Festival Lima Gunung dikerjakan anak milenial desa

id festival lima gunung, komunitas lima gunung, milenial desa,puncak Gunung Merapi,budaya masyarakat magelang

Festival Lima Gunung dikerjakan anak milenial desa

Pementasan wayang dengan lakon "Kancil Dari Ratu" oleh seniman Sanggar Wayang Kancil Salatiga pada Festival Lima Gunung XVIII/2019 di Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang di kawasan barat daya puncak Gunung Merapi, Jumat (6/7/2019) malam. (ANTARA/Hari Atmoko)

Magelang (ANTARA) - Sampai lepas tengah malam, setelah hari pertama Festival Lima Gunung XVIII/2019, budayawan Sutanto Mendut masih berbincang dengan sejumlah orang di Padepokan Tjipta Boedaja Dusun Tutup Ngisor, Kabupaten Magelang, di kawasan barat Gunung Merapi.

Mitra bincang pemimpin tertinggi Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang, Jawa Tengah itu, antara lain pimpinan padepokan yang didirikan pada 1937 tersebut, Sitras Anjilin, pembuat dokumen film dari Austria dan Yogyakarta, masing-masing Victor Jaschke dan Adi, serta dua petinggi komunitas, masing-masing Riyadi dan Lie Thian Hauw alias Haris Kertorahardjo.
  
Nama lima gunung yang menjadi sebutan untuk komunitas itu, adalah Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Pegununan Menoreh yang wilayahnya masuk Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah.

Salah satu fokus perbincangan mereka hingga Sabtu (6/7) dini hari itu, soal penyelenggaraan festival yang tahun ini lebih besar porsinya diurus kalangan muda-mudi komunitas.

Sebut saja sejumlah nama di antara para pemuda milenial antargunung dan desa yang tampak tak mengenal lelah mengurus dan menata seluruh rangkaian acara festival tahunan tanpa sponsor berstempel Komunitas Lima Gunung itu.

Mereka, antara lain Saparno, Masturi, Widyo Sumpeno, Marmujo, Nabila, Untung Pribadi, Fahrudin, Atika, Nabila, Khoirul Matakin, Dian Panca, Singgih, Parmadi, Kipli, Darmawan, Gianto, dan Hary Kisud. Mereka umumnya berumur sekitar 20 hingga 40-an tahun.

Bahkan, Kepala Dusun Tutup Ngisor, Martejo (43), yang dusunnya menjadi tuan rumah festival tahun ini, ikut menjalani tanggung jawab mengurus kelancaran pementasan empat grup kesenian, menjadi penghubung, termasuk mengusung perangkat gamelan yang akan dinaikkan panggung.

Tidak ada yang membayar dan tidak ada yang dibayar untuk mereka bergerak, mewujudkan kegembiraan bersama dalam Festival Lima Gunung, sebagaimana para petinggi Komunitas Lima Gunung menjalani gerakan kebudayaan desa dan gunung selama ini.

Festival tahunan berbasis nilai-nilai budaya gunung dan desa kali ini berlangsung selama 5-7 Juli 2019 dengan sekitar 77 agenda pementasan kesenian, antara lain tarian, musik, pembacaan puisi, performa, kenduri tokoh Komunitas Lima Gunung, kirab budaya, dan pidato kebudayaan.

Tema festival tahun ini "Gunung Lumbung Budaya", tentang nilai-nilai budaya masyarakat gunung dan desa yang menghidupi keseharian mereka dan menjadi pustaka inspirasi bagi masyarakat luas.

Jadwal acara festival secara spontan diperluas dengan agenda peluncuran buku "Sumpah Tanah", tentang gerakan kebudayaan Komunitas Lima Gunung, karya pengajar Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta Doktor Joko Aswoyo pada Selasa (2/7) dan pembukaan pameran seni rupa seniman muda Magelang berjudul "Lumbung Karya", Kamis (4/7) malam.

Di luar jadwal resmi berbagai pementasan, grup seniman muda Katon Art pimpinan Anton Prabowo menjadwalkan sendiri pada Minggu (7/7) subuh, untuk melakukan performa seni bertajuk "Mbuka Lumbung Gunung" di Jembatan Jokowi (Mangunsoko) di atas Kali Senowo.


Aktifkan medsos

Tidak kentara kesibukan bertemu langsung kalangan milenial desa itu untuk menyiapkan penyelenggaraan festival. Rapat mereka dengan para petinggi Komunitas Lima Gunung hanya beberapa kali, bisa dihitung dengan jari, sejak Januari hingga akhir Juni lalu.

Perbincangan dan koordinasi para pemuda milienial komunitas itu, untuk penyelengaraan festival, lebih intensif melalui media sosial tertutup, Whatsapp.

Sekretaris Panitia Festival Lima Gunung 2019 Endah Pertiwi menyebut sekitar sembilan grup Whatsapp kepanitian dibuat untuk perbincangan terkait dengan festival.

Nama-nama grup Whatsapp itu, antara lain "Tim Kerja KLG", "FLG182019", "Seksi Acara", "Seksi Publikasi", "Grup Jumat", "Grup Sabtu", "Grup Minggu", "LO FLG", dan "Pemuda Tutup Ngisor".

"Yang grup 'LO FLG' dan'Pemuda Tutup Ngisor', kami yang bikin, untuk koordinasi dan persiapan lainnya di dusun. Untuk selama hari festival, komunikasi kami antarpersonel melalui HT (Handy Talky)," kata salah satu pengurus Padepokan Tjipta Boedaya yang juga tokoh pemuda Dusun Tutup Ngisor, Untung Pribadi.

Pemanfaatan medsos juga untuk koordinasi dan konfirmasi dengan para pengisi acara, baik antarkelompok kesenian di komunitas, dengan jejaring di daerah setempat dan luar kota, maupun luar negeri.

Koordinasi untuk pengaturan rumah-rumah warga Tutup Ngisor yang akan digunakan mengisi acara maupun menginap para tamu dari kota-kota besar juga tak lepas dari medsos. Panitia juga menyiapkan lokasi kecil di antara rumah-rumah warga, bagi sejumlah tamu luar kota yang secara mandiri mendirikan tiga tenda untuk berkamping.

Mereka mengefektifkan dan mengintensifkan perbincangan untuk persiapan festival melalui medsos. Gawai selalu di tangan masing-masing. Terasa bahwa kalangan milenial desa itu menjadi bagian dari pengguna secara positif, produktif, dan konstruktif atas produk zaman kemajuan teknologi komunikasi dan informasi itu.

Tebaran poster-poster beragam tentang Festival Lima Gunung XVIII/2019 di berbagai akun medsos juga dibikin dengan gawai oleh kalangan milenial komunitas dengan jejaringnya di berbagai kota itu. Jumlah poster maupun video pendek atas festival yang diunggah ke medsos disebut Sutanto Mendut mencapai 195-an karya.

Begitu juga dengan medsos terbuka, Facebook, yang dikelola komunitas dengan nama "Komunitas Lima Gunung". Grup itu pun bertebaran secara kekinian foto-foto, video, dan unggahan berita-berita media daring tentang Festival Lima Gunung 2019.

Bukan Sutanto Mendut kalau tidak omong bernada mengejek dan bikin ger-geran atas cara bergerak kalangan milenial desa dalam menggarap festival yang dirintisnya sejak 2001 dan sekarang mendunia itu.

"Festival ibu kota pindah ke seribu desa. Selamat menikmati gempar viral gaya dusun unik ngece (mengejek). Semoga tidak goblok dengan gagasan sederhana tapi mengangkat derajat desa," ujar dia dalam pesan pendek melalui jaringan pribadi, Sabtu (6/7) pagi, setelah merangkum pencapaian hari pertama festival, sepanjang Jumat (5/7) siang hingga tengah malam, di padepokan sekitar 12 kilometer barat daya puncak Gunung Merapi itu.
 
Salah satu kelompok kesenian menyajikan pementasan pada Festival Lima Gunung XVIII/2019 di Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang di kawasan barat daya puncak Gunung Merapi, Jumat (6/7/2019) malam. (ANTARA/Hari Atmoko)



Hari Pertama

Hari pertama festival berjalan lancar. Jadwalnya sekitar 23 pementasan kesenian, seperti tarian tradisional dan kontemporer, musik, wayang kancil, teater. Bagian dari pembukaan hari pertama itu, juga ditandai dengan pidato sejumlah tokoh, termasuk Sitras Anjilin.

Ada dua grup pementasan yang bermasalah pada hari pertama pementasan festival. Satu grup dari luar daerah terlambat tiba di lokasi festival di Tutup Ngisor sehingga agenda pentas mereka pada sore hari dialihkan ke malam hari. Satu grup lainnya membatalkan diri tanpa alasan.

"Tanpa penjelasan, tiba-tiba saja left grup WhatsApp. Kami mengatur dengan cepat urutan pementasan," ucap Untung Pribadi sambil memegang HT untuk koordinasi penginapan bagi rombongan penampil dari luar kota yang tiba-tiba saja sudah datang ke Tutup Ngisor, maju satu hari dari rencana awal.

Sejumlah milenial desa yang menjadi anggota panitia festival, menempati posisi tugasnya di balik panggung seluas 8x8 meter setinggi 50 centimeter dengan latar belakang instalasi Burung Garuda ukuran raksasa.

Dengan wajah cerita, mereka terus melanjutkan pengaturan kelancaran pementasan demi pementasan. Komunikasi mereka melalui HT dengan petugas penghubung grup penampil yang berada di rumah-rumah transit tidak pernah putus.

"Habis ini yang dari Wahyu Turonggo Jati (Tlahap, Kabupaten Temanggung) bersiap ya," begitu Nabila berbicara melalui HT sambil mengecek kertas kopian bertuliskan deretan agenda pementasan.

Masturi dan dua lainnya berdiri di dekat tiga perangkat gamelan, yakni gong, saron, dan peking. Mereka bersiap membawa kembali perangkat itu ke pendopo padepokan setelah digunakan salah satu grup luar Magelang berpentas.

Kekhasan Festival Lima Gunung dibandingkan dengan festival seni budaya lainnya yang diamati pemerhati seni dari Kota Magelang Condro Bawono tetap hadir, meski tahun ini penyelenggaraannya tak disangkanya oleh kalangan milenial desa.

Festival Lima Gunung, sebut dia, bukan soal bagus atau tidaknya suatu pementasan. Akan tetapi, selalu saja membuat penonton baik dari desa-desa maupun tamu luar kota, secara natural menjadi bagian tak terpisahkan dari festival.

"Sulit kalau mau utuh diceritakan, kecuali dinikmati dengan kehadiran," ucap Bawono yang akrab disapa "Mbilung Sarawita itu".

Para pegiat utama Komunitas Lima Gunung selama bertahun-tahun setia menghadirkan festivalnya yang tanpa sponsor itu. Mereka selama ini yang berada di garda depan, berpikir, dan bersibuk ria menghadirkan festival itu, tahun demi tahun.

Festival tahun ini, para pegiat utama komunitas lebih banyak mengamati kiprah kalangan milenial desa itu, hilir mudik memantau kelangsungan festival, dan menyapa para tamu penting dari luar kota.

Di tangan kalangan milenial desa, Festival Lima Gunung tahun ini tetap hadir sebagai wujud gerakan kebudayaan desa yang dibangun bertahun-tahun oleh para petinggi komunitas.

Kalau boleh dikatakan nilai-nilai sosial-budaya lokal festival dan komunitas seniman petani itu, sebagai bagian daftar katalog "Gunung Lumbung Budaya", tema Festival Lima Gunung tahun ini, kalangan milenial desa pun berada dalam deretan katalog itu.