Pengamat: Rendahnya upah petani jadi tantangan Presiden selanjutnya

id petani,upah petani,capres,pengamat politik,debat capres,berita sumsel, berita palembang, antara sumsel, antara palembang, antara hari ini, palembang h

Pengamat: Rendahnya upah petani jadi tantangan Presiden selanjutnya

ARsip- Sejumlah petani mencabut benih padi untuk ditanam di di sawah. (ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman)

Jakarta (ANTARA News Sumsel) - Ketua Dewan Penasehat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bayu Krisnamurthi menilai rendahnya upah petani dibandingkan upah buruh masih menjadi pekerjaan rumah yang belum selesai dan menjadi tantangan bagi Presiden selanjutnya.

Bayu yang pernah menjabat sebagai Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), itu menyebutkan berdasarkan data BPS, upah nominal harian buruh tani hanya sebesar Rp52.828 (Oktober 2018), sedangkan buruh bangunan sebesar Rp86.717 di periode yang sama.

"Upah petani belum banyak bergerak membaik dibanding upah buruh perkotaan. Ini menjadi indikasi yang kita hadapi bahwa kondisi ke depannya, bertani menjadi tidak menarik," katanya saat ditemui di Menara Kadin, Jakarta, Kamis.

Ia memaparkan bahwa karena urbanisasi, sekitar 53 persen penduduk hidup di kota dan diprediksi akan menjadi 70 persen dalam 15-20 tahun ke depan. Selain itu, konsumsi dalam bentuk pangan olahan/kemasan sebesar 40 persen dan tumbuh 11 persen.

Dengan kondisi seperti itu, dikhawatirkan petani menjadi tidak tertarik lagi mempertahankan produksinya, dan berpindah ke kota untuk pendapatan yang lebih besar.

Selain menyoal kesejahteraan petani, impor pangan juga menjadi kritik yang akan disinggung pada debat calon presiden (capres) putaran kedua pada Minggu (17/2) mendatang.

Menurut dia, saat ini impor bukanlah menjadi hal yang harus ditakutkan selama tidak mengganggu kesejahteraan petani. Kenyataannya, ada 21 komoditas sub-sektor tanaman pangan yang harus diimpor demi kebutuhan dalam negeri. Volumenya pun mengalami peningkatan dari 18,2 juta ton pada 2014 menjadi 22 juta ton pada 2018.

Oleh karena itu, ia menilai kebijakan impor jika dilihat dalam konteks ketahanan pangan, yakni keterjangkauan dan ketersediaan, tidak dapat dihindarkan.

"Kita tidak lagi di zaman yang menjadi impor fobia, takut sama impor. Saya malah khawatir kalau ada yang terlalu bersemangat menjanjikan anti impor. Artinya itu tidak realistiS," katanya.