MER-C: Menuduh ambulans bawa batu sebuah kesalahan

id MER-C, ambulans bawa batu, Polda Metro Jaya, Ambulans DKI Jakarta

MER-C: Menuduh ambulans bawa batu sebuah kesalahan

Pembina MER-C Joserizal Jurnalis . (ANTARA/Laily Rahmawaty)

Jakarta (ANTARA) - Organisasi kemanusiaan dan kegawadaruratan medis MER-C menyatakan menuduh ambulans membawa batu tanpa bukti kuat adalah sebuah kesalahan dapat merusak sistem yang berlaku di medan perang.

"Menuduh ambulans bawa ini itu (batu) tanpa pemeriksaan ketat itu salah. Kalau pun ambulans bawa batu segala macam, senjata tajam, senapan, ambulans yang salah," kata Pembina MER-C, Joserizal Jurnalis kepada Antara saat dikonfirmasi di Jakarta, Sabtu.

Jose menjelaskan dalam aturan peperangan ambulans tidak boleh membawa senjata ataupun batu.

"Tapi kalau ambulans tidak membawa jangan dibilang bawa dong," kata Jose.

Ia mengatakan tuduhan itu dapat merusak sistem yang berlaku di medan perang yang akan merugikan aparat itu sendiri atau prajurit yang ada di medan perang.

"Kalau di medan perang tidak ada yang mau mengevakuasi orang yang terluka bagaimana, ini menyangkut sistem," kata dokter lulusan Universitas Indonesia tersebut.

Menurut dia, kalau di ambulans ada korban pengunjuk rasa yang terluka sedang mendapatkan perawatan medis ditemukan di dalam kantongnya senjata atau batu, hal itu biasa.

Karena sudah tugas tim medis untuk menolong korban terluka, sehingga aparat tidak langsung menuduh ambulan membawa batu.

Tetapi jika dalam ambulans tidak ada korban tapi terdapat senjata dan segala macamnya, aparat berhak untuk melakukan penangkapan terhadap ambulans tersebut.

"Kecuali ambulans itu ditodong isinya batu semua, boleh diproses hukum," kata Jose.

Jose mengatakan pada kericuhan 21-22 Mei menjadi pelajaran bagaimana aparat bertindak dalam mengatasi para pengunjuk rasa dan tim medis yang bertugas di lapangan.

Sikap aparat dalam menangani aksi unjuk rasa dinilai represif dan berlebihan seperti dalam di Medan perang.

Sementara dalam peperangan sekalipun ada aturan yang dapat dipatuhi diatur dalam Konvensi Jenewa.

"Dari dulu sejak kejadian kericuhan 21-22 Mei saya sudah sampaikan polisi bacalah Konvensi Jenewa jadi tau bagaimana menghandle tenaga medis, tokoh agama, tokoh masyarakat dalam sebuah peperangan," kata Jose.

Pemeriksaan terhadap tenaga medis dan ambulans oleh aparat boleh saja dilakukan misalnya di daerah konflik.

Ia mencontohkan ketika bertugas di Afghanistan pernah distop oleh petugas keamanan untuk pengecekan. Pemeriksaan dilakukan sedetail mungkin sampai ke kolong mobil, hal itu biasa terjadi.

"Itu sudah standar prosedurnya, tapi sebelum dicek mereka beri hormat dulu dan menyampaikan mau melakukan pengecekan, saya persilahkan. Pengecekan itu perlu kalau dalam satu daerah peperangan," kata Jose.

Kejadian ambulans DKI Jakarta dan PMI, serta petugas media dibawa ke Polda Metro Jaya untuk pemeriksaan tanpa dipastikan kebenarannya adalah sebagai tindakan berlebihan.

"Nah itu kejauhan, kan nomanya dicek dulu tidak langsung bawa," kata Jose.

Jose juga mengingatkan agar aparat menangani para demonstran tidak berlebihan dari penanganan di Medan perang.

Dan jika terjadi huru hara, hendaknya petugas memprioritaskan ambulans untuk bergerak menolong orang atau korban tanpa ada hambatan.

"Ya kalau tidak ada ambulans korban terpaksa diseret," kata Jose.

Seperti diberitakan sebelumnya, Polda Metro Jaya mengakui ada kesalahan terkait dengan viral ambulans milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan PMI yang semula dicurigai mengangkut batu dan perusuh pada kericuhan di kawasan Pejompongan, Jakarta, Kamis dini hari.

Kejadian berawal saat video viral melalui situs "tmcpoldametrojaya" menggambarkan mobil untuk membantu orang sakit maupun luka ditemukan membawa batu dan bensin.

Saat itu, ada anggota Brimob yang bertugas mengamankan kericuhan dilempari batu oleh perusuh.

Selanjutnya, perusuh itu membawa batu dan kembang api berlindung ke dalam mobil ambulans milik PMI dan Pemprov DKI.