Semarang (ANTARA) - Pakar keamanan siber dan komunikasi CISSReC Doktor Pratama Persadha menyatakan pemberian suara untuk Pemilihan Kepala Daerah 2020 belum dapat dengan cara memberi suara melalui peralatan pemilihan suara secara elektronik (e-voting) meski Undang-Undang Pilkada sudah mengakomodasinya.
"Terlalu berat menyiapkan infrastrukturnya karena semuanya full electronic, apalagi masalah pengamanan datanya," kata Pratama Persadha menjawab pertanyaan ANTARA di Semarang, Rabu pagi, melalui percakapan WhatsApp.
Pratama mengatakan bahwa pelaksanaan e-voting, sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 85, mempertimbangkan kesiapan pemerintah daerah dari segi infrastruktur dan kesiapan masyarakat berdasarkan prinsip efisiensi dan mudah.
"Intinya penyelenggaraan pemilu elektronik harus melihat kesiapan infrastruktur di setiap daerah," kata Pratama yang juga Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi CISSReC.
Dengan adanya wacana pilkada diundur karena pandemi COVID-19, kemudian muncul lagi ide tentang e-voting, menurut Pratama, sulit untuk direalisasikan saat ini.
Secara prinsip, kata dia, e-voting bisa dilaksanakan di Tanah Air. Namun, tidak secara 100 persen karena masih ada wilayah yang sulit dijangkau sinyal internet.
Kendati demikian, ada jalan tengah bagi wilayah yang sulit internet, yakni pemilihan tetap manual. Namun, hasil penghitungan suara dikumpulkan di satu titik lokasi khusus yang tersambung dengan internet dan sistem e-voting.
Pratama mengatakan bahwa KPU pada Pilkada 2020 menerapkan e-rekap. Hal ini bisa menjadi satu percobaan apakah KPU siap dengan sistem yang lebih sederhana
"Namun, e-rekap juga memiliki kendala sama karena tidak semua terjangkau internet," kata Pratama yang pernah sebagai Ketua Tim Lembaga Sandi Negara (sekarang BSSN) Pengamanan Teknologi Informasi (TI) KPU pada Pemilu 2014.
Dikatakan pula harus ada satu titik lokasi, tempat hasil perhitungan suara dikumpulkan, lalu dikirim dari lokasi tersebut.
Menurut Pratama, yang harus disiapkan sebenarnya bukan hanya masalah sistem serta infrastruktur internet, melainkan juga terkait dengan kesiapan sumber daya manusia (SDM) sebagai user utamanya.
Selain itu, lanjut dia, faktor keamanan sistem menjadi sangat penting saat menggunakan model pemilu elektronik. Pasalnya, e-voting rawan mengundang kecurangan lewat peretasan.
"Hasilnya bisa dengan mudah didelegitimasi bila ditemukan kecurangan maupun kesalahan sistem," kata pria kelahiran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini.
Jalan panjang menuju e-voting, katanya lagi, masyarakat harus disiapkan dengan edukasi jauh-jauh hari. Minimal pemilu elektronik juga masuk dalam edukasi berkehidupan siber di Tanah Air sehingga masyarakat tidak kaget nantinya.
Di lain pihak, menurut dia, sistem bisa disinkronisasi dengan database milik dinas kependudukan dan pencatatan sipil (dukcapil) sehingga verifikasi menjadi lebih mudah.
Berita Terkait
Kurs rupiah dinilai masih jauh lebih baik dibanding periode 2019-2020
Rabu, 8 November 2023 16:20 Wib
Mendag: Penerbitan revisi Permendag 50/2020 tidak bisa buru-buru
Rabu, 30 Agustus 2023 14:08 Wib
Trump didakwa bersalah karena berusaha batalkan hasil Pilpres 2020
Rabu, 2 Agustus 2023 12:06 Wib
Johnny G Plate siap jadi "justice collaborator" di kasus BTS Kominfo 2020-2022
Senin, 12 Juni 2023 13:01 Wib
Jaksa tetapkan Ketua Bawaslu Ogan Ilir jadi tersangka korupsi dana hibah
Kamis, 1 Juni 2023 20:10 Wib
BBK IMO 2020 produk ekspor andalan Kilang Pertamina Plaju
Jumat, 19 Mei 2023 16:23 Wib
Pemerintah mengucurkan anggaran PEN Rp1.645,45 triliun selama 2020-2022
Kamis, 26 Januari 2023 12:38 Wib
Chicago Bulls menang 126-108 perpanjang dominasi atas Pistons sejak 2020
Jumat, 20 Januari 2023 9:04 Wib