Aktivis: Jangan diekspos berlebihan AD

id #JusticeForAudrey,pegiat perlindungan anak dan perempuan, Yayasan Gasira Maluku,Lies Marantika,kasus AU

Aktivis: Jangan diekspos berlebihan AD

Empat dari 12 siswi SMU yang diduga menjadi pelaku dan saksi dalam kasus penganiayaan siswi SMP berinisial AU (14) berdiskusi di sela jumpa pers yang digelar di Mapolresta Pontianak, Kalimantan Barat, Rabu (10/4/2019). Sebanyak 12 siswi SMU menjalani pemeriksaan kepolisian terkait dugaan penganiayaan yang terjadi di dua tempat berbeda yaitu halaman parkir di Jalan Sulawesi dan Taman Akcaya di Kota Pontianak pada Jumat (29/3/2019). ANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang/foc.

Ambon (ANTARA) - Pegiat perlindungan anak dan perempuan yang juga mantan Komisioner Komnas Perempuan periode 1998-2006, Lies Marantika menegaskan kasus dugaan penganiayaan remaja perempuan di Kalimantan Barat, AD, hendaknya tidak diekspos (dibeberkan) berlebihan, dan justru harus dilindungi.

"Dia masih berusia anak, jangan diekspos berlebihan agar korban juga terlindungi hak-hak privasinya, karena selain kekerasan fisik, dia juga mengalami kekerasan seksual," katanya di Ambon, Provinsi Maluku, Rabu.

AU adalah siswi SMP korban kasus dugaan penganiayaan oleh 12 siswi SMA di Pontianak, Kalimantan Barat.

Lies Marantika, yang juga Direktur Yayasan Gasira Maluku, sebuah Lembaga Pengada Layanan, yang menyediakan "Rumah Aman" bagi perempuan dan anak korban kekerasan menyatakan,  sebagai korban kekerasan yang masih berstatus anak, AU harus dilindungi dan tidak dipublikasi berlebihan, seperti tidak mengekspos profil, wajah dan keluarganya kepada publik.

Sebaliknya dalam penyelesaian kasus AU, kata dia, yang harus diperhatikan adalah korban mendapatkan keadilan secara hukum. 

Selain itu, juga bantuan pendampingan dan pemulihan, baik dari sisi kesehatan fisik maupun mental agar tidak mengalami stres dan trauma. 

Hal tersebut, kata dia, dimaksudkan agar AD bisa kembali ke lingkungannya dan hidup normal seperti sebelumnya.

"Ini harus menjadi perhatian semua pihak yang mendukung AD. Sekarang ini kasusnya memang sedang hangat-hangatnya, tapi bagaimana selanjutnya, apakah dia bisa kembali hidup normal tanpa terbebani dengan masa lalu," katanya.

Dikatakannya, kasus AD harus ditangani secara serius oleh pihak yang berwajib karena melibatkan anak sebagai korban dan pelaku.
 
Kedua pihak, katanya, harus sama-sama mendapatkan pendampingan.

Berbeda dengan korban, menurut dia, para pelaku kasus penganiayaan AD harus mendapatkan pendampingan untuk pembinaan mental dan karakter.

Saat ini, kata Lies, kelompok jaringan Lembaga Pengada Layanan Perlindungan Perempuan dan Anak korban kekerasan sedang berupaya agar AU mendapatkan bantuan dan pendampingan dari Lembaga Bantuan Hukum - Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH-APIK).

"Saya melihat kasus AU sebagai 'gang raped', bisa dikategorikan sebagai kejahatan terencana karena dilakukan secara berkelompok. Teman-teman di jaringan Lembaga Penyedia Layanan sedang berupaya agar AU bisa mendapatkan pendampingan dari LBH-APIK," katanya.

AU adalah siswi SMP di Pontianak, Kalimantan Barat.  Ia menjadi korban penganiayaan dalam bentuk pengeroyokan oleh sekelompok siswi SMA. 

Dalam peristiwa itu, selain mengalami kekerasan fisik, ia juga dilaporkan mendapatkan kekerasan seksual.

Kasus Audrey menjadi viral dan memunculkan tagar #JusticeForAudrey setelah seorang "warga net" memuat kasus tersebut di media sosial. 

Seorang "warga net" lainnya kemudian membuat petisi dalam jaringan (online) agar AD mendapatkan keadilan hukum.