Semarang (ANTARA) - Pakar keamanan siber dari CISSReC Pratama Persadha mendukung Presiden RI Joko Widodo dan DPR RI yang akan merevisi pasal karet dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19/2016.
"Pasal di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sudah cukup untuk urusan pencemaran nama baik," kata Dr. Pratama Persadha yang juga Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi CISSReC melalui percakapan WhatsApp kepada ANTARA di Semarang, Rabu.
Sebelumnya, UU ITE ini pernah direvisi pada tahun 2016. Pada saat itu, kata Pratama, Menteri Komunikasi dan Informatika pada Kabinet Kerja (2014—2019) Rudiantara didesak untuk ubah ancaman pidana dari 6 tahun menjadi di bawah 5 tahun.
Revisi undang-undang tersebut, menurut dosen pascasarjana pada Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) ini, terkait dengan adanya aturan kehilangan hak politik bagi seseorang yang mendapatkan pidana di atas 5 tahun.
Belakangan ini, lanjut dia, UU ITE makin mendapat sorotan masyarakat karena adanya saling lapor dari beberapa individu dan kelompok masyarakat menggunakan undang-undang ini, terutama Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 28.
Beberapa parpol mendesak agar pasal karet dalam UU ITE dihapus. Bahkan, Presiden Jokowi sudah bersuara agar DPR segera merevisi pasal karet tersebut.
"UU ITE ini memang sudah banyak dikeluhkan, terutama akhir-akhir ini digunakan untuk pelaporan banyak pihak," kata Pratama yang juga dosen Etnografi Dunia Maya pada Program Studi S-2 Antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Hal itu, kata Pratama, membuat kepolisian mendapatkan tekanan dari masyarakat. Masalahnya, masing-masing pihak ingin laporannya segera ditindaklanjuti.
Pratama mencontohkan sejumlah kasus hoaks, penyebar informasi bohong saja yang ditangkap, padahal mereka ini juga korban karena terhasut dan tidak tahu konten yang di-posting adalah hoaks.
Oleh karena itu, dia memandang perlu merevisi UU ITE agar kelak mampu mendorong aparat untuk mengusut dan menangkap aktor intelektual.
Di dalam sebuah konten hoaks, lanjut dia, memang ada tersangka yang menyebarkan informasi bohong itu. Namun, ini sebenarnya mudah saja dibuktikan bahwa mereka ini bertindak sebagai korban, bukan bagian dari tim produksi dan penyebar.
"Apalagi, edukasi antihoaks di tengah masyarakat ini hampir tidak ada. Jadi, masyarakat ini kesannya diancam tetapi tidak diberikan bekal," katanya.
Namun, bukan berarti Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 28, misalnya dihapus atau direvisi, lalu hoaks bisa bebas tanpa hukuman.
Menurut dia, ada pasal lain tentang pencemaran nama baik dan penghasutan di dalam KUHP yang bisa digunakan. Meski tindakannya sama, bedanya pelanggaran pasal UU ITE tersebut dilakukan di wilayah siber.
Berita Terkait
KPPPA pastikan kasus anak SMP kritik Pemkot Jambi dikawal maksimal
Rabu, 7 Juni 2023 19:21 Wib
Ansor laporkan akun Twitter Faizal Assegaf diduga tebar ujaran kebencian
Senin, 7 November 2022 17:41 Wib
Dewi Perssik laporkan fans Lesti-Billar atas dugaan pelanggaran UU ITE
Senin, 31 Oktober 2022 22:27 Wib
Nikita Mirzani hanya wajib lapor, ini alasan polisi
Jumat, 22 Juli 2022 23:34 Wib
Dito Mahendra akui rugi reputasi-materi karena aktris Nikita Mirzani
Jumat, 22 Juli 2022 16:51 Wib
Begini cerita korban di balik revisi UU ITE
Minggu, 17 Juli 2022 3:43 Wib
Sebaran data peminjam , Polda Metro tangkap lima karyawan pinjol
Rabu, 15 Juni 2022 19:18 Wib
Jaksa tuntut Adam Deni dan Ni Made Dwita delapan tahun penjara
Senin, 30 Mei 2022 18:47 Wib