Ke(tidak)mauan kampus di Indonesia menolak intoleransi

id intoleransi,gerakan islam eksklusif,berita sumsel, berita palembang, antara sumsel, antara palembang, antara hari ini, palembang hari ini, jembatan am

Ke(tidak)mauan kampus di Indonesia menolak intoleransi

Semarang - Peneliti dari Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Sri Yanuarti saat memaparkan hasil riset intoleransi dan radikalisme di Indonesia, di Semarang, Kamis (15/11). ANTARA/Zuhdiar

memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi warga negara tanpa terkecuali
Jakarta (ANTARA) - Gerakan Islam eksklusif merupakan gerakan yang berkiblat ke luar negeri, bukan hanya itu saja tetapi gerakan ini juga cenderung menutup diri dari keragaman Indonesia. Gerakan ini tumbuh subur dalam dunia pendidikan.

Hasil penelitian Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (LPPM UNUSIA) menemukan gerakan islam eksklusif sudah menyebar ke Perguruan Tinggi Negeri Negeri (PTN).

Ada delapan PTN di Jawa Tengah yang menjadi tempat berseminya islam eklusif seperti Tarbiyah, Hizbut Tahrir, dan Salafi.

Dominasi gerakan islam eksklusif ini menebar rasa kekhawatiran bagi kemajemukan masyarakat Indonesia yang sudah lama hidup rukun dalam perbedaaan dengan sistem bangunan berlandaskan bhinneka tunggal ika.

Kekhawatiran masyarakat Indonesia terhadap perkembangan islam eksklusif di kampus menjadi hal yang wajar karena gerakan yang dikampanyekannya adalah intoleransi.

Intoleransi merupakan musuh kebhinnekaan apalagi menggunakan dalil-dalil agama untuk kepentingan ideologi politiknya. Kelompok yang berbeda pandangan dengan islam eksklusif akan dibenci dengan membuat narasi sebagai kelompok kafir, munafik dan sesat.

Melabeli golongan lain dengan tiga label tersebut merupakan perbuatan yang tidak elok apabila dilakukan di negara yang berlandaskan bhinneka tunggal ika karena berbahaya dalam kehidupan sosio kemasyarakatan mengingat Indonesia dibangun atas dasar perbedaaan agama, suku, ras dan budaya. Sehingga gerakan islam eksklusif akan menjadi “bom waktu” bagi kerusakan Indonesia.

Tidak dipungkiri, jika gerakan ini terus berkembang dengan subur di kampus (apalagi kampus negeri) maka Indonesia bisa runtuh dikemudian hari.

Pecahnya Indonesia menjadi beberapa negara tidak menjadi beban bagi gerakan islam eksklusif karena faham yang dianutnya adalah islam transnasional, berpegang pada kiblat kebudayaan asing dan mengutuk kebudayaan Indonesia itu sendiri.

Salah satu contohnya adalah gerakan khilafah yang berkiblat pada asing. Padahal sistem yang ditawarkannya sudah terbukti tidak mampu menjadi tulang punggung kedamaian, sedangkan pondasi dasar negara Indonesia yakni Pancasila sampai saat ini sudah teruji dan mampu menyatukan segala perbedaan dalam satu wadah bendera merah-putih.


            Gerakan Inskonstitusional

Gerakan yang dilakukan oleh islam eksklusif adalah gerakan yang inskonstitusional karena terus dikampanyekan dalam ruang publik, sebuah ruang yang secara konstitusi bisa diakses oleh semua masyarakat tanpa memandang golongan dinarasikan sebagai ruang yang harus diisi oleh golongannya.

Contohnya adalah gerakan menolak pemimpin non muslim di badan public dan tidak boleh mengucapkan selamat hari raya kepada agama lain.

Secara konstitusi badan publik bisa diakses oleh semua warga negara dengan tidak memandang latar belakang agama dan keyakinannya itu apa. Meskipun demikian selalu dikampanyekan badan publik tidak boleh dipimpin oleh non-muslim.

Tatanan sosio masyarakat akan terpecah-belah ketika seorang Menteri Agama tidak diperbolehkan mengucapkan selamat hari raya ke agama lain, padahal dirinya adalah pemimpin publik yang secara konstitusi adalah milik semua warga negara.

Apabila gerakan tolak pemimpin muslim ditaruh dalam ruang semestinya, seperti Muhammadyah dan Nahdlatul Ulama adalah ruang yang harus diisi oleh orang pemimpin muslim mengingat kedua lembaga besar tersebut adalah organisasi Islam.

Namun, menjadi persoalan ketika gerakan tersebut digelorakan untuk menghambat pemimpin non-muslim masuk ke wilayah badan publik.

Gerakan islam eksklusif kelihatannya sesuai dengan hati nurani ummat islam akan tetapi islam dan negara merupakan sistem bangunan yang tidak bisa dipisahkan. Sehingga selain kemampuan beragama tanpa merusak tatanan negara juga harus diperhatikan karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, sehingga harus menjauhi hal-hal yang mudah untuk memantik permusuhan.

Islam eksklusif selalu menebar wacana orang yang diluar keyakinannya adalah musuh dan harus dilawan karena agama islam sedang tertindas adalah wacana yang dibangun oleh islam eksklusif.

Apabila virusnya sudah sampai tahap ini maka pelayanan publik akan terganggu karena badan publik adalah pelayanan publik yang melayani semua warga negara. Apabila badan publik mendiskriminasikan golongan lain maka akan ada kesan negara tidak hadir di setiap warganya.

Perlu diketahui konsep negara Indonesia adalah welfare state (negara kesejahteraan), negara hadir untuk memberikan kesejahteraan bagi semua rakyatnya tanpa tebang pilih. Sedangkan untuk melaksanakannya maka negara bertindak sebagai pelayan publik.

Dalam ilmu Hukum Administrasi Negara dikenal dengan namanya public service organization, organisasi negara berusaha penuh untuk memberikan pelayan publik yang baik, apabila ada pelayanan publik yang terganggu karena ketiadaan hukum maka diperbolehkan untuk membuat diskresi.

Artinya, tata aturan negara yang diciptakan sampai dengan sedemikian rupa itu supaya negara bisa hadir, memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi warga negara tanpa terkecuali.


           Mekanisme Penyebaran

Ideologi islam eksklusif berkembang pesat di kampus negeri, sedangkan kampus adalah simbol cendekia yang bisa dijadikan legitimasi wacana ajaran islam eksklusif bisa diterima oleh para pelajar, terutama pelajar yang berasal dalam perkotaan yang jauh dari kehidupan gotong-royong dan lebih bersikap individualis.

Gerakan islam eksklusif cerdas dalam memainkan pola gerakan, bersembunyi dibalik “baju” dalil-dalil islam mereka menguasai posisi-posisi penting di kampus seperti masjid kampus dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM).

Peran masjid dan BEM menjadi efektif mengingat kedua wilayah ini menjadi titik singgung mahasiswa baru yang masih polos dalam peta ideologi politik sehingga mudah untuk dipengaruhi otaknya.

Kemampuan golongan islam eksklusif dalam mengorganisir pergerakannya secara terstruktur, sistematis dan massif sulit ditandingi oleh organisasi kemahasiswaan Islam yang mempunyai kultur dan ideologi moderat seperti Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ikatan Mahasiswa Muhammadyah (IMM), Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan lain sebagainya.

Gerakan islam eksklusif berhasil memberikan stigma kepada mahasiswa baru untuk menjauhi hal-hal yang berbau politik, seperti bergabung dengan organisasi kemahasiswaan yang berhaluan moderat berarti menjadi politis. Padahal bergabung dalam gerakan islam eksklusif lebih politis karena menjalankan misi islam transnasional, dan ingin merobohkan nilai-nilai dasar bangsa Indonesia.

Sedangkan bergabung ke organisasi seperti PMII atau IMM juga bisa dikatakan menjadi manusia politik namun gerakannya politik yang dibangun oleh kedua organisasi tersebut masih berpijak pada nilai-nilai dasar bangsa Indoensia, bahkan melestarikannya.


Bevogheid Kampus

Akutnya virus Islam eksklusif seharusnya disadari oleh pihak pengelola kampus karena kampus merupakan wilayah akademik yang mempunyai tugas dari negara untuk melestarikan nilai-nila dasar bangsa Indonesia, salah satunya adalah bhinneka tunggal ika. Sehingga alumni yang lulus dari kampus adalah alumni yang mau mengakui kebudayaan Indonesia yakni bersatu dalam keragaman.

Untuk menanggulangi persoalan ini Menteri Riset, Tekknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) telah mengeluarkan regulasi berupa Peraturan Menteri No 55 tahun 2018 tentang Pembinaan Ideologi Pancasila Dalam Kegiatan Kemahasiswaan Perguruan Tinggi.

Dalam peraturan tersebut kampus diberikan kewenangan (bevogheid) untuk membentuk organisasi kemahasiswaan yang fungsinya sebagai wadah pembinaan ideologi Pancasila, di mana dalam pelaksanaan programnya juga melibatkan organ ekstra kampus yang berhaluan moderat.

Wadah ini adalah pintu masuk bagi organisasi kemahasiswaan seperti PMII dan IMM untuk menebarkan ajaran kedamaian.
Sepanjang yang penulis ketahui sampai saat ini belum ada tanda-tanda kampus yang akan membuat wadah tersebut, sehingga penelitian LPPM UNUSIA mengenai penyebaran virus islam eksklusif yang menyebar ke perguruan tinggi adalah hal yang wajar.

Memang beberapa kampus sudah mulai membentuk semacam pusat studi untuk meneliti dan menangkal faham radikal seperti yang ada di Universitas Negeri Semarang (UNNES), yakni Pusat Studi TEROR yang mempunyai tugas melakukan penelitian dan mencegah teror-teror yang menggagu kemajemukan masyarakat.

Virus intoleransi juga bisa dimasukkan dalam kategori terror karena membuat resah tatanan masyarakat

Pendirian pusat studi di kampus menjadi sarana ampuh untuk mencegah faham intoleransi masuk ke kampus asalkan pekerjaan yang dilakukan oleh pusat studi tersebut diawali dengan melakukan penelitian terhadap faham-faham intoleransi di lingkungan kampusnya sendiri.

Pendirian pusat studi itu penting namun untuk membuktikan kampus sebagai penyebar idiologi negara (Pancasila) maka wadah organisasi mahasiswa seperti yang tercantum dalam Peraturan Menteri No 55 tahun 2018 harus segera dibentuk tanpa harus menunggu waktu yang terlalu lama karena penyebaran paham Islam eksklusif merupakan permasalahan bangsa bukan permasalahan kampus semata.

Jika tidak segera dibentuk maka menjadi pertanda kampus tidak menjalankan fungsi administrasi negara sebagai lembaga yang ditugaskan untuk menjalankan ajaran-ajaran sesuai konstitusi sehingga patut dikatakan kampus telah melakukan malfungsi hukum administrasi negara.

Label sebagai kampus yang melakukan malfungsi bisa diberikan karena dasar hukum pembentukan wadah tersebut sudah disediakan oleh pemerintah. Hanya menunggu kemauan kampus dalam memberantas virus intoleransi berkembang di lingkungannya.

Hampir setahun peraturan menteri No 55 Tahun 2018 diundangkan, apabila ada kampus yang belum membentuk wadah tersebut maka tidak ada itikad baik dari kampus dalam menangkal faham intoleransi.

*) Muhtar Said adalah dosen HTN-HAN Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia; Ketua Alumni FH UNNES