Ngabalin : Komentar Surya Paloh soal pemakzulan adalah hal biasa

id Ali Mochtar Ngabalin,Perppu,Presiden dimakzulkan,DPR,Surya Paloh

Ngabalin : Komentar Surya Paloh soal pemakzulan adalah hal biasa

Tenaga Ahli Utama Kedeputian IV bidang Komunikasi Kantor Staf Kepresidenan, Ali Mochtar Ngabalin. ANTARA/Abdu Faisal

Jakarta (ANTARA) - Tenaga Ahli Utama Kedeputian IV bidang Komunikasi Kantor Staf Kepresidenan, Ali Mochtar Ngabalinm menganggap komentar Ketua Umum DPP Partai Nasional Demokrat, Surya Paloh, soal pemakzulan Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah hal biasa.

Menurut dia, apabila Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) pun bukan dianggap perkara pidana sehingga tidak dapat membuat presiden dimakzulkan.

"Ini khan soal administrasi. Perppu khan bagaimana, coba lihat. Bukan persoalan pidana," ujar Ngabalin, di Jakarta, Jumat.

Mantan anggota Komisi I DPR periode 2004-2009 itu mengatakan pemerintah menanggapi pernyataan itu sebagai hal biasa sehingga Jokowi tidak risau akan dimakzulkan oleh DPR. "Biasa saja, ini khan semua partai pendukung. Normal-normal saja itu, adinda," ujar dia.

Juga baca: Puan Maharani nyatakan Perppu KPK belum ada kelanjutannya

Juga baca: Golkar masih monitor uji materi MK terkait revisi UU KPK

Juga baca: Pakar: Tidak ada kegentingan memaksa, Perppu KPK bisa inkonstitusional

Menurut dia, Perppu itu kewenangan presiden untuk menilai hal-ihwal keadaan genting (darurat) yang dipersyaratkan dalam UUD 1945 Pasal 22 ayat 1 yang menyatakan dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.

"Tidak ada satu orang pun yang bisa menilai. Setelah Tuhan Allah Subhanahu wa Ta'ala, Jokowi yang menilai," kata Ngabalin.

Namun apa yang dimaksud "kegentingan yang memaksa"? Tidak dijelaskan dalam UUD 1945. Mahkamah Konstitusi telah memberikan tafsir 'kegentingan yang memaksa" yang tertuang dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009.

Menurut putusan MK itu, kondisi kegentingan yang memaksa adalah:

1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.
2. Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai.
3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.