Menaker : 55,8 persen perusahaan Jepang tak puas pada pekerja Indonesia

id Survei kerja,tenaga kerja,angkatan kerja,menaker kerja,produktifitas tenaga kerja

Menaker : 55,8 persen perusahaan Jepang tak puas pada pekerja Indonesia

Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) RI Ida Fauziyah diwawancarai awak media massa di Jakarta, Kamis (20/2/2020). (ANTARA/Muhammad Zulfikar)

Jakarta (ANTARA) - Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) RI Ida Fauziyah mengatakan survei terbaru yang dilakukan Japan External Trade Organization menunjukkan 55,8 persen perusahaan Jepang di Asia tidak puas terhadap produktivitas tenaga kerja Indonesia.

"Ini dinyatakan dalam rilis survei terbarunya yang terkait dengan kondisi bisnis perusahaan Jepang di Asia," kata dia di Jakarta, Kamis.

Hasil ini ialah terkait perbandingan antara produktivitas tenaga kerja Indonesia dengan upah yang dibayarkan oleh perusahaan-perusahaan yang disurvei tersebut.

Jika upah yang sama diterapkan pada pekerja negara lain, ujar dia, hasilnya menunjukkan produktivitas yang lebih tinggi sehingga kepuasannya menjadi lebih tinggi pula.

"Ternyata faktanya mereka mengatakan 55,8 persen perusahaan menyatakan tidak puas. Artinya, lebih banyak yang tidak puas dibandingkan yang puas," katanya.



Ia mengatakan catatan yang diberikan oleh Japan External Trade Organization harus dicermati. Apalagi tingkat ketidakpuasan tersebut jauh lebih tinggi dari rata-rata negara di Asia Tenggara yang hanya 30,6 persen.

"Bahkan di Kamboja, ketidakpuasan di sana itu 54,6 persen. Ini di bawah Indonesia," ujarnya.

Selain survei atas ketidakpuasan tersebut, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia juga menyatakan bahwa upah minimum provinsi yang terus naik dapat mengancam adanya pengurangan tenaga kerja Indonesia.

Sehingga, secara umum kebijakan ketenagakerjaan di Tanah Air perlu dievaluasi, termasuk di dalamnya kebijakan pesangon bagi para pekerja.

Sehingga jelas, kata dia, persoalan ketenagakerjaan pada hakikatnya meliputi pemenuhan kerja layak bagi pekerja atau buruh yang sudah bekerja, baik di sektor formal maupun di informal.

"Tidak hanya itu, namun juga harus kita pikirkan kaitannya dengan pemecahan persoalan tenaga kerja bagi anak-anak kita, saudara kita yang belum bekerja," ujarnya.*