Dewan Kopi: Sumsel mendesak butuh BUMD kopi

id Kopi sumsel, kopi sumsel bermasalah, permasalahan kopi sumsel, ekspor kopi sumsel, sumsel kopi, kopi produksi sumsel, bu,berita sumsel, berita palemba

Dewan Kopi: Sumsel mendesak butuh  BUMD kopi

Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru (tengah) didampingi Kapolda Sumsel Irjen Pol Zulkarnaen Adinegara (tiga kanan) dan Wakil Walikota Palembang Fitrianti Agustinda (kedua kanan) meracik kopi di stan Bank Indonesia pada Palembang Expo di halaman Kantor DPRD Provinsi Sumsel Palembang, Sumsel. ANTARA FOTO/Feny Selly/wsj. (ANTARA FOTO/FENY SELLY)

Palembang (ANTARA) - Provinsi Sumatera Selatan membutuhkan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang mengelola perkebunan kopi dari hulu sampai hilir untuk memaksimalkan pendapatan asli daerah dan mengembangkan pasar ekspor.

Ketua Dewan Kopi Sumsel, Zein Ismed di Palembang, Minggu, mengatakan bahwa hasil perkebunan kopi di Sumsel masih didera banyak masalah seperti rendahnya kualitas kopi rendah, minimnya pembinaan petani, hingga upaya ekspor yang loyo.

"Perkebunan kopi di Sumsel 100 persen milik masyarakat, akibatnya timbul keberagaman cara pandang dalam pengelolaan kopi, diperlukan satu badan yang bisa mengelola ribuan petani itu," ujar Zein Ismed.

Menurut dia, Sumsel merupakan penghasil biji kopi robusta terbesar di Indonesia dengan luas 250.000 hektar lebih di enam kabupaten dengan total hasil biji kopi kering 150.000 - 180.000 ton pertahun.

Namun setiap tahun biji kopi tersebut selalu di ekspor melalui pelabuhan di provinsi Lampung karena pelabuhan lokal Sumsel terhambat akses kapal.

Di hulu, kata dia, cara petani-petani mengelola perkebunan masih kurang terarah, petani cenderung mencampurkan biji kopi saat memetik, akibatnya kualitas kopi di tingkat petani 60 persen mash bermasalah dan dihargai begitu rendah perkilogramnya.

Namun sebagian petani memang membiarkan cara petik sembarangan tersebut karena arahan para spekulan agar tetap dapat membeli biji kopi dengan harga murah, sehingga spekulan memperoleh nilai tambah lebih besar saat mengekspor atau menjual kopi.

"Tahun ini harga kopi di tingkat petani turun lagi dari Rp20.000 menjadi Rp18.000, padahal kebutuhan kopi dunia terus meningkat," ujarnya.

Selain itu produksi kopi Sumsel masih sangat rendah, yakni hanya 0,6 ton per hektar, sementara Vietnam yang 20 tahun lalu belajar pertanian kopi di Indonesia sudah berhasil menghasilkan biji kopi tiga ton per hektar.

"Sumsel harus meningkatkan produksi lima kali lipat jika ingin bersaing di pasar internasional, sebab negara peminat kopi Indonesia semakin banyak," lanjutnya.

Di sektor hilir, Sumsel masih kekurangan pengusaha pengolahan biji kopi (roaster) yang pada tahap ini dapat meningkatkan nilai tambah ekonomis, selama ini proses pengolahan biji kopi dilakukan di daerah atau negara lain, jelasnya.

"Hilirisasi industri kopi juga perlu dipikirkan mulai sekarang, kopi-kopi diolah negara lain tapi kembalinya ke Indonesia sudah bentuk bungkusan, mau sampai kapan seperti itu terus?," pungkas Zein Ismed.

Sementara itu kopi-kopi Sumsel juga masih kesulitan menyatukan branding karena terlalu banyak merek kopi yang dihasilkan, akibat brand tidak bersatu membuat pamor kopi Sumsel semakin tenggelam dan kalah bersaing di pasar lokal ataupun ekspor.

"Semua wilayah punya merek sendiri-sendiri, jadi masing-masing pihak perlu duduk bersama untuk menyepakati satu merek yang bisa dijual ke pasar internasional, perlu ada penengah untuk urusan brand ini," demikian Zein Ismed.

Jika pembentukan BUMD direalisasikan, kata dia, satu persatu permasalahan kopi di Sumsel akan mudah diurai, sehingga kejayaan kopi Sumsel era tahun 1960-an dapat diulangi kembali, namun pengelolaan BUMD tersebut harus dilakukan orang-orang berkompeten di bidangnya, bukan asal dibentuk.