Sumsel dorong hilirisasi karet dan sawit jadi daya ungkit ekonomi

id komoditas,karet,sawit,karet sumsel,hilirisasi,hilirisasi karet

Sumsel dorong hilirisasi karet dan sawit jadi daya ungkit ekonomi

Bupati Musi Banyuasin Dodi Reza Alex (tengah) memeriksa jalan yang menggunakan aspal karet di Desa Muara Teladan, Senin (26/10). (ANTARA/HO/21)

Palembang (ANTARA) - Provinsi Sumatera Selatan terus mendorong hilirisasi komoditas karet dan sawit untuk mendongkrak perekonomian daerah di tengah pemulihan akibat COVID-19.

Salah satu kabupaten yang getol dalam hilirisasi komoditas yakni Musi Banyuasin, yang mana sudah menghasilkan aspal karet dan minyak sawit jenis industrial Vegetable Oil (IVO).

Bupati Musi Banyuasin Dodi Reza Alex dalam webinar “Komoditas sebagai Penopang Ekonomi Bumi Sriwijaya”, Selasa, mengatakan Muba sudah melakukan transformasi ekonomi yakni bukan hanya menjual barang metah tapi kini sudah menghilirkan karet dan sawit dengan beragam program yang terintegrasi dari sisi hulu hingga hilir.

Tujuan dari transformasi ekonomi ini tak lain untuk mendapatkan nilai tambah karena selama ini para petani rakyat sangat tergantung dengan harga di pasar ekspor.

Namun dengan adanya hilirisasi, maka harga dapat terkerek naik karena adanya serapan dalam negeri.

Petani setempat mampu menikmati harga lateks Rp21.000 per Kg setelah dilakukan pengolahan oleh Unit Pengolahan dan Pemasaran Bokar, sementara sebelumnya jika hanya menjual bahan olahan karet (bokar) hanya berkisar Rp9.000—Rp10.000 per Kg.

Sementara untuk IVO, rencananya penyerapan produk hasil petani sawit Muba ini akan mulai dilakukan pada 2021 untuk menyuplai kebutuhan kilang RU III Plaju, Sumatera Selatan.

“Untuk aspal karet sendiri, Muba sudah bisa menyuplai kebutuhan untuk bahan baku pembangunan jalan nasional di Sumatera, sementara untuk IVO nanti kami akan menyuplai ke Pertamina karena saat ini sudah dihasilkan B30,” kata dia.

Musi Banyuasin bertekad merealisasikan hilirisasi komoditas ini karena hampir 80 persen penduduknya menggantungkan hidup pada sektor ini.

Berdasarkan data pemkab diketahui, luas perkebunan karet rakyat mencapai 459.032 Hektare, perusahaan 7.361 Hektare, sementara perkebunan kelapa sawit rakyat 141.192 Hektare dan perusahaan 302.279 Hektare.

Kepala Bank Indonesia Provinsi Sumatera Selatan Hari Widodo mengatakan langkah awal yang sudah dilakukan Kabupaten Muba itu patut diapresiasi karena dapat menjadi daya ungkit perekonomian Sumatera Selatan.

Produksi karet Sumsel dalam tiga tahun terakhir memiliki pangsa sebesar 75,82 persen terhadap nasional atau menjadi daerah penghasil utama di Tanah Air. Sedangkan pangsa ekspor karet mencapai 44,53 persen dari total ekspor Sumsel, dengan produksi sekitar 1 juta ton karet per tahun.

Sementara untuk produksi CPO Sumsel dalam tiga tahun terakhir memiliki pangsa 14,89 di Sumatera atau tertinggi ketiga setelah Riau dan Sumatera Selatan, dengan produksi 3,3 juta ton CPO per tahun.

Dengan potensi yang luar biasa tersebut, maka sepatutnya Sumsel menjadikan hilirisasi komoditas karet dan sawit ini menjadi hal penting karena hampir 50 persen penduduknya mengantungkan hidup pada sektor ini.

Di tengah pandemi COVID-19 ini, patut disyukuri karena sektor perkebunan sawit dan karet tetap tumbuh positif di Sumsel karena dari sisi ekspor tetap tinggi permintaannya. Di saat, pariwisata anjlok justru komoditas menjadi penyelamat bagi Sumsel.

“Namun memang masih disayangkan, komoditas ini sebagian besar hanya memenuhi pasar ekspor,” kata dia.

Hari tak menyangkal bukan perkara mudah untuk mendorong hilirisasi ini karena dibutuhkan modal yang sangat besar.

Sumsel yang menjadi penghasil karet terbesar di Indonesia dengan luas lahan kurang lebih 1,3 juta Hektare, hingga kini tidak memiliki pabrik ban lantaran investor menilai belum ada selisih jika dibandingkan membangun pabrik di Jawa.

“Kata kuncinya tiga hal, Sumsel harus memperbaiki infrastuktur, membenahi regulasi dan memberikan kepastian hukum,” kata dia.

Namun, Hari juga mengarisbawahi bahwa Sumsel juga tidak boleh terpaku pada hilirisasi karet dan sawit, karena sejatinya ada potensi lain yang dapat menjadi penopang perekonomian, yakni perikanan, pariwisata dan perkebunan kopi.