Kilas Balik 2019 - Ancaman itu bernama sekolah rusak

id sekolah rusak,jumlah sekolah rusak kemendikbud,keamanan dan keselamatan sekolah,sekolah ambruk,sekolah roboh

Kilas Balik 2019 - Ancaman itu bernama  sekolah rusak

Seorang tenaga pendidik di Kota Madiun sedang menunjukkan ruang kelas V di SD Negeri 02 Tawangrejo yang rusak dan perlu diperbaiki. (ANTARA/Louis Rika) (ANTARA/Louis Rika)

Jakarta (ANTARA) - Keamanan dan kenyamanan sekolah masih menjadi persoalan serius dalam pendidikan di Tanah Air. Sepanjang 2019, sejumlah korban nyawa baik guru dan siswa akibat ambruknya ruang kelas.

Pada November 2019, atap SDN Gentong di Pasuruan, Jawa Timur ambruk dan merenggut dua korban jiwa yakni siswa kelas 2B, Irza Almira dan seorang guru Sevina Arsy.

Sementara, korban luka mencapai 16 orang. Polisi juga telah menetapkan dua orang tersangka DM dan SE yang tidak memiliki basis pengetahuan khusus di bidang konstruksi.



Pada bulan yang sama pula, siswa yang sedang berteduh karena hujan dan angin kencang di SMKN Miri, Sragen, Jawa Tengah, menjadi korban bangunan sekolah yang ambruk. Akibatnya belasan siswa menjalani perawatan di rumah sakit.

Ketua Komisi X DPR, Syaiful Huda, mengatakan Indonesia mengalami darurat gedung sekolah. Oleh karena itu, Huda meminta agar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalukan sensus terkait gedung sekolah yang mengalami kerusakan.

"Peristiwa gedung sekolah ambruk jangan terjadi kembali, karena kita ingin agar guru dan siswa aman dan nyaman di sekolah," kata Huda.

Hal itu juga bertujuan agar tidak ada lagi korban yang berjatuhan akibat sekolah yang rusak. Sekolah yang mengalami kerusakan disebabkan banyak hal mulai buruknya perencanaan hingga bencana alam. Dia menambahkan perbaikan terhadap sekolah rusak, harus menjadi fokus pemerintah.

Politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Reni Marlinawati, mengatakan persoalan sekolah rusak masih menjadi persoalan utama di sektor pendidikan.

Reni menambahkan banyak gedung yang rusak, yang perbaikannya tidak sesuai target yang ditetapkan. Padahal, lanjut dia, bangunan sekolah menjadi bagian penting dari pendidikan.

"Apabila mengalami kerusakan maka dapat mengganggu bahkan mengancam keselamatan siswa maupun guru saat proses belajar mengajar," kata Reni.

Berdasarkan data Kemendikbud tahun ajaran 2018/2019, sebagian besar sekolah mengalami kerusakan. Baik itu rusak ringan, sedang, berat, hingga total.

Jumlah sekolah untuk jenjang SD dengan kondisi baik sebanyak 290.897 sekolah. Sekolah yang mengalami rusak ringan sebanyak 588.346 sekolah, rusak sedang sebanyak 90.195 sekolah, dan rusak berat 92.167 sekolah. Untuk rusak total sebanyak 102 sekolah.

Untuk jenjang SMP, sekolah yang memiliki kondisi baik sebanyak 111.897 sekolah, sedangkan yang mengalami rusak ringan sebanyak 189.487 sekolah. SMP yang mengalami rusak sedang sebanyak 29.881 sekolah, rusak berat sebanyak 26.456 sekolah, dan rusak total sebanya 19 sekolah.

Sedangkan untuk SMA, sekolah yang memiliki kondisi baik sebanyak 72.338 sekolah. Kemudian sekolah yang mengalami rusak ringan sebanyak 75.424 sekolah, rusak sedang sebanyak 8.010 sekolah, dan rusak berat sebanyak 6.672 sekolah, dan rusak total sebanyak 14 sekolah.

Sementara untuk SMK, sekolah dengan kategori baik hanya 78.172 sekolah. Kemudian sekolah yang mengalami kerusakan ringan sebanyak 79.433 sekolah, sekolah yang mengalami rusak sedang sebanyak 4.392 sekolah, dan sekolah yang mengalami rusak berat sebanyak 3.079 sekolah. Sementara sekolah yang mengalami rusak total sebanyak tujuh sekolah.

Mulai 2019, perbaikan sekolah yang mengalami kerusakan dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahaan Rakyat (PUPR). Pada 2019, PUPR menargetkan dapat merevitalisasi sebanyak 1.500 ruang kelas.



Cek keamanan sekolah

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim mengatakan pihaknya akan melakukan pengecekan terhadap keamanan sekolah mulai 2020 agar kejadian sekolah ambruk tidak lagi terulang.

"Masalah keamanan sekolah ini sebenarnya bikin saya khawatir. Oleh karenanya kami akan cek sekolah mana yang rentan roboh mana yang tidak," kata Nadiem.

Nadiem menegaskan mulai 2020 pihaknya tidak lagi fokus dalam membangun sekolah. Melainkan pemeriksaan keamanan bangunan sekolah. Kemendikbud memastikan bahwa murid dapat bersekolah dengan aman dan nyaman.

"Kami akan cek dulu mana sekolah yang rentan, mana sekolah yang tidak. Agar kejadian seperti di Pasuruan tidak terulang kembali," kata Nadiem lagi.

Mendikbud juga mengimbau pemerintah daerah untuk turut memantau kondisi bangunan sekolah. Begitu ada tanda-tanda kerusakan, pihak sekolah bisa melaporkan kepada dinas pendidikan setempat agar segera diperbaiki.

Pemerhati pendidikan, Indra Charismiadji, meminta perbaikan sekolah rusak tidak hanya mengandalkan bantuan dari pemerintah pusat.

Menurut Indra, pemerintah daerah juga harus turun tangan dalam mengatasi persoalan sekolah rusak di daerahnya.

"Pemerintah daerah harus menunjukkan keberpihakannya pada persoalan pendidikan. Hal itu bisa dibuktikan dengan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD)," kata Indra.

Hal tersebut merupakan Amanat UUD 1945 dan UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasar 49 ayat 1, yang mengamanatkan alokasi anggaran pendidikan 20 persen dari APBD diluar gaji pendidik dan biaya pendidikan.

Jika terus dibiarkan, dirinya khawatir akan berdampak pada keamanan dan kenyamanan guru dan siswa di sekolah.

Manajer Program YAPPIKA-Action Aid, Hendrik Rosnidar, mengatakan sejumlah pemerintah daerah yang memiliki Pendapatan Anggaran Daerah (PAD) yang cukup, memiliki komitmen yang rendah dalam mengalokasi dana untuk perbaikan dan pembangunan ruang kelas.

Hal tersebut merupakan hasil riset yang dilakukan YAPPIKA-ActionAid di 10 Kabupaten/Kota pada 2016. Hasil riset itu menunjukkan bahwa hanya 0,99 persen dari APBD yang dialokasikan untuk perbaikan dan pembangunan ruang kelas.

Akuntabilitas pemerintah daerah juga masih rendah karena perencanaan pembangunan sekolah yang tidak berbasis data.

Begitu juga inisiatif perencanaan berbasis data yang dirintis oleh Kemendikbud melalui sistem Data Pokok Pendidikan (Dapodik) dan Tata Kelola (Takola) belum optimal dimanfaatkan daerah.

Hal tersebut mengakibatkan penerima dana perbaikan dan pembangunan ruang kelas seringkali tidak tepat sasaran.

"Pemerintah daerah juga minim melibatkan sekolah dan masyarakat dalam pelaksanaan perbaikan dan pembangunan ruang kelas," jelas Hendrik.

Hendrik menegaskan bahwa perbaikan sekolah rusak, dapat diselesaikan melalui komitmen pemerintah daerah, akuntabilitas pengelolaan dana, dan pelibatan sekolah serta masyarakat.