Walhi Sumsel catat konflik agraria antara petani dan perusahaan masih tinggi

id Walhi, konflik agraria, walhi sumsel minta selesaikan konflik agraria, masalah penguasaan lahan besar-besar oleh perusah

Walhi Sumsel catat konflik agraria antara petani dan perusahaan masih tinggi

Aktivis Walhi Sumsel aksi peduli lingkungan (ANTARA/Yudi Abdullah/21)

Palembang (ANTARA) - Aktivis lingkungan yang tergabung dalam Walhi Sumatera Selatan mencatat konflik agraria di provinsi dengan 17 kabupaten dan kota itu masih cukup tinggi.

Berdasarkan data pada tahun 2020, tercatat 20 konflik agraria yang terjadi antara petani dengan pihak perusahaan perkebunan besar dan pertambangan di provinsi ini, kata Direktur Eksekutif Walhi Sumsel, M.Hairul Sobri di Palembang, Jumat.

Dia menjelaskan, beberapa konflik agraria yang memerlukan penyelesaian dan perhatian pihak terkait seperti konflik antara masyarakat/petani Dusun Cawang Gumilir dengan pihak PT. Musi Hutan Persada (MHP) yang melakukan penggusuran lahan petani.

Konflik agraria antara masyarakat Desa Belanti dengan empat perusahaan perkebunan sawit yakni PT. Waringin Agro Jaya, PT. Rambang Agro Jaya, PT. Gading Cempaka Graha, dan PT. Kelantan Sakti yang dipicu permasalahan perubahan bentang alam, katanya.

Menurut dia, wilayah Sumsel dikuasai izin korporasi yang sangat besar mulai dari hutan tanaman industri (HTI) atau kebun kayu 1,5 juta hektare.

Kemudian perkebunan 1,3 juta ha , pertambangan 675 ribu ha dan dikuasai oleh negara 1,7 juta ha.

Dengan luas Sumsel 91.592,43 km2 dan jumlah penduduk 8.467.432 jiwa, artinya luasan wilayah kelola rakyat rata-rata/jiwa memiliki luasan hanya 0,4 ha untuk tiap jiwanya.

Berbanding terbalik dengan luas wilayah kelola korporasi yang hanya dimiliki oleh segelintir orang, memicu sering terjadi konflik agraria di Sumsel.

Selain memicu terjadinya konflik agraria, pemberian izin penguasaan dan pengelolaan lahan secara besar-besaran, mengakibatkan Sumsel darurat bencana ekologis, ujarnya.