Wamenlu: Label "bebas kelapa sawit" dapat rugikan Indonesia

id kampanye hitam kelapa sawit,wakil menteri Mahendra Siregar

Wamenlu: Label "bebas kelapa sawit" dapat rugikan Indonesia

Tangkapan Layar: Wakil Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Mahendra Siregar menyampaikan kuliah umum pada acara diskusi panel virtual #INAPalmOil bertajuk “Misleading Food Labeling Threaten Palm Oil Market” yang diadakan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, Rabu (16/9/2020). (ANTARA/Genta Tenri Mawangi)

Jakarta (ANTARA) - Wakil Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Mahendra Siregar di Jakarta, Rabu, menyebut pemasangan label “bebas kelapa sawit” dan upaya sejenis tidak hanya merugikan pelaku usaha di dalam negeri, tetapi juga merusak reputasi Indonesia.

“Jika kita menempatkan isu label ini dalam konteks lebih strategis, yang dirugikan bukan stakeholders (pemangku kepentingan, red) kelapa sawit, tetapi Republik Indonesia karena di belakangnya ada persepsi dan informasi menyesatkan dan merugikan pemerintah serta berbagai pihak yang terkait dengan kebijakan dan banyak hal terkait hukum dan peraturan di Indonesia,” kata Mahendra saat memberi kuliah umum virtual pada acara diskusi panel #INAPalmOil.

Ia menegaskan kampanye hitam kelapa sawit tidak hanya dilawan oleh pelaku usaha, tetapi juga seluruh kelompok masyarakat. “Ini adalah kewajiban dan tanggung jawab kita semua karena yang dirugikan adalah Indonesia secara keseluruhan,” ujar Mahendra.

Dalam kesempatan itu, Mahendra menjelaskan upaya memasang label “bebas (kandungan) kelapa sawit” pada sejumlah produk makanan, minuman, kosmetik, dan barang konsumsi lainnya didorong beberapa alasan. Walaupun demikian, sebagian besar alasan itu telah dibantah oleh kajian ilmiah, kata Mahendra.

“Misalnya pada waktu lalu, label bebas kelapa sawit didorong faktor kesehatan. [...] Namun itu telah disangkal dan dibuktikan baik oleh lembaga nasional maupun multilateral, internasional, bahwa itu (kelapa sawit tidak sehat, red) tidak benar,” terang dia.

Oleh karena itu, alasan kesehatan yang mendorong pemasangan label “bebas kelapa sawit” pun menyesatkan bagi konsumen, kata Mahendra.

Tidak hanya masalah kesehatan, industri kelapa sawit juga kerap dituduh bertanggung jawab terhadap penggundulan hutan di beberapa wilayah Indonesia.

“Belakangan ini perkembangan mengenai label bebas kelapa sawit dikaitkan dengan isu deforestasi. Jika kita tidak melakukan langkah-langkah riil, (tuduhan, red) ini akan terus berkembang,” tegas dia.

Menurut Mahendra, tuduhan deforestasi terhadap kelapa sawit kerap tidak berimbang.

Ia berpendapat pemanfaatan hasil perkebunan sawit sering dituduh sebagai penggundulan hutan, tetapi tudingan itu tidak ditemukan pada hasil panen beberapa komoditas unggulan di Eropa, misalnya zaitun atau bunga matahari.

Mahendra pun mencurigai tuduhan deforestasi terhadap kelapa sawit kemungkinan jadi salah satu bentuk proteksionisme yang bertujuan melindungi komoditas unggulan negara lain.

Dengan demikian, ia mengajak pelaku usaha, pemerintah, dan para pemangku kepentingan untuk mengevaluasi berbagai isu/kampanye hitam terhadap kelapa sawit dan mencari cara yang strategis untuk melawan informasi menyesatkan tersebut, kata Mahendra.