Pahlawan devisa Korea yang tak punya suara memilih

id tps korea,pemilih korea,pemilu 2019,berita sumsel, berita palembang, antara sumsel, antara palembang, antara hari ini, jembatan ampera, wong palembang

Pahlawan devisa Korea yang tak punya suara memilih

Sejumlah WNI pemilih dan petugas TPS di Seoul memakai pakaian tradisional daerah Indonesia untuk memeriahkan Pemilu 2019 di Korea Selatan pada Minggu (14/4/2019). (KBRI Seoul)

"Saya selalu ikut pemilu sejak pertama kali bisa mencoblos. Baru kali ini saya golput karena sistem,"
Seoul (ANTARA) - Dian Passa mengaku pasrah saat mendengar kabar kalau dia harus menempuh perjalanan selama lebih dari 10 jam untuk memilih calon presiden di tempat pemungutan suara yang ditentukan oleh Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Korea Selatan.

Selama tujuh tahun terakhir, Dian bekerja di sebuah perusahaan tambak di pulau Nohwa-eup, Wando-gun, di ujung selatan Semenanjung Korea. Daerah ini terkenal sebagai penghasil makanan laut seperti tiram, teri, dan abalon terbaik se-Korea Selatan.

"Bekerja di perikanan itu berat, banyak yang tidak kuat," kata Dian sambil bercerita tentang teman-temannya yang hanya bisa bertahan selama beberapa bulan sebelum akhirnya menyerah, lalu lari ke kota jadi pekerja "swasta" (demikian komunitas buruh migran di Korea Selatan menyebut teman-temannya yang bekerja tanpa status hukum) atau pulang ke Indonesia.
 
WNI di Korsel antusias mengikuti Pemilu 2019 di Kedutaan Besar Ri di Seoul. (ANTARA/GM Nur Lintang)

Lokasi yang jauh dari pusat-pusat hiburan di kota dan jam kerja yang hampir tanpa libur adalah alasan kenapa tidak banyak buruh migran yang menggeluti sektor perikanan untuk waktu lama. Tapi Dian tetap bertahan demi melihat putrinya menjadi sarjana di Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung.

Dari Wando-gun, pria asal Sukabumi itu tidak hanya menggerakkan ekonomi keluarga, tapi juga menyumbang devisa bagi negara. Seorang pejabat Kementerian Luar Negeri Indonesia mengungkapkan bahwa total devisa yang disumbang buruh migran di Korea Selatan mencapai Rp160 trilyun -- nilai yang bisa mengongkosi hampir setengah anggaran infrastruktur tahunan negara.

Tapi Dian, bersama 40-an buruh migran Indonesia lain di Nohwa-eup, adalah pahlawan devisa tanpa suara. Mereka memutuskan untuk tidak berpartisipasi dalam pemilihan presiden dan wakil rakyat yang digelar serentak di Korea Selatan pada Minggu karena jarak.

Mereka inilah yang disebut oleh Megawati Soekarnoputri, presiden Indonesia kelima, dalam pidato politiknya di GOR Pandawa Solo Baru (31/3/2019), sebagai orang-orang "pengecut" yang "tak layak jadi warga negara Indonesia" karena menjadi golongan putih. Mereka ini pula yang disebut oleh filsuf  Franz Magnis Suseno sebagai orang-orang "bodoh" dan "sakit mental" dalam tulisannya di sebuah harian nasional.

Tapi Megawati dan Franz Magnis mungkin tidak tahu bahwa bahwa untuk ikut pemilihan umum tahun ini, Dian harus menyeberang dengan kapal feri selama lima jam untuk mencapai Wando, lalu naik bus sejauh hampir 300 km (atau setara Jakarta-Bandung pulang pergi) sampai ke Busan di ujung timur Korea. Tidak mungkin kembali dari perjalanan sejauh itu di hari yang sama, sementara hari Senin para buruh tambak di Nohwa-eup harus kembali bekerja.

Padahal, Dian mengaku sangat antusias untuk ikut mencoblos calon presiden yang dia suka. Bersama teman-temannya, dia mengikuti cuplikan debat-debat calon presiden di YouTube yang lalu diikuti dengan perbincangan warung kopi tentang siapa yang terbaik di antara kedua kandidat.

"Saya selalu ikut pemilu sejak pertama kali bisa mencoblos. Baru kali ini saya golput karena sistem," kata pria berusia 39 tahun itu.

Pada pemilu tahun 2014 lalu, Dian berpartisipasi melalui pos di mana surat suara dikirim ke alamat kontrakannya di Wando-gun untuk dikembalikan melalui kurir. Tapi kali ini PPLN, entah karena pertimbangan apa, memutuskan bahwa Dian harus mencoblos ke tempat pemungutan suara di Busan.

Seharusnya melalui sistem pendaftaran mandiri, Dian bisa memilih untuk tetap menggunakan metode pos. Namun pria lulusan sekolah menengah pertama ini mengaku tidak bisa menggunakan teknologi sehingga meminta tolong pada petugas PPLN untuk mendaftarkan namanya sebagai pemilih, sekaligus metodenya.

Dian dan komunitasnya tidak sendirian. Di laman facebook resmi PPLN Seoul, ratusan keluhan serupa bermunculan.

Ada yang mempertanyakan kenapa surat suara belum juga sampai ke alamat rumah pada malam menjelang pemungutan -- padahal surat harus kembali ke Kedutaan Besar Republik Indonesia di Seoul keesokan harinya. Ada pula yang memprotes kenapa domisili di Busan tapi harus mencoblos ke Seoul yang jaraknya ratusan kilometer.

"Menggelar pemilu di luar negeri memang bukan hal mudah," kata Huda Ulinuha, ketua PPLN Seoul saat ditemui ANTARA pada Minggu di sela-sela pemungutan suara di Kedutaan Besar RI, Seoul. Wawancara itu harus berkali-kali terhenti karena Ulin, yang tampak jelas kelelahan dengan kantung mata menghitam, harus menerima telepon keluhan dari para warga Indonesia yang kesulitan melakukan pencoblosan.

PPLN Seoul, yang hanya beranggotakan tidak sampai 10 orang itu, harus mengurus 26.000an daftar pemilih tetap dari total 35.000an warga negara Indonesia di Korea Selatan. Sebagian besar dari WNI itu belum mahir menggunakan internet untuk keperluan pendaftaran pemilih sehingga data mereka harus diisi secara manual oleh petugas PPLN yang rentan kesalahan manusiawi.

Akibatnya, angka partisipasi pemilihan umum luar negeri di Korea Selatan sangat rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Menurut Forum Masyarakat Peduli Pemilu Korea Selatan, angka partisipasi pada Pemilu 2014 lalu masih di bawah 10 persen, sedangkan  di negara-negara lain, rata-rata mencapai 30 persen.

"Dari tahun lalu kami sudah melakukan sosialisasi, dan melakukan semua prosedur yang sudah digariskan oleh Komisi Pemilihan Umum pusat," kata Ulin, sambil menceritakan bahwa pihaknya sudah menggunakan metode TPS keliling untuk mencapai daerah-daerah terpencil seperti Wando-gun.

Namun, rendahnya angka partisipasi pemilu di luar negeri memang mencerminkan perlunya terobosan kebijakan penyelenggaraan. Apalagi mengingat antusiasme para buruh migran dalam mengikuti pemilu seperti yang terpantau Antara di KBRI Seoul, Minggu.

Dodik dan enam kawannya misalnya. Dodik harus menempuh perjalanan selama satu setengah jam untuk menyerahkan surat suara yang sampai lewat pos di kontrakannya di pinggiran Seoul beberapa hari sebelumnya. Padahal ia bisa saja mengirimkan kembali surat tersebut lewat pos.

"Khawatir tidak sampai," kata Dodik.

Contoh lain adalah Christianus Ho, salah satu dari sedikit tenaga terdidik asal Indonesia di Korea Selatan yang bekerja di anak perusahaan Hana Bank. Ia mengaku harus berkali-kali menelepon petugas PPLN untuk memindahkan tempat pemungutan suara yang semula berada di Daegu -- sekitar lima jam dari tempat tinggalnya di Incheon -- menjadi Seoul.

Sementara itu antusiasme yang sama juga terlihat di Gwangju -- sekitar 268 km sebelah selatan Seoul -- yang umumnya memilih metode pos karena tidak ada TPS. Andini Imaniar, seorang ibu rumah tangga yang ikut ke Korea Selatan setelah suaminya memperoleh beasiswa di Chonnam National University, mengatakan bahwa ia punya banyak waktu untuk mengetahui rekam jejak para kandidat wakil rakyat dengan menggunakan metode pos.

Orang-orang ini tidak apati terhadap nasib negara asal yang terletak ribuan kilometer jauhnya. Mereka berupaya sendirian mempertahankan hak suara, meski sebagian harus terbungkam. Mereka bukan "pengecut" yang "sakit mental". Mereka pahlawan devisa tanpa suara.