Petani sawit bantah dikriminalisasi perusahaan

id petani sawit,berita sumsel, berita palembang, antara sumsel, antara palembang, antara hari ini, palembang hari ini, jembatan ampera

Petani sawit bantah dikriminalisasi perusahaan

Ilustrasi. (ANTARA)

Palu (ANTARA News Sumsel) - Para Petani sawit di Kecamatan Rio Pakava, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, membantah informasi yang beredar di media yang menuduh PT. Mamuang, anak perusahaan Astra Agro Lestasi Group, telah mengkriminalisasi salah satu petani sawit atas nama Frans.

"Kalau dibilang mengkriminalisasi petani, sama sekali itu tidak benar. Kami sendiri di sini tidak tahu kalau Frans itu petani sawit. Mayoritas warga di sini bertani sawit dan sawit yang kami panen langsung dibeli oleh PT. Mamuang," kata Kepala Desa Polando Jaya I Ketut Mustika saat bersilaturahmi dengan sejumlah jurnalis di salah satu rumah petani sawit di Desa Polando Jaya, Rabu (20/2) petang.

Sebanyak 80 persen warga yang tersebar di 14 desa di Kecamatan Rio Pakava memggantungkan hidup dengan bertani sawit dan sawit yang mereka panen kemudian dijual kepada sejumlah pabrik minyak sawit yang beroperasi di sana, terutama kepada PT. Mamuang.

Ketut sangat menyayangkan informasi tidak benar tersebut langsung disebarluaskan oleh Frans dan pihak keluarga serta beberapa oknum yang mengaku dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) tanpa membuktikan langsung kebenaran informasi tersebut dengan turun langsung ke lapangan.

"Jangan terima informasi hanya sepihak. Langsung turun kemari, buktikan sendiri benar atau tidak. Tanyakan langsung kepada warga di 14 desa di Kecamatan Rio Pakava yang hampir semuanya petani sawit, apa benar PT. Mamuang mengkriminalisasi petani sawit atau tidak. Kenyataannyakan tidak," ucap Ketut.

Warga yang juga petani sawit di Desa Polando Jaya I Ketut Putra Widarsa mengaku heran dengan tersebarluasnya informasi keriminalisasi tersebut.

Sebab sejak 1997 saat perusahaan sawit tersebut mulai mengelola sekitar 8.000 hektar lahan negara di Kabupaten Pasangkayu, Provinsi Sulbar dan Kabupaten Donggala, Sulteng, melalui Hak Guna Usaha (HGU), tidak pernah terjadi pertikaian antara warga dengan pihak perusahaan.

"Nanti sekarang saat buah sawitnya sudah berbuah baru ada pihak-pihak dan oknum-oknum yang mengaku-ngaku bahwa tanah HGU yang dikelola PT. Mamuang adalah tanahnya. Kenapa dulu tidak dipersoalkan? kenapa nanti sekarang baru dipermasalahkan? Apa karena buah sawitnya sudah berbuah?," kata Widarsa dengan nada heran.

Ia meminta publik agar objektif melihat dan menyikapi polemik yang terjadi mengingat hampir semua warga di Kecamatan Rio Pakava menggantungkan hidup dengan bertani sawit dan sampai sekarang tidak ada seorang pun warga di 14 desa mengalami kriminalisasi sebagaimana informasi tidak benar yang beredar di media sosial akhir-akhir ini.

Kepala Desa Polanto Jaya Andi Mangkona mengatakan hampir semua petani sawit di Kecamatan Rio Pakava tergabung dalam kelompok tani binaan PT. Mamuang dan beberapa perusaan sawit Astra Agro Grup yang mengelola lahan HGU di sana.

Petani yang tergabung di dalam kelompok petani sawit lanjut Mangkona merasa terbantu dengan kelompok tani yang ada sebab informasi mengenai dunia persawitan diperoleh para petani dari 11 kelompok tani yang tersebumar di 14 desa.

Di dalam kelompok tani juga para petani dibekali mengenai tips dan cara agar meningkatkan kualitas sawit yang dimiliki serta menjaga agar sawit tidak mudah diserang hama yang dapat mengganggu kuantitas produkis sawit milik petani.

"Hubungan kami para petani sawit dengan PT. Mamuang dengab perusahaan sawit lainnya itu baik-baik saja. Tidak ada yang namanya pertikaian apalagi kriminalisasi. Silahkan datang dan cek sendiri di sini," aku Mangkona. Siap adu data Community Development Officer (CDO) PT. Mamuang Teguh Ali mengatakan siap beradu data terkait lahan sawit yang diklaim milik Frans yang kemudian menyebabkan Frans dilaporkan oleh pihak PT. Mamuang dan saat ini telah mendekam di balik jeruji besi Polres Mamuju Utara.

"Kami punya HGU (Hak Guna Usaha) atas lahan tersebut yang dulunya hanya genangan air yang terbit 1997. Saat kami tanya alas haknya, dia hanya memperlihatkan foto kopi surat penyerahan tanah tahun 2017," katanya.

Sementara, kata Teguh, berdasarkan peraturan bahwa alas hak dapat berupa sertifikat, HGU, HGB (Hak Guna Bangunan), SKPT (Surat Keterangan Pemilikan Tanah) dan sejenisnya. Dalam peraturan tidak ada yang namanya surat penyerahan tanah bisa dijadikan alas hak atas kepemilikan tanah.

Teguh juga mempersilahkan wartawan untuk turun langsung ke lokasi tersebut dan meminta keterangan warga maupun petani sawit di sekitar perusahaan untuk memastikan kebenaran pengakuan Frans dan manajemen PT. Mamuang.

Ia menjelaskan bahwa Frans dilaporkan oleh PT. Mamuang akibat kedapatan memanen sawit di lahan HGU PT. Mamuang Afdeling Charlie Blok 26 (OC 26) yang berlokasi di Desa Martasari, Kecamatan Pedongga, Kabupaten Pasangkayu, Sulbar.

"Kami telah berupaya berbicara baik-baik dengan pihak Frans membahas kemungkinan bermitra agar Frans bisa seperti warga di sekitar PT. Mamuang yang sudah merasakan dampak positif kehadiran kami," katanya.