Pemerintah harus kawal penetapan harga TBS di tingkat petani
Palembang (ANTARA) - Pemerintah harus selalu mengawal penetapan harga Tandan Buah Segar kelapa sawit di tingkat petani karena lemahnya posisi tawar jika dibandingkan pemilik pabrik pengolahan sawit.
Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya Andy Mulyana di Palembang, Jumat, mengatakan, meski pemerintah sebenarnya sudah mengatur mengenai penetapan harga sawit ini dalam Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 01/PERMENTAN/KB.120/1/2018 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Produksi Pekebun, namun implimentasi di lapangan masih kurang pengawasan.
“Jangankan di tingkat petani rakyat (swadaya), penetapan harga antara petani yang bermitra dengan perusahaan saja sering terjadi konflik. Jadi pemerintah harus terus mengawasi perusahan-perusahaan itu,” kata Andy dalam Forum Andalas II yang diikuti oleh para pemangku kepentingan industri sawit nasional.
Ia mengatakan, persoalan penetapan harga TBS ini di tingkat petani rakyat ini tidak bisa dipandang sebelah mata karena perkebunan rakyat berkontribusi sebesar 41 persen dari total luasan perkebunan sawit nasional, sementara sisanya perkebunan swasta 54 persen, dan perkebunan negara 5 persen.
Sementara ini dari 5,80 juta hektare perkebunan rakyat diketahui 79 persen atau 4,58 juta hektare merupakan perkebunan swadaya dan 21 persen atau 1,42 hektare merupakan perkebunan plasma.
Menurut Andy, hadirnya pembeli tunggal yang dikelilingi oleh banyak penjual (petani rakyat), jika tidak diintervensi oleh pemerintah maka secara teori membuat harga bisa ditentukan oleh pembeli yang berorientasi pada keuntungan mereka semata.
Belum lagi, ia melanjutkan dalam perkembangannya, banyak petani tidak memahami mengenai rendeman secara mendalam karena menilai uang didapat berdasarkan berat tandan saja.
“Akhirnya terjadi konflik, dan ini sering terjadi terutama pada kemitraan yang belum diawasi oleh pemerintah. Jika pemerintah tidak mengawasi mulai dari penetapan harga TBS ini maka bisa saja kemitraan berhenti di tengah jalan,” kata dia.
Sementara di sisi lain, bermitra dengan perusahaan sejauh ini masih dipandang sebagai solusi terbaik, karena TBS sawit berbeda dengan karet yang lebih tahan lama. Apalagi terkait harga, ia tak menyangkal bahwa harga TBS juga jauh lebih baik bagi petani yang bermitra jika dibandingkan petani swadaya.
“Meski harga TBS itu sangat berkaitan dengan harga sawit di pasar global, tapi berdasarkan data yang saya punya selalu lebih baik. Ada selisih sekitar Rp400 rupiah hingga lebih, jika dibandingkan harga TBS petani swadaya. Artinya, program kemitraan petani dengan perusahaan ini harus terus berlanjut dan dikawal oleh pemerintah,” kata dia.
Ia mencontohkan, sejumlah petani di Kalimantan pernah mendirikan pabrik pengolahan sawit atas nama KUD dengan maksud mengurus sendiri rantai bisnisnya. Namun, pabrik itu tidak bertahan lama kraen tidak bisa menghadapi hambatan meski sudah mengeluarkan dana miliaran rupiah.
Head Perkebunan Plasma PT Cargill Indonesia wilayah Sumatera dan Kalimantan Joko Wahyu mengatakan dibutuhkan keterbukaan dalam membangun kemitraan antara petani dengan perusahaan.
Melalui PT Hindoli milik Cargill Indonesia, Joko mengatakan telah menerapkan kemitraan dengan petani rakyat lebih dari 25 tahun sejak tahun 1991. Saat ini memasuki siklus kedua, karena petani sebelumnya sudah melakukan satu kali peremajaan.
Ia mengatakan sejak awal, perusahaan fokus mengurus petani plasma dengan membuat departemen khusus, kemudian membangun kemitraan dari bawah dengan menjadikan petani-petani sebagai pimpinan kebun plasma, lalu memberikan pendampingan dan pengetahuan teknis, SDM, komunikasi hingga ekonomi rumah tangga.
“Sebenarnya aturan Permentan sudah jelas soal penetapan TBS ini. Namun, soal membangun kemitraan ini bukan persoalan penetapan harga saja, yakni bagaimana cara perusahaan turut mensejahterakan mereka, sehingga kemitraan ini terus berlanjut,” kata dia.
Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya Andy Mulyana di Palembang, Jumat, mengatakan, meski pemerintah sebenarnya sudah mengatur mengenai penetapan harga sawit ini dalam Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 01/PERMENTAN/KB.120/1/2018 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Produksi Pekebun, namun implimentasi di lapangan masih kurang pengawasan.
“Jangankan di tingkat petani rakyat (swadaya), penetapan harga antara petani yang bermitra dengan perusahaan saja sering terjadi konflik. Jadi pemerintah harus terus mengawasi perusahan-perusahaan itu,” kata Andy dalam Forum Andalas II yang diikuti oleh para pemangku kepentingan industri sawit nasional.
Ia mengatakan, persoalan penetapan harga TBS ini di tingkat petani rakyat ini tidak bisa dipandang sebelah mata karena perkebunan rakyat berkontribusi sebesar 41 persen dari total luasan perkebunan sawit nasional, sementara sisanya perkebunan swasta 54 persen, dan perkebunan negara 5 persen.
Sementara ini dari 5,80 juta hektare perkebunan rakyat diketahui 79 persen atau 4,58 juta hektare merupakan perkebunan swadaya dan 21 persen atau 1,42 hektare merupakan perkebunan plasma.
Menurut Andy, hadirnya pembeli tunggal yang dikelilingi oleh banyak penjual (petani rakyat), jika tidak diintervensi oleh pemerintah maka secara teori membuat harga bisa ditentukan oleh pembeli yang berorientasi pada keuntungan mereka semata.
Belum lagi, ia melanjutkan dalam perkembangannya, banyak petani tidak memahami mengenai rendeman secara mendalam karena menilai uang didapat berdasarkan berat tandan saja.
“Akhirnya terjadi konflik, dan ini sering terjadi terutama pada kemitraan yang belum diawasi oleh pemerintah. Jika pemerintah tidak mengawasi mulai dari penetapan harga TBS ini maka bisa saja kemitraan berhenti di tengah jalan,” kata dia.
Sementara di sisi lain, bermitra dengan perusahaan sejauh ini masih dipandang sebagai solusi terbaik, karena TBS sawit berbeda dengan karet yang lebih tahan lama. Apalagi terkait harga, ia tak menyangkal bahwa harga TBS juga jauh lebih baik bagi petani yang bermitra jika dibandingkan petani swadaya.
“Meski harga TBS itu sangat berkaitan dengan harga sawit di pasar global, tapi berdasarkan data yang saya punya selalu lebih baik. Ada selisih sekitar Rp400 rupiah hingga lebih, jika dibandingkan harga TBS petani swadaya. Artinya, program kemitraan petani dengan perusahaan ini harus terus berlanjut dan dikawal oleh pemerintah,” kata dia.
Ia mencontohkan, sejumlah petani di Kalimantan pernah mendirikan pabrik pengolahan sawit atas nama KUD dengan maksud mengurus sendiri rantai bisnisnya. Namun, pabrik itu tidak bertahan lama kraen tidak bisa menghadapi hambatan meski sudah mengeluarkan dana miliaran rupiah.
Head Perkebunan Plasma PT Cargill Indonesia wilayah Sumatera dan Kalimantan Joko Wahyu mengatakan dibutuhkan keterbukaan dalam membangun kemitraan antara petani dengan perusahaan.
Melalui PT Hindoli milik Cargill Indonesia, Joko mengatakan telah menerapkan kemitraan dengan petani rakyat lebih dari 25 tahun sejak tahun 1991. Saat ini memasuki siklus kedua, karena petani sebelumnya sudah melakukan satu kali peremajaan.
Ia mengatakan sejak awal, perusahaan fokus mengurus petani plasma dengan membuat departemen khusus, kemudian membangun kemitraan dari bawah dengan menjadikan petani-petani sebagai pimpinan kebun plasma, lalu memberikan pendampingan dan pengetahuan teknis, SDM, komunikasi hingga ekonomi rumah tangga.
“Sebenarnya aturan Permentan sudah jelas soal penetapan TBS ini. Namun, soal membangun kemitraan ini bukan persoalan penetapan harga saja, yakni bagaimana cara perusahaan turut mensejahterakan mereka, sehingga kemitraan ini terus berlanjut,” kata dia.