Penyelamatan ekonomi Indonesia dari belanja APBN

id Apbn,pandemi covid-19,ekonomi indonesia,pemulihan ekonomi,subsidi,kebijakan ekonomi,berita sumsel, berita palembang, antara sumsel, antara palembang,

Penyelamatan ekonomi Indonesia  dari belanja APBN

Deretan gedung bertingkat di kawasan Jakarta Selatan, Minggu (7/2/2021). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat realisasi belanja negara (APBN) Triwulan 4-2020 mencapai Rp732,74 triliun, naik dibanding realisasi Triwulan 4-2019 yang mencapai Rp704,22 triliun. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/wsj.

Jakarta (ANTARA) - Daniel M. Cable seorang pakar perilaku organisasi di London Business School dalam bukunya yang berjudul Exceptional (2020) menunjukkan kepada publik cara-cara untuk menemukan kekuatan diri sehingga seseorang bisa menjadi versi terbaik dari dirinya.

Menurut konsultan Twitter, Coca Cola, dan Ikea itu, untuk mencapai titik terbaik maka seseorang harus membangun kekuatan dari dalam dirinya. Fokuslah pada kekuatan bukan kelemahan.

Sejatinya, konsep-konsep Cable tak semata relevan diterapkan pada kehidupan individu melainkan juga untuk sebuah negara sebagaimana Indonesia.

Sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar sebenarnya Indonesia memiliki potensi untuk menopang perekonomian secara mandiri salah satunya melalui tingkat konsumsi yang pasti tinggi.

Jika dikaitkan dengan konteks terkini, hal itu pun semakin relevan ketika di tengah pandemi alokasi belanja pemerintah melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) pada 2021 diyakini masih akan menjadi kunci penyelamatan ekonomi Indonesia sebagaimana pada masa pandemi di 2020.

Itu ibarat sedang menerapkan teori-teori yang disampaikan Cable terkait membangun kekuatan dari dalam diri sendiri untuk dapat mengatasi kendala eksternal termasuk dalam hal ini adalah pandemi COVID-19.

Faktanya pada 2020, realisasi program PEN di Indonesia mencapai 6,09 persen (Rp579,8 triliun) dari total APBN Rp2.589,9 triliun. Berlanjut pada 2021 program PEN dianggarkan Rp627,9 triliun (5,70 persen) dari total RAPBN sebesar Rp2.750,0 triliun.

Rektor Institut Teknologi Bisnis Ahmad Dahlan, Mukkhaer Pakkana, menganalisis bahwa melalui pelebaran defisit APBN 2020 hingga 6,1 persen PDB, negara hadir untuk mencegah terjadinya kontraksi ekonomi lebih dalam akibat pandemi COVID-19 di 2020.

Maka pada 2021, APBN dan kebijakan fiskal akan melanjutkan perannya sebagai sebagai alat pendorong pemulihan ekonomi nasional.

Mukhaer menjelaskan, pemerintah telah berperan sebagai sentral pemulihan, dan menjadi satu-satunya komponen yang tumbuh positif. Pemerintah juga dinilainya telah berhasil menggenjot belanja di kuartal III-2020 sehingga bisa tumbuh 16,9 persen (QoQ) dan 9,76 persen (YoY).

Pertumbuhan pengeluaran pemerintah ini pun tercatat tiga kali lebih tinggi dibandingkan rata-rata pencapaian belanja pemerintah dalam lima tahun terakhir yakni 2015-2019.

Ini dampaknya sangat signifikan dimana kontribusi belanja pemerintah menyumbang 72pp (persentase poin) terhadap total pertumbuhan nasional.

Ke depan kemudian diyakini bahwa arah pemulihan ini akan terus didorong lebih cepat pada 2021 melalui APBN yang tetap “countercyclical”.

Di sisi lain, program vaksinasi yang efektif, dan PEN yang diperkuat pun turut memberikan kontribusi nyata.

Namun ia menekankan perlunya pemerintah terus memperkuat daya beli masyarakat kelas menengah bawah, dan mendorong peningkatan tingkat konsumsi masyarakat kelas menengah atas.

 
Sejumlah pekerja menyelesaikan pembuatan tas di rumah produksi, Kampung Babakan Nangka, Desa Cisayong, Kecamatan Cisayong Kabupatean Tasikmalaya, Jawa Barat, Jumat (19/2/2021). Dalam rangka mendorong Pemulihan Ekonomi Nasional, Bank Indonesia menempuh langkah kebijakan salah satunya melalui UMKM yaitu memperpanjang perluasan akseptasi QRIS 12 juta merchant dengan kolaborasi bersama PJSP, Pemerintah Pusat, dan Pemerintah Daerah, mendorong kolaborasi e-commerce, UMKM, dan Pemerintah untuk memperkuat daya saing produk UMKM domestik baik untuk penjualan dalam negeri maupun ekspor, serta memperpanjang MDR QRIS 0 persen. ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/hp. (ANTARA FOTO/ADENG BUSTOMI)



Kebangkitan Ekonomi

Senada dengan Mukhaer, ekonomi Universitas Nasional Prof. Dr. I Made Adnyana, S.E., M.M. mengakui belanja pemerintah telah berperan besar dalam menyelamatkan ekonomi Indonesia agar tidak masuk ke jurang depresi ekonomi sepanjang masa pandemi 2020.

Ia bersyukur karena hampir semua lembaga riset dunia memprediksi pada 2021 perekonomian global akan “kembali normal” dan akan tumbuh positif, sehingga memberikan peluang pada kebangkitan ekonomi Indonesia.

Namun berharap pada pemulihan ekspor, menurut Adnyana, tidak akan mudah bagi Indonesia.

Adnyana lebih menyarankan pemerintah untuk lebih fokus pada penanggulangan pandemi khususnya pemulihan sektor kesehatan dan melindungi sisi permintaan konsumsi masyarakat agar bisa menjadi pendorong kebangkitan ekonomi nasional.

Kebangkitan ekonomi dimulai dari sektor padat karya dengan melibatkan seluruh kekuatan, dari badan usaha, kementerian, dan lembaga, hingga pemerintah daerah dan perangkat desa.

Sedangkan Soleh Rusyadi Maryam dari Sucofindo berpendapat, peluang memperbaiki neraca perdagangan Indonesia melalui peningkatan ekspor masih terbuka di 2021 meskipun tidak sebesar tahun-tahun sebelumnya, karena ekonomi global baru pada tahap pemulihan.

Kuncinya, tingkatkan pertumbuhan ekspor produk atau komoditas andalan, diversifikasi dan hilirisasi produk ekspor, perluasan negara tujuan ekspor, dan fokus destinasi dengan negara-negara dengan GDP terbesar atau negara-nagara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi.

Maka kemudian untuk menjaga neraca perdagangan, tampaknya lebih mudah dilakukan dengan menekan impor barang konsumtif, mengendalikan barang intermediate, dan mengutamakan impor barang modal.


Pengangguran berkurang

Jika dikaitkan dengan kondisi yang terjadi di lapangan, Deputi 3 Kantor Staf Presiden Panutan Sulendra Kusuma menyadari bahwa pandemi COVID-19 yang sudah setahun melanda, memberikan dampak signifikan pada angka pemutusan hubungan kerja atau PHK di tahun 2020.

Data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan 386.877 pekerja terpaksa harus di PHK. Kondisi PHK dalam jumlah besar juga dirasakan oleh seluruh negara.

Seperti yang terjadi di Amerika Serikat (AS), data dari Departemen Ketenagakerjaan Amerika Serikat menunjukkan 2.2 juta yang terpaksa dirumahkan untuk sementara pada bulan Februari 2020 dan 3.5 juta orang yang terpaksa harus kehilangan pekerjaan secara permanen.

Jika dibandingkan dengan Indonesia, Amerika Serikat memang mengalami dampak pengangguran yang jauh lebih besar.

Ini tak terlepas dari usaha Pemerintah Indonesia yang secara sigap mengeluarkan kebijakan pengamanan jaringan sosial (“safety net”) untuk mengatasi lonjakan angka pengangguran.

Beberapa upaya yang dilaksanakan berupa bantuan sosial tunai, BLT desa, sembako, Kartu Prakerja, subsidi listrik, hingga banpres produktif untuk UMKM.

Selain itu, pemerintah juga mengembangkan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk mengantisipasi tenaga kerja kehilangan hak finansial akibat PHK.

Program dapat membantu pekerja mendapatkan jaminan uang pelatihan kerja serta akses informasi ke lapangan pekerjaan.

Pemerintah dalam hal ini memastikan setiap pekerja yang memiliki hubungan kerja dengan pengusaha, baik dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) maupun Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) berhak mendapatkan hak JKP. Pemerintah telah mengalokasikan dana dari APBN sebesar Rp6 triliun di tahun 2021 khusus JKP.

Saat ini pengaturan untuk pelaksanaan JKP telah dirumuskan dan disahkan melalui PP Nomor 37 tahun 2021.

Pemerintah pun optimistis bahwa bentuk implementasi Undang-Undang Cipta Kerja akan meningkatkan investasi tahun ini, yang diharapkan dapat menjadi daya ungkit pertumbuhan ekonomi ke arah yang lebih positif di tahun 2021.

Dengan demikian pemulihan ekonomi akibat pandemi COVID-19 bisa diakselerasikan dengan lebih cepat, termasuk melalui optimalisasi kekuatan dari dalam negeri sendiri. Dari sini lah semua yakin bangsa ini dengan kekuatan sendiri mampu menyelamatkan seluruh negeri dari badai pandemi.