"Politik pantiaw" ala Bangka Barat yang menyatukan

id Pantiaw,Akulturasi budaya,politik pantiauw,politik pantiaw,politik bangka barat,pilkada bangka barat,berita sumsel, berita palembang, antara sumsel, a

"Politik pantiaw" ala Bangka Barat yang menyatukan

Pantiaw ubi sarapan khas Desa Sungaibuluh, Kabupaten Bangka Barat. (babel.antaranews.com/ Donatus DP)

Politik identitas atau yang biasa disebut politik suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) diprediksi tidak akan laku
Mentok, Babel (ANTARA) - Politik identitas diprediksi tidak akan laku pada Pilkada Kabupaten Bangka Barat 2020, karena masyarakat diprediksi lebih memilih kandidat yang sudah jelas rekam jejak kinerja dan pengalamannya.

Berdasarkan survei yang dilakukan peneliti politik, pemilu dan demokrasi dari Jurusan Ilmu Politik Universitas Bangka Belitung, Ranto, faktor kinerja dan pengalaman kandidat sangat menentukan pilihan politik pemilih, yakni sebanyak 73,3 persen.

Selain kinerja dan pengalaman, faktor kualitas atau kompetensi kandidat juga menjadi penentu dan disukai sebanyak 67,8 persen responden, selanjutnya visi misi program kandidat sebanyak 61,1 persen, agama 61,1 persen, asal daerah 43,9 persen, dan etnisitas dipilih sebanyak 42,2 persen responden.

Dari hasil survei yang dilaksanakan pada akhir 2019 tersebut, temuan hasil penelitian itu meyakinkan bahwa rekam jejak calon pemimpin atau kandidat peserta Pilkada 2020 menjadi pertimbangan utama dan menentukan untuk dipilih masyarakat.

"Politik identitas atau yang biasa disebut politik suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) diprediksi tidak akan laku pada Pilkada Kabupaten Bangka Barat 2020," ujarnya.

Meskipun hasil survei menunjukkan demikian, namun pada kenyataannya jauh hari sebelum tahapan Pilkada Kabupaten Bangka Barat 2020 dimulai, sudah beredar isu melalui media sosial yang berusaha mengipas isu politik identitas.

Sekat-sekat yang selama ini samar di tengah masyarakat yang memiliki latar belakang identitas beragam di Kabupaten Bangka Barat, mulai sedikit mengkristal demi kepentingan sesaat.

Bagi warga kemungkinan tidak akan mempermasalahkan siapapun nantinya yang akan terpilih menjadi pelayan tertinggi di daerah yang berada di ujung barat Pulau Bangka, yang paling dinantikan adalah pola kerja dalam meningkatkan pelayanan dan perubahan ke arah yang lebih baik.

"Siapapun yang menjadi pemimpin harus didukung karena dalam proses demokrasi dia sudah terpilih atau mendapatkan amanah dari sebagian besar masyarakat," kata pemerhati sejarah dan budaya Melayu Mentok, Chairul Amri Rani.

Menurut dia, hidup dalam keberagaman sudah terbentuk harmonis sejak ratusan tahun lalu di tanah Bangka, bahkan dalam perkembangannya perkawinan silang antaretnis sudah jamak dan tidak menjadi masalah serius di daerah itu.

Persilangan berbagai latar belakang budaya yang berbeda, juga terejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, pola akulturasi budaya terlihat pada adat kebiasaan yang tumbuh di tengah masyarakat, misalnya pada saat hari raya.

Pola akulturasi budaya lintas etnis tergambar pada kebiasaan berbagi rezeki saat hari raya, ritual memberi ucapan selamat dan saling memaafkan, para orang tua biasanya memberi "angpau" atau uang saku kepada anak-anak.


                         Kebiasaan Warga Sungaibuluh

Jauh dari pusat keramaian ibu kota kabupaten yang terlalu sibuk dengan urusan politik, setiap pagi, beberapa penjaja keliling Desa Sungaibuluh, Kecamatan Jebus menyediakan berbagai menu kue dan makanan untuk sarapan dan salah satu menu makanan favorit anak-anak dan dewasa adalah pantiaw berbahan baku ubi.

Pantiaw kini menjadi makanan khas masyarakat Desa Sungaibuluh dan salah satu menu wajib untuk dihidangkan pada beberapa acara yang diselenggarakan, seperti acara pernikahan, sedekah kampong atau pun doa minta selamat.

"Pantiaw ubi lebih menyatu di lidah warga Desa Sungaibuluh," kata Jumilah, warga desa setempat.

Seperti makanan khas lainnya, pantiaw ubi juga memiliki fungsi kuat dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya.

Pentiaw ubi dapat dikatakan sebagai menu sarapan yang lebih disukai dibandingkan dengan menu sarapan yang lainnya, seperti kue-kue dan lain sebagainya.

Pantiaw berasal dari bahasa Hakka, "pan" memiliki arti kue dan "thiau" berarti potongan, berwujud seperti mi putih yang disajikan dengan berbagai bumbu dan kuah ikan.

Pantiaw di luar Bangka biasa dikenal dengan sebutan kwetiau, namun di Desa Sungaibuluh memiliki kekhasan tersendiri karena kuliner yang mengadopsi pantiaw gandum dan pantiaw beras itu berbahan baku ubi atau ketela.


                             Adaptasi Budaya Tionghoa

Pantiaw ubi merupakan masakan yang diadaptasi dan dipopulerkan masyarakat Tionghoa yang menetap di Bangka, khususnya Desa Sungaibuluh.

Di Bangka, orang Tionghoa didatangkan sekitar awal abad 18 yang dipekerjakan untuk pertambangan timah, pada masa Kesultanan Palembang.

Pada masa itu, tenaga kerja yang datang ke Pulau Bangka adalah orang Tionghoa Suku Kejia, sebutan lain untuk Suku Hakka atau Khek, yang memang dikenal memiliki keahlian di bidang pertambangan.

Di Desa Sungaibuluh menjadi salah satu penghasil timah terbesar pada masa itu dan para pekerja itu dipekerjakan sebagai penambang di sejumlah parit timah di lokasi itu. Mereka semakin berkembang dan beranak pinak sehingga terbentuk perkampungan kecil di Desa Sungaibuluh.

Sekitar 1945, salah satu pemilik parit timah, Abdul Hamid juga mempekerjakan beberapa orang pekerja asal Tionghoa.

Pada suatu hari, Abdul Hamid melihat pekerja paritnya membuat makanan berbahan ubi, yang kemudian diketahui bernama pantiaw, makanan khas dari negara asal mereka.

Di negeri asalnya, makanan itu berbahan dasar beras, namun karena pada masa itu susah mendapatkan beras, mereka berinisiatif mengganti bahan baku dengan ubi yang harganya lebih terjangkau dan banyak tumbuh di desa itu.

Pengamatan Abdul Hamid diceritakan kepada istrinya yang bernama Yang Alwani atau Yang Cit dan dikembangkan, sejak saat pantiaw menjadi salah satu bagian budaya yang tak terpisahkan bagi masyarakat Sungaibuluh.


                   Pengakuan Pemerintah

Sebagai bentuk upaya pelestarian dan perlindungan kekayaan budaya Indonesia, pada 2019 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menetapkan makanan khas dari Bangka Barat tersebut sebagai salah satu warisan budaya takbenda.

Pantiaw ubi ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Nusantara yang berasal dari Kabupaten Bangka Barat.

"Ini kali kedua Kabupaten Bangka Barat mendaftarkan dan memiliki WBTb, setahun sebelumnya kita sudah punya Tari Serimbang tarian dari Kecamatan Tempilang yang telah terdaftar sebagai WBTb," kata Sekretaris Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bangka Barat, Bambang Haryo Suseno.

Pada 13 hingga 16 Agustus 2019, sebanyak 267 WBTb ditetapkan dalam sidang penetapan warisan budaya takbenda Indonesia di Jakarta, salah satu dari 267 warisan budaya tersebut adalah pantiaw ubi.

Proses penetapan WBTb dilakukan bertahap, mulai dari pengusulan pemerintah daerah, seleksi administrasi, seleksi substansi, hingga sidang penetapan di Kemendikbud.

Petepanan WBTb terhadap pantiaw ubi Bangka Barat menguatkan simpul akulturasi budaya yang terjalin indah sejak ratusan tahun di Bumi Sejiran Setason.

Akulturasi dalam bentuk penyerapan selektif budaya asing, tidak hanya tergambar nyata dalam semangkuk pantiaw, namun juga memengaruhi tata kehidupan lain, seperti dalam bahasa, kesenian, arsitektur, busana dan sebagainya.

Secara alami, akulturasi budaya terasa begitu nikmat dan indah menghiasi kehidupan sehari-hari, seperti pada sajian sarapan semangkuk pantiaw yang patut disyukuri seluruh mahkluk ciptaan Yang Maha Pencipta.

Memelihara kewarasan diri sendiri sudah cukup sebagai bekal menolak kemunculan berbagai isu pecah-belah yang kemungkinan akan semakin gencar ditiupkan dalam setiap pertarungan politik.