CIPS : Antisipasi dampak Indonesia keluar dari daftar negara berkembang

id perdagangan indonesia,daftar negara berkembang as,subsidi industri,cips,berita sumsel, berita palembang, antara sumsel, antara palembang, antara sumse

CIPS  : Antisipasi dampak Indonesia keluar dari daftar negara berkembang

Menteri Perdagangan Amerika Serikat Wilbur Ross berjalan di pelataran Istana Merdeka Jakarta, Rabu (6/11/2019). Delegasi US Secretary of Commerce tersebut bertemu Presiden Joko Widodo untuk membahas finalisasi fasilitas Generalized System of Preference (GSP) atau kebijakan untuk meringankan bea masuk impor barang-barang tertentu dari negara berkembang. ANTARA/Hanni Sofia/aa.

Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Ira Aprilianti menginginkan pemerintah RI dapat menerapkan strategi perdagangan yang lebih efektif guna mengantisipasi dampak dikeluarkannya Indonesia dari daftar negara berkembang oleh Amerika Serikat.

"Pemerintah perlu melakukan pemetaan ulang sebagai bentuk adaptasi terhadap kebijakan Amerika Serikat ini," kata Ira Aprilianti dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.

Menurut dia, dengan dikeluarkannya Indonesia dari daftar negara berkembang oleh Amerika Serikat, maka diharapkan industri nasional siap melakukan efisiensi dan tidak bergantung kepada subsidi pemerintah.

Ia mencontohkan industri karet merupakan peringkat ke-3 dari komoditas ekspor Indonesia ke Amerika Serikat dengan nilai sebesar 1,637 miliar dolar AS.

Sedangkan rencana pemerintah Indonesia untuk memberikan subsidi gas dikhawatirkan akan membuat industri domestik Amerika Serikat memberikan petisi pada pemerintah dan mengenakan bea masuk untuk produk karet dari Indonesia.

Namun, masih menurut dia, kemungkinan untuk terjadinya hal itu juga minim, karena secara domestik Amerika Serikat tidak bisa cukup memenuhi kebutuhan karet dari produksi domestik mereka.

"Kalau hal ini benar-benar terjadi, Indonesia bisa mendapatkan bea masuk untuk produk karet. Untuk mengantisipasinya, subsidi sejatinya hanya harus diberikan pada infant industry karena sebenarnya itu bukan kondisi ideal untuk efisiensi produksi. Memberikan subsidi pada produk ekspor tanpa tujuan mendewasakan industri, sejatinya tidak menguntungkan kita," jelasnya.

Ira berpendapat bahwa ada beberapa sektor yang tidak akan berdampak signifikan, seperti komoditas pakaian.

Berdasarkan data dari laman Trademap, produk ekspor utama Indonesia ke Amerika Serikat adalah pakaian dan aksesoris pakaian (tidak dirajut dan pakaian jadi), dengan total nilai sebesar 4,504 miliar dolar AS pada tahun 2018. Sedangkan Amerika Serikat dinilai hanya mampu memenuhi 3 persen konsumsi dari industri domestiknya.

Karena Amerika Serikat merupakan importir pakaian terbesar di dunia dan Indonesia merupakan eksportir pakaian jadi ke-13 di dunia pada 2018, maka Ira menilai Indonesia tidak perlu mengkhawatirkan dampak yang tidak signifikan. Industri pakaian Indonesia sudah cukup matang dan tidak bergantung pada subsidi pemerintah.

Namun, lanjutnya, akan lebih baik jika Indonesia bersiap untuk mengekspor di luar negara tujuan ekspor tradisional, seperti Australia yang sudah memiliki perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif atau IA-CEPA.

Ira juga mengungkapkan beberapa hal lain yang dapat dilakukan pemerintah untuk meminimalkan dampak negatif dari kebijakan Amerika Serikat adalah pelaku industri Tanah Air harus menambah efisiensi dan kecepatan produksi, seperti dengan mengadopsi permesinan yang mendukung produksi dengan skala lebih besar dan biaya produksi lebih rendah.

Selanjutnya, masih menurut dia, pemerintah perlu membuka keran impor bahan baku dan mesin untuk industri ketika substitusi impor sulit dilakukan. Tiongkok, Belanda, dan Jerman mempunyai industri yang menyediakan permesinan dengan kualitas dan biaya kompetitif dan kebijakan pemerintah untuk membebaskan bea masuk permesinan adalah bagus.

"Pembebasan bea juga harus dipertimbangkan pada produk bahan baku yang tidak mencukupi diproduksi secara domestik sehingga industri tidak mengalami bottleneck," paparnya.

Terakhir, ujar dia, pemerintah juga perlu mengurangi subsidi sektoral atau berdasarkan jenis produk dan berfokus pada peningkatan infrastruktur yang menyeluruh untuk produksi industri secara keseluruhan seperti infrastruktur jalan, logistik, energi, dan kemudahan persyaratan izin berusaha bagi pelaku usaha.