Peneliti sarankan pemerintah tidak mengumumkan kematian pasien COVID-19

id poly network, wabah virus corona, kematian pasien corona,penanganan corona,virus corona,corona,covid-19,2019-ncov,novel

Peneliti sarankan pemerintah tidak mengumumkan kematian pasien COVID-19

Petugas penyemprot cairan disinfetan melakukan sterilisasi diri di halaman Makodim 0101/BS, Banda Aceh, Aceh, Kamis (26/3/2020). (ANTARA FOTO/IRWANSYAH PUTRA)

Bandung (ANTARA) - Sebuah kelompok peneliti jaringan sosial kualitatif independen dan non-partisan yang beranggotakan akademisi antropologi, sosial politik, dan praktisi teknologi informasi yakni Poly Network (PN) mengusulkan pemerintah tidak mengumumkan kasus kematian akibat wabah virus Corona penyebab COVID-19.

Direktur PN Johan Neesken dalam keterangan tertulisnya, Kamis, berpendapat persentase tingkat fatalitas atau Case Fatality Rate (CFR) maupun Death Rate sebaiknya tidak diumumkan oleh pemerintah.

Pasalnya, kata dia, CFR maupun Death Rate berpotensi menyesatkan dan dapat disalahtafsirkan untuk kepentingan-kepentingan yang tidak menguntungkan upaya percepatan penanganan wabah COVID-19.

"Lembaga resmi seperti WHO dan CDC US pun tidak melakukan hal itu," ujar dia.



Menurut dia, sebagian besar diskusi terkini tentang risiko kematian akibat COVID-19 fokus pada CFR.

Dalam kasus terburuk, banyak yang menyesatkan bahwa CFR memberikan jawaban untuk pertanyaan seberapa besar kemungkinan seseorang terinfeksi COVID-19 meninggal karenanya.

Meskipun CFR sebagai metrik yang relevan, namun kata Johan, CFR tidak memberi tahu tentang risiko kematian orang yang terinfeksi.

"Itu hanyalah rasio antara jumlah kematian yang dikonfirmasi dari penyakit dan jumlah kasus yang dikonfirmasi (bukan total kasus)," katanya.

Johan juga mengatakan adapun Death Rate sebagai ukuran yang sangat berbeda.

"Dihitung dengan membagi jumlah kematian akibat penyakit dengan total populasi seringkali disebut dengan Death Rate. Ini penting untuk dibedakan karena sayangnya orang juga terkadang mengacaukan CFR dengan Death Rate," katanya.

Dia mencontohkan pandemi flu Spanyol pada tahun 1918. Perkiraan yang sering dikutip oleh Johnson dan Mueller (2002) adalah bahwa 50 juta orang meninggal secara global dari pandemi ini dan hal ini menyiratkan bahwa 2,7 persen dari populasi dunia pada saat itu meninggal.

"Ini berarti death rate adalah 2,7 persen.
Tetapi 2,7 persen sering salah dilaporkan sebagai CFR. Jika faktanya Death Rate adalah 2,7 persen, maka tingkat CFR jauh lebih tinggi karena tidak semua orang di dunia terinfeksi flu Spanyol," katanya.

CFR yang umum dilaporkan sebagai nilai tunggal bahkan konstanta biologis, juga patut disayangkan sebab, CFR bukanlah nilai yang terkait dengan penyakit yang diberikan, tetapi sebaliknya mencerminkan keparahan penyakit dalam konteks tertentu, pada waktu tertentu, dan dalam populasi tertentu.

"Kemungkinan seseorang meninggal karena suatu penyakit tidak hanya tergantung pada penyakit itu sendiri, tetapi juga respons sosial dan individu terhadapnya, tingkat dan waktu perawatan yang mereka terima, serta kemampuan individu yang diberikan untuk pulih dari penyakit itu," katanya.

Johan menekankan, infection fatality risk (IFR) lah yang sebenarnya mampu memberikan jawaban atas pertanyaan seberapa besar kemungkinan seseorang yang terinfeksi COVID-19 meninggal karenanya.

IFR adalah jumlah kematian akibat suatu penyakit dibagi dengan jumlah total kasus. Untuk menghitungnya, kata dia, dibutuhkan dua metrik, yakni jumlah total kasus dan jumlah total kematian. Namun, untuk COVID-19, jumlah kasus sebenarnya tidak diketahui karena tidak semua orang dites COVID-19.

"Namun, adalah salah jika ada yang menyimpulkan bahwa CFR adalah sama atau bahkan mirip dengan IFR," katanya.

Direktur Poly Network tersebut kembali menegaskan bahwa angka CFR tidak mencerminkan probabilitas kematian, karena pada waktu yang sama, nilai CFR memberi dua kemungkinan yang saling bertolak belakang.

Dapat dipahami bahwa kemungkinan kematian lebih rendah dibandingkan CFR, karena tidak semua orang dites COVID-19. Juga dapat dipahami bahwa kemungkinan kematian lebih tinggi dibandingkan CFR, karena beberapa orang yang sedang sakit pada akhirnya akan meninggal karena penyakit tersebut.

Membandingkan angka CFR akan tepat jika dipahami sebagai perbedaan dalam skala upaya pengujian (COVID-19 Test).

Setelah epidemi atau wabah selesai, kata Johan, statistik agregat kasus dan kematian untuk menghitung tingkat fatalitas kasus dapat diandalkan. Namun, selama wabah berlangsung perlu berhati-hati menafsirkan CFR karena hasil (pemulihan atau kematian) dari sejumlah besar kasus juga masih belum diketahui.

"Ini adalah sumber umum untuk misinterpretasi peningkatan CFR pada tahap awal wabah (outbreak)," ujarnya.

CFR dan date rate menurutnya memang tidak salah, namun berpotensi menyesatkan dan mudah dipolitisasi.

Oleh karenanya, pihaknya memberikan sejumlah catatan kepada pemerintah dan lembaga publik, agar upaya percepatan penanganan wabah COVID-19 tidak terhambat.*