WCC Palembang: Kekerasan perempuan berbasis daring meningkat

id wcc, kekerasan berbasis gender, keerasan terhadap peremuan, kdr

WCC Palembang: Kekerasan  perempuan berbasis daring meningkat

Direktur Eksekutif Women`s Crisis Centre (WCC) Palembang, Yeni Roslaini Izi (ANTARA/Yudi Abdullah/20)

Palembang (ANTARA) - Aktivis pusat pembelaan hak-hak perempuan "Women`s Crisis Centre (WCC)" Palembang menyatakan tindak kekerasan terhadap perempuan berbasis gender daring/online di wilayah Provinsi Sumatera Selatan sepanjang 2020 ini meningkat.

Direktur Eksekutif Women`s Crisis Centre (WCC) Palembang Yeni Roslaini Izi di Palembang, Rabu, mengatakan berdasarkan data pengaduan Kekerasan Berbasis Gender Daring/Online (KBGO) atau 'cyber crime' pada masa pandemi COVID-19 hingga November 2020 mencapai 30 kasus, meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya di bawah 10 kasus.

Selain kasus tersebut, sepanjang tahun ini pihaknya juga menangani 96 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, dimana 47 kasus diantaranya kekerasan seksual.

Korban kekerasan seksual tersebut juga mengalami satu atau lebih kekerasan lainnya terutama psikis, fisik, atau ekonomi. Kekerasan seksual yang bermuara dari adanya ketimpangan relasi gender itu terus bertahan kuat karena berlakunya penilaian moralitas yang cenderung mempersalahkan dan menstigma korban, ujarnya.

Dia menjelaskan pada momentum peringatan Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan pada 25 November 2020, pihaknya menyoroti pentingnya payung hukum bagi penanganan kasus kekerasan seksual di Kota Palembang dan 16 kabupaten/kota Sumsel lainnya.

Hal tersebut dirasakan sangat penting perlunya payung hukum karena dapat melindungi perempuan dan anak korban kekerasan seksual.

Hingga saat ini hak-hak korban kekerasan seksual belum sepenuhnya terlindungi, terutama hak atas keadilan dan pemulihan, oleh karena itu pihaknya mendorong segera dilakukan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS).

Terbatasnya tindakan kejahatan seksual yang dikenali oleh KUHP dan sistem pembuktian yang tidak peka pada kondisi korban, menyebabkan sebagian besar pelaku kejahatan seksual bebas dari jeratan hukum.

Selain itu, belum adanya regulasi yang secara khusus menjamin dilaksanakannya pemulihan bagi korban kekerasan seksual menyebabkan penanganan kasus-kasus kekerasan seksual hanya berfokus pada penghukuman pelaku dan mengabaikan aspek pemulihan korban.

Yeni mengatakan dampak dari tindakan kekerasan seksual tidak saja terhadap fisik, psikis dan organ/fungsi seksual korban, tapi juga terhadap keberlangsungan kehidupan korban dan keluarganya.