemerintah Indonesia, menurut Presiden Jokowi, berkomitmen untuk mengawal terus ketiga permintaan komitmen tersebut agar krisis di Myanmar dapat diatasi.

"Saya bersyukur bahwa apa yang disampaikan Indonesia ternyata sejalan dengan apa yang disampaikan para pemimpin ASEAN sehingga dapat dikatakan para pemimpin ASEAN telah mencapai konsensus," kata Presiden.

Presiden Jokowi mengatakan bahwa Sekjen ASEAN Dato Lim Jock Hoi telah menyampaikan lima butir konsensus yang isinya lebih kurang sama dengan apa yang menjadi pernyataan nasional Indonesia.

"Kita patut bersyukur bahwa pada akhirnya ASEAN Leaders Meeting dapat diselenggarakan pada hari ini sejak saya menelepon Sultan Brunei Darussalam pada tanggal 23 Maret 2021 bersama dengan chair, Indonesia bekerja keras memastikan agar ALM ini bisa diselenggarakan," ucap Presiden.

Para pemimpin dan perwakilan negara ASEAN yang dalam ALM adalah Sultan Hassanal Bolkiah, Presiden Joko Widodo, Perdana Menteri Vietnam Phm Minh Chính, Perdana Menteri Kamboja Hun Sen, Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin Yassin, dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong.

Selanjutnya, Menteri Luar Negeri Filipina sebagai Utusan Khusus Filipina Teodoro L. Locsin Jr., Menteri Luar Negeri Thailand sebagai Utusan Khusus Thailand Don Pramudwinai, Menteri Luar Negeri Laos sebagai Utusan Khusus Laos Saleumxay Kommasith, dan Panglima Militer Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing.

Seperti diketahui, Myanmar telah berada dalam krisis sejak militer merebut kekuasaan dari pemerintahan terpilih yang dipimpin Aung San Suu Kyi pada tanggal 1 Februari 2021.

Pihak militer menangkap penasihat negara Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, para politikus dari partai pemenang pemilu, yaitu Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), serta sejumlah aktivis prodemokrasi dan HAM di Myanmar.

Unjuk rasa hampir setiap hari dilakukan massa yang menentang kuota, sementara pihak militer juga terus melakukan tindakan keras yang menyebabkan tewasnya ratusan orang.

Menurut data Lembaga Bantuan untuk Tahanan Politik Myanmar (AAPP), korban tewas sudah mencapai lebih dari 600 orang.