Menristekdikti: Kebutuhan baterai masih jadi masalah
Solo (ANTARA) - Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) RI Mohamad Nasir mengatakan hingga saat ini kebutuhan baterai masih menjadi masalah di Indonesia karena ketergantungan industri dalam negeri terhadap impor.
"Saat ini nilai baterai antara 35-40 persen (dari seluruh ongkos produksi, red). Kalau begitu, maka bagaimana mengefisienkan menjadi 20 persen, maka 'cost'-nya akan turun," katanya saat mengunjungi Unit Produksi Battery Lithium di Gedung Pusat Pengembangan Bisnis UNS di Solo, Jumat.
Terkait hal itu, dikatakannya, yang harus dilakukan adalah perguruan tinggi atau peneliti mampu mengembangkan baterai demi masa depan yang lebih baik.
"Maka kami kembangkan pusat penelitian baterai di UNS. Meski demikian, yang jadi permasalahan adalah bahan baku yaitu lithiumnya masih impor. Terkait hal itu sebetulnya kita ada bahan baku tetapi belum bisa proses, maka saat ini kita sedang mengembangkan teknologinya di Halmahera," ucapnya.
Dengan demikian, ke depan baterai bisa menjadi salah satu alternatif energi terbarukan yang ada di Indonesia. Menurut dia, pengembangan energi terbarukan penting dilakukan mengingat jika terus mengandalkan bahan fosil ketersediaannya sangat terbatas.
Ia mengatakan dari 100 persen energi yang dimanfaatkan di Indonesia, 77 persennya berasal dari fosil, sedangkan sisanya dari energi terbarukan.
"Per tahun 2017, kebutuhan fosil mencapai 400.000 barel/hari dengan biaya mencapai 17,6 miliar dolar/tahun. Ini makin lama akan makin terbatas," katanya.
Termasuk pada pengembangan motor listrik Gesits oleh industri dalam negeri, dikatakannya, baterai mengambil peranan penting.
"Kalau dilihat dari kompetitor, seperti Honda kan harganya sampai Rp60 juta, sedangkan yang dijual oleh Gesits hanya Rp23 juta. Baterailah yang jadi tumpuan, nilainya 30 persen dari 'cost' tersebut. Jadi tepat UNS mengembangkan baterai lithium dan saat ini sudah masuk ke industri," tuturnya.
Pada kesempatan yang sama, Rektor UNS Jamal Wiwoho mengatakan pengembangan baterai lithium UNS dimulai sejak tahun 2012 sejalan dengan pencanangan program Mobil Listrik Nasional (MOLINA).
Ia mengatakan baterai lithium yang dikembangkan oleh UNS tersebut adalah jenis lithium ion dengan ukuran 18650. Sampai saat ini, dikatakannya, jenis yang dikembangkan adalah Lithium Ferro Phosphate (LFP) dan Nickel Cobalt Aluminium Oxide (NCA).
Ia mengatakan Teaching Factory Battery Lithium UNS tersebut sampai saat ini mampu memproduksi 1.000 sel/hari dengan kapasitas 5 KWh untuk jenis LFP dan 10 KWh untuk jenis NCA.
"Saat ini nilai baterai antara 35-40 persen (dari seluruh ongkos produksi, red). Kalau begitu, maka bagaimana mengefisienkan menjadi 20 persen, maka 'cost'-nya akan turun," katanya saat mengunjungi Unit Produksi Battery Lithium di Gedung Pusat Pengembangan Bisnis UNS di Solo, Jumat.
Terkait hal itu, dikatakannya, yang harus dilakukan adalah perguruan tinggi atau peneliti mampu mengembangkan baterai demi masa depan yang lebih baik.
"Maka kami kembangkan pusat penelitian baterai di UNS. Meski demikian, yang jadi permasalahan adalah bahan baku yaitu lithiumnya masih impor. Terkait hal itu sebetulnya kita ada bahan baku tetapi belum bisa proses, maka saat ini kita sedang mengembangkan teknologinya di Halmahera," ucapnya.
Dengan demikian, ke depan baterai bisa menjadi salah satu alternatif energi terbarukan yang ada di Indonesia. Menurut dia, pengembangan energi terbarukan penting dilakukan mengingat jika terus mengandalkan bahan fosil ketersediaannya sangat terbatas.
Ia mengatakan dari 100 persen energi yang dimanfaatkan di Indonesia, 77 persennya berasal dari fosil, sedangkan sisanya dari energi terbarukan.
"Per tahun 2017, kebutuhan fosil mencapai 400.000 barel/hari dengan biaya mencapai 17,6 miliar dolar/tahun. Ini makin lama akan makin terbatas," katanya.
Termasuk pada pengembangan motor listrik Gesits oleh industri dalam negeri, dikatakannya, baterai mengambil peranan penting.
"Kalau dilihat dari kompetitor, seperti Honda kan harganya sampai Rp60 juta, sedangkan yang dijual oleh Gesits hanya Rp23 juta. Baterailah yang jadi tumpuan, nilainya 30 persen dari 'cost' tersebut. Jadi tepat UNS mengembangkan baterai lithium dan saat ini sudah masuk ke industri," tuturnya.
Pada kesempatan yang sama, Rektor UNS Jamal Wiwoho mengatakan pengembangan baterai lithium UNS dimulai sejak tahun 2012 sejalan dengan pencanangan program Mobil Listrik Nasional (MOLINA).
Ia mengatakan baterai lithium yang dikembangkan oleh UNS tersebut adalah jenis lithium ion dengan ukuran 18650. Sampai saat ini, dikatakannya, jenis yang dikembangkan adalah Lithium Ferro Phosphate (LFP) dan Nickel Cobalt Aluminium Oxide (NCA).
Ia mengatakan Teaching Factory Battery Lithium UNS tersebut sampai saat ini mampu memproduksi 1.000 sel/hari dengan kapasitas 5 KWh untuk jenis LFP dan 10 KWh untuk jenis NCA.