Pengamat sosial sebut virus informasi hoax lebih berbahaya dari corona

id corona virus, covid-19, pengamat sosial, devie rahmawati,panic buying, corona pertama Indonesia

Pengamat sosial sebut virus informasi  hoax lebih berbahaya dari corona

Arsip- Dokter memeriksa suhu tubuh warga di Pos Pemantauan Virus Corona RSPI Sulianti Saroso, Jakarta Utara, Selasa (3/3/2020). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/foc.

Jakarta (ANTARA) - Pengamat sosial dari Universitas Indonesia Devie Rahmawati mengatakan ancaman virus informasi hoaks lebih berbahaya dari pada virus corona (Covid-19) sehingga membuat masyarakat menjadi tidak rasional dalam bersikap.

"Jadi ancaman terbesar adalah virus informasi hoaks bukan virus corona," kata Devie saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Selasa malam.

Menurut Devie, 'panic buying' yang dilakukan masyarakat setelah virus corona positif pertama di Indonesia diumumkan sebagai salah satu dampak dari informasi yang tidak komprehensif yang diterima oleh masyarakat.

Selama ini, lanjut dia, menerima informasi virus corona sudah mewabah di seluruh dunia dan mereka yang terjangkit akan meninggal dunia.

Masyarakat, ujar dia, belum menerima informasi bagaimana mencegah dan mengatasi penyakit baru tersebut. Ketidaktahuan tersebut menimbulkan ketakutan.

"Ketakutan mendorong insting kita untuk bertahan, bertahan itu ada dua, 'fight atau flight', pergi atau bertarung (bertahan)," katanya.



Devie mengatakan ketika positif corona pertama di Indonesia diumumkan wajar jika masyarakat bereaksi irasional melakukan 'panic buying' sebagai langkah bertahan dari situasi yang tidak bisa diprediksi.

Tapi hal tersebut tidak dibiarkan, perlu ada kepastian informasi, sehingga ketika masyarakat mendapatkan informasi yang lebih jelas dengan cepat membantu masyarakat untuk memilih apa yang harus dilakukan berikutnya, pergi atau bertahan.

"Dalam konteks bernegara memang perlu segera ada kepastian informasi," katanya.

Menurut dia, jika 'panic buying' masih berlanjut artinya ada yang tidak berperan. Negara harus segera mengantisipasi dengan menggerakan seluruh elemen negara untuk memiliki narasi yang komprehensif dan masif.

"Jadi narasi yang utuh menggunakan seluruh aparatur negara menyampaikan informasi tersebar dengan benar," kata Devie.



Penerima Australian Awards terkait isu Democratic Resilience yang membahas soal disinformasi itu mengatakan saat situasi normal informasi yang tidak benar jauh lebih banyak tersebar dari pada informasi benar. Apalagi di masa tidak normal seperti kondisi saat ini, saat bencana terjadi, baik itu bencana alam maupun wabah.

Kondisi tersebut membuat informasi yang tidak benar semakin berlipat. Hal ini dikarenakan kecenderungan manusia adalah menjadi pahlawan bagi orang lain.

"Ketika dia menerima informasi yang relevan dengan kondisi sekarang yang menurut dia orang lain harus tau, dia ingin menjadi pahlawan untuk menyebarkannya," kata Devie.

Padahal, lanjut dia, disaat itulah muncul masalah, sehingga jika hal itu bisa segera diatasi maka masyarakat akan mengambil langkah yang bijak, tidak melakukan 'panic buying'.



Panic buying' adalah reaksi awal sebagai sifat alamiah manusia yang belum utuh menerima informasi.

Devie menyebutkan perlu ada SOP sosialisasi informasi satu pintu tetapi betul-betul mewakili pemerintah dan menjadi rujukan masyarakat mendapatkan informasi.

"Jadi kalau ada SOP sosialiassi informasi, satu pintu yang betul-betul mewakili pemerintah yang menjadi rujukan masyarakat dan informasi harus konprehensif dan diupdate secara berkala dan masif," kata Devie.
 
Polisi mengecek persediaan stok sembako dan bahan pangan lain di sebuah supermarket di kawasan Cengkareng Jakarta Barat, Selasa (3/3/2020). (ANTARA/HO-Polres Metro Jakarta Barat)