Jakarta (ANTARA) - Pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah menilai stok milik Perum Bulog belum mampu menahan pergerakan harga beras yang mulai mengalami kenaikan.
Rusli dalam pernyataan di Jakarta, Kamis, mengatakan kenaikan harga beras saat ini terjadi di berbagai daerah karena kebutuhan konsumsi tiap bulan 2,5 juta ton hanya mampu dipenuhi oleh produksi 1,5 juta ton.
Kondisi ini menjadikan beras sebagai komoditas penyumbang inflasi sebesar 0,12 persen pada September 2019, padahal sebagian besar kelompok bahan makanan di periode ini mengalami penurunan harga dan memberikan kontribusi kepada deflasi.
"Ada gap antara supply and demand (permintaan dan penawaran)," kata Rusli.
Ia memperkirakan kondisi kenaikan harga beras ini akan terus berlanjut hingga Desember 2019 karena produksi beras mulai terbatas serta tidak adanya masa panen hingga akhir tahun.
Rusli juga menilai stok Bulog hanya mampu mencukupi kebutuhan hingga November 2019, dalam mengatasi fenomena yang juga disebabkan oleh musim kemarau panjang ini.
Oleh karena itu, ia mengharapkan adanya manajemen stok beras yang lebih memadai, agar kenaikan harga beras jelang akhir tahun tidak selalu menimbulkan keresahan bagi masyarakat.
"Harus ada stok beras yang cukup untuk kebutuhan sampai masa panen tiba," katanya.
Sementara itu, pengamat pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas menambahkan defisit produksi beras yang menyebabkan terjadinya kenaikan harga di pasaran merupakan fenomena berulang setiap tahunnya.
Hal ini terjadi karena petani umumnya menunggu musim penghujan untuk mulai menanam. Selain itu, situasi ini juga diperparah oleh mundurnya musim tanam kedua akibat pergeseran musim pada 2019.
"Mulai September itu biasanya sudah minus. Dalam arti yang dipanen dengan konsumsi bulanan lebih besar konsumsi bulanan," kata Dwi Andreas.
Pada 2018, defisit produksi beras sebenarnya baru terjadi pada Oktober. Pasalnya, produksi beras pada September, waktu itu, masih mencapai 2,78 juta ton dengan konsumsi sebanyak 2,43 juta ton.
Dwi Andreas mengharapkan pemerintah mencermati pola ini dan menyiagakan stok beras dalam beberapa bulan kedepan, karena produksi 2019 diperkirakan lebih rendah dari 2018 dan masa paceklik selesai pada Maret 2020.
"Penurunannya kira-kira setara dengan dua juta ton beras dibandingkan 2018, jadi harus diselamatkan sampai paling tidak Februari. Maret mungkin sebagian sudah panen, tapi tidak bisa langsung ke konsumen," ujarnya.
Namun, ia menilai stok Bulog telah mencukupi untuk saat ini, meski penghitungan secara cermat penting dilakukan agar kebutuhan masyarakat terhadap bahan pangan pokok tetap terpenuhi.
"Stok Bulog masih kelewat tinggi, masih 2,3 juta ton. Tapi pemerintah betul-betul harus menghitung cermat, stok sesungguhnya itu berapa. Dan apakah perlu tindakan tertentu terkait dengan cadangan beras," ujarnya.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terjadinya deflasi pada September 2019 sebesar 0,27 persen yang dipengaruhi oleh penurunan harga bahan makanan.
Komoditas yang mengalami penurunan harga antara lain cabai merah, bawang merah, daging ayam ras, tomat sayur, cabai rawit, telur ayam ras dan ikan segar.
Berita Terkait
Bulog serap 500 ton beras petani OKU Timur
Minggu, 7 April 2024 22:03 Wib
Bulog jamin stok beras di OKU Raya aman hingga Idul Fitri
Minggu, 7 April 2024 2:52 Wib
OKU Timur masuki periode panen raya, Bulog setempat siap serap
Kamis, 4 April 2024 22:31 Wib
Presiden Jokowi: Bantuan pangan beras hingga akhir tahun bergantung APBN
Kamis, 4 April 2024 12:08 Wib
Wabup OI Safari Ramadhan bawa oleh-oleh beras dan jam dinding digital
Minggu, 24 Maret 2024 14:56 Wib
Disdag Sumsel imbau masyarakat tak berbelanja berlebih selama Ramadhan
Kamis, 14 Maret 2024 15:53 Wib
Pemprov Sumsel gandeng BSB berdayakan UMKM di bazar Ramadhan
Rabu, 13 Maret 2024 21:27 Wib
Kemendagri minta pemda operasi pasar demi kendalikan harga beras
Rabu, 13 Maret 2024 13:16 Wib