PSSI dan kisah keberanian yang membuatnya ada

id pssi,menpora,soeratin sosrosoegondo,zainudin amali,mochamad iriawan,berita sumsel, berita palembang, antara sumsel, antara palembang, antara sumsel ha

PSSI dan kisah keberanian yang membuatnya  ada

Ilustrasi (ddn)

Jakarta (ANTARA) - Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) melangkah ke usia 90 tahun tepat pada 19 April 2020, umur yang terbilang sangat matang untuk sebuah organisasi.

Tentu saja tidak mudah mempertahankan kekokohan sebuah perkumpulan selama hampir satu abad. Dan, jika harus berterima kasih, pertama-tama tujukanlah itu kepada pemuda-pemuda yang dengan keberaniannya mampu menghadirkan PSSI ke bumi Indonesia.

Satu nama yang tidak bisa dilepaskan dari PSSI adalah Soeratin Sosrosoegondo. Pria kelahiran Yogyakarta pada 17 September 1898 ini menjadi ketua umum pertama PSSI sekaligus inisiator pendiriannya.

Soeratin membantu pergerakan menuju kemerdekaan melalui sepak bola. Dia rela meninggalkan kenyamanan yang diterimanya kala bekerja di perusahaan Belanda demi mewujudkan mimpi akan adanya persatuan nasional.

Tidak seperti kaum bumiputra kebanyakan, Soeratin cukup beruntung dengan menerima pendidikan Eropa di Koningin Wilhelmina School. Kemudian, dia merantau ke Jerman untuk mendapatkan gelar insinyur.

PSSI mencatat, Soeratin kembali ke Indonesia pada tahun 1928 dan bekerja di sebuah perusahaan bangunan milik Belanda dan berhasil menduduki posisi setingkat komisaris. Akan tetapi, dia memilih mundur dengan alasan nasionalisme.

Soeratin sendiri menikahi adik dari dokter Soetomo, R. A. Sri Woelan. Soetomo sendiri merupakan pendiri organisasi Boedi Oetomo, perkumpulan yang dianggap sebagai pelopor gerakan untuk mencapai kemerdekaan. Tanggal berdiri Boedi Oetomo, 20 Mei 1908, ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Sangat mungkin gairah perjuangan Soeratin dibangkitkan oleh aktivitas dan pemikiran-pemikiran sang ipar. Apalagi, ketika dia kembali ke Tanah Air, Indonesia tengah menikmati ‘demam nasionalisme’ setelah digaungkannya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.

Sepak bola menjadi sarana yang dipilih Soeratin untuk bergerak. Selain karena menyukai olahraga tersebut, dia juga melihat sepak bola yang sudah digemari masyarakat ketika itu cocok menjadi sarana penyebaran nasionalisme.

Jadilah, di tengah semakin ketatnya penjagaan pemerintah kolonial Belanda terhadap aktivitas-aktivitas pergerakan setelah Sumpah Pemuda, Soeratin sigap mengumpulkan para pengurus organisasi-organisasi sepak bola wilayah dan sepakat berkumpul pada 19 April 1930.

Di hari yang ditetapkan, wakil dari Voetbalbond Inonesische Jakarta, Bandoengsche Indonesische Voetbal Bond, Persatuan Sepak Bola Mataram Yogyakarta, Vortenlandsche Voetbal Bond Solo, Madioensche Voetbal Bond, Indonesische Voetbal Bond Magelang dan Soerabajasche Indonesische Voetbal Bond hadir lalu sepakat mendirikan organisasi bernama Persatoean Sepak Raga Seloeroeh Indonesia (PSSI).

Kata ‘Indonesia’ di PSSI menunjukkan keberanian Soeratin dan rekan-rekannya di hadapan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Mereka tidak takut dengan ancaman petugas keamanan penguasa saat itu dan terus melaju demi persatuan nasional.



         Didukung Bung Karno

Dalam tulisan berjudul ‘Nasionalisme dan Politik Tim Sepak Bola Hindia Belanda dalam Ajang Piala Dunia Ketiga (1930-1938), yang dimuat dalam Jurnal Sejarah Abad Volume 2 tahun 2018, Reyhan Abel Septiandri dari Departemen Sejarah, Fakultas ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia menyebut bahwa tokoh-tokoh nasional seperti M. H. Thamrin, Ali Sastroamidjojo, dokter Kayadu dan Ir. Sukarno, yang akrab disapa Bung Karno, turut memberikan dukungan kepada PSSI karena menyadari organisasi ini merupakan sarana untuk mempersatukan rakyat.

Mereka menyempatkan diri menghadiri laga-laga dalam kompetisi digelar PSSI. PSSI yang dipimpin Soeratin sebagai ketua umum pertama memutar turnamen perdananya pada Mei 1931 di Surakarta.

Bung Karno, yang kelak menjadi Presiden pertama Republik Indonesia, bahkan meresmikan kejuaraan PSSI kedua yang berlangsung di Batavia (kini Jakarta).

Di awal berdirinya, PSSI harus melewati berbagai rintangan dan salah satu yang terberat adalah soal keuangan. Pemasukan kurang karena masyarakat tidak terlalu antusias menyaksikan pertandingan PSSI.

Meski demikian, PSSI dapat selamat dari gilasan zaman dengan mengumpulkan iuran anggota, mendapatkan dana dari donatur dan hasil pertandingan.

Persoalan lain, pemain sepak bola saat itu harus memilih apakah bergabung dengan PSSI atau Persatuan Sepak Bola Hindia Belanda (Nederlandsch Indische Voetbal Bond/NIVB). Hal tersebut membuat tidak sedikit pemain yang meninggalkan PSSI untuk kembali ke NIVB.

NIVB sendiri berdiri pada tahun 1919 dan, sebelum PSSI ada, mereka sudah melangsungkan kompetisi sepak bola.

Akan tetapi, kompetisi itu memperlihatkan dengan gamblang betapa NIVB kerap meremehkan orang-orang Indonesia. Mereka membagi kompetisi ke dalam tiga tingkatan yaitu kelas I untuk orang Eropa, kelas II untuk Tionghoa dan kelas III untuk bumiputra.

Namun, seiring berjalannya waktu, perlahan PSSI dapat mengimbangi kekuatan NIVB, baik dari keorganisasian maupun tim.

Kedudukan PSSI diakui oleh pemerintah kolonial pada tahun 1937, ketika organisasi pengganti NIVB yakni Nederlandsch Indische Voetbal Unie (NIVU), yang lebih terbuka, mengikat perjanjian ‘Gentlement’s Agreement’ di Gedung Trick Track, Yogyakarta.

Perjanjian itu memastikan bahwa di lingkungan Hindia Belanda hanya ada dua perkumpulan organisasi sepak bola yang sah yaitu NIVU dan PSSI walau organisasi yang menjadi anggota FIFA adalah NIVU karena kala itu Indonesia belum menjadi sebuah negara.

“FIFA pada awalnya mengakui keanggotaan sebuah organisasi sepak bola tiap negara berdasarkan apakah negara tersebut mendapat pengakuan kedaulatan dari negara-negara lainnya atau telah diterima dalam pergaulan internasional bahkan PBB,” tulis R.N. Bayu Aji dalam tulisannya ‘Nasionalisme dalam Sepak Bola Indonesia tahun 1950-1965’ yang dimuat di jurnal Universitas Gadjah Mada.

Hal itu membuat tim Hindia Belanda yang bermain di Piala Dunia tahun 1938 diberangkatkan oleh NIVU meski di dalamnya ada pemain-pemain PSSI.

Kemitraan PSSI dan NIVU banyak mendapatkan kritikan dari kolonial karena dianggap memberikan tempat bagi pergerakan Indonesia. Walau begitu, kerja sama terus berjalan dan membuat PSSI semakin berdiri kokoh di Tanah Air. Keuangan dan popularitas PSSI terus menanjak.

Sementara, atas semua jasanya, PSSI saat ini tengah berupaya mengabadikan nama Soeratin Sosrosoegondo, yang meninggal dunia pada 1 Desember 1959 dalam kemiskinan, sebagai pahlawan nasional.



          Tahun 2020

PSSI, yang baru bernama Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia pada tahun 1950 dan menjadi anggota FIFA dua tahun kemudian, memiliki tugas-tugas dan rintangan yang tidak ringan dari awal dibentuk.

Meski begitu, organisasi ini selalu tahan terhadap perubahan zaman. Mereka tidak ambruk ketika masalah demi masalah, seperti pengaturan skor dan pembekuan oleh FIFA tahun 2015-2016, menghampiri.

Pada tahun 2020, tantangan yang dihadapi PSSI yaitu menyiapkan penyelenggaraan Piala Dunia U-20 yang berlangsung tahun 2021 sekaligus membentuk tim untuk bertanding.

Presiden Joko Widodo sudah mengemukakan keinginannya agar timnas tidak sekadar ‘numpang lewat’ di turnamen yang baru pertama kali berlangsung di Indonesia tersebut.

Sayangnya, persiapan ke sana harus tertunda beberapa bulan karena bumi tengah dilanda pandemi virus corona (COVID-19) yang menyebabkan penderitanya sulit bernapas.

Situasi tersebut membuat semua kegiatan sepak bola harus berhenti, termasuk untuk tim nasional dan kompetisi Liga 1 dan Liga 2. Kondisi serupa terjadi juga di hampir semua negara di dunia.

Namun, Ketua Umum PSSI saat ini yaitu Mochamad Iriawan berupaya memandang semuanya dengan positif.

“Kami percaya, mampu melewati masalah besar akan membuat kita lebih kuat dan lebih tangguh dari semula. Kami yakin kita bisa segera melalui badai dan memenangkan pertandingan sulit ini,” kata Iriawan.

Pemerintah melalui Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali berharap ulang tahun ke-90 PSSI menjadi momentum untuk membangkitkan prestasi sepak bola nasional.

Menpora menyebut bahwa salah satu cara meningkatkan prestasi lapangan hijau adalah dengan meningkatkan kualitas pengelolaan kompetisi.

Menurut politikus Partai Golkar tersebut, sepak bola Indonesia memiliki potensi besar untuk berkembang pesat setelah Presiden Joko Widodo mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2019 tentang Percepatan Persepakbolaan Percepatan Pembangunan Persepakbolaan Nasional pada akhir Januari 2019.

Inpres tersebut instruksi kerja sama berbagai kementerian dan lembaga untuk memajukan sepak bola Indonesia.

“Sekarang tinggal kita sebagai masyarakat sepak bola harus bisa menyikapi dan menggunakan kesempatan dengan sebaik-baiknya. Perhatian pemerintah khususnya Presiden kepada sepak bola luar biasa. Selalu semangat untuk pengurus PSSI dari tingkat pusat sampai kabupaten dan kota,” tutur Zainudin Amali.

Selamat ulang tahun ke-90, PSSI!