Pers dan kepedulian pemberitaan isu perempuan

id hpn,hari pers nasional,atas s depari,pwi,jurnalis,perempuan,viral

Pers dan kepedulian pemberitaan isu perempuan

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi (kedua kiri) bersama Ketua Umum PWI Pusat Atal Sembiring Depari (kanan), Direktur Utama BNI Achmad Baiquni (ketiga kanan), dan Direktur Hubungan Kelembagaan BRI Sis Apik Wijayanto (kanan) saling menyapa sebelum penandatangan nota kesepahaman (MoU) pada puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN), di Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (9/2/2019). (ANTARA FOTO/Zabur Karuru)

Pontianak (ANTARA News Sumsel) - Kapan pun Hari Pers diperingati, jurnalis perempuan harus selalu memberi perhatian serius terhadap isu perempuan, baik menyangkut ketidakadilan gender maupun kekerasan berbasis gender, termaksud dalam mendukung segera disahkannya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS).

Sabtu, 9 Februari 2019, menjadi hari penting bagi komunitas pers Tanah Air. Karena pada waktu itu, sebagian kalangan media, terutama yang menjadi bagian dari organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) memperingati Hari Pers bersamaan dengan tanggal berdirinya organisasi tersebut pada 9 Februari 1946, di Surakarta.

Sementara organisasi pers lain, meski secara terbuka menolak penetapan Hari Pers Nasional pada 9 Februari, tentu ingin pula menjadi bagian dari peringatan tersebut. Tentunya dengan tanggal berbeda berdasarkan kesepakatan bersama.

Tetapi, kapan pun Hari Pers itu diperingati, ada banyak persoalan atau isu sensitif yang mesti menjadi perhatian media, satu di antaranya menjadi bagian dari pihak (komunitas) yang peduli terhadap kelompok perempuan.

Mengapa perempuan? Karena pada kelompok inilah banyak persoalan yang dialami yang selalu menjadi "bumbu sedap" dalam terbitan media-media di mana pun. Kita sebut saja beberapa di antaranya terkait ketidakadilan gender dan kekerasan seksual.

Media atau pers sering kali memberitakan kasus-kasus yang dialami perempuan, termasuklah di Indonesia. Misalnya saja, ada perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pembunuhan, poligami, kekerasan seksual, dan perceraian. Dalam pemberitaan media, perempuan juga selalu ditempatkan sebagai objek dan bukan menjadi subjek.

Karena itu, Hari Pers Nasional bisa menjadi milik bersama kalangan pers di Indonesia. Termasuk pekerja media di Kalimantan Barat yang terdiri atas wartawan atau jurnalis perempuan. Jurnalis perempuan di Pontianak, mengajak jurnalis lainnya menjadikannya sebagai momentum mendukung pemberitaan media yang peduli terhadap perempuan.

Harapan itu bukan tanpa alasan. Karena siapa lagi kalau bukan media yang lebih banyak berperan mendukung kepedulian itu.

Kepedulian itu pula yang telah menjadi bagian dari komitmen Jurnalis Perempuan Khatulistiwa (JPK) di Kota Pontianak. Organisasi ini sendiri, jelas independen. Berdiri sendiri dan tak ada kaitan dengan PWI, ataupun organisasi pers lainnya. Organisasi ini terbentuk pada 12 Desember 2012. Berisi para jurnalis perempuan baik cetak, elektronik, maupun dalam jaringan atau online.

Dalam organisasi ini juga ada anggotanya yang juga anggota PWI dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Organisasi ini terbentuk karena keprihatinan para perintisnya mengingat banyaknya kasus yang dialami perempuan dan terpublikasi di media secara luas, lebih kepada kasus kekerasan dan ketidakadilan gender dalam aspek ekonomi, sosial, politik, dan hukum. Dan kaum perempuan di pemberitaan media-media, adalah sebagai objek (korban atau pihak yang bermasalah).

JPK sendiri tak memperingati secara khusus Hari Pers Nasional (HPN) pada 9 Februari, begitu pula dengan Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada 8 Maret setiap tahunnya.

Namun, sebagai organisasi yang dibentuk dan beranggotakan jurnalis yang juga para perempuan, keberadaan dua hari tersebut juga menjadi bagian dari perhatian JPK, setidaknya ikut berpartisipasi.

Bentuk partisipasi itu, yakni dengan komitmen untuk terus peduli terhadap pemberitaan media mengenai isu-isu perempuan. Menyebarkan pemberitaan positif untuk perempuan.

"Karena pada sesungguhnya, kapan pun hari pers-nya. Jurnalis perempuan harus 'concern' terhadap isu-isu perempuan," kata Ketua JPK Aseanty Widaningsih Pahlevi terkait peringatan HPN 2019.

JPK terdiri atas para perempuan yang menggeluti dunia pers. Sesuai fungsinya seperti tertuang dalam Undang-Undang No. 33 Tahun 1999 tentang Pers, memiliki fungsi-fungsi selain sebagai media informasi, media pendidikan, media hiburan, juga memiliki fungsi kontrol sosial. Maka fungsi-fungsi itulah yang kini dijalani para jurnalis Indonesia, termasuk anggota JPK.

Menurut Aseanty yang juga jurnalis Tempo, jurnalis umumnya dan jurnalis perempuan khususnya hendaknya memiliki kepedulian terhadap pemberitaan mengenai isu perempuan.

Ia menyatakan dukungan atau kepedulian, misalnya untuk segera disahkannya RUU P-KS yang kini marak disuarakan para aktivis. Jurnalis hendaknya dapat mendukung upaya mendorong pengesahan undang-undang tersebut.

Ia mengingatkan kini angka kejahatan seksual dengan para korbannya perempuan-perempuan, semakin meningkat.

"Belum lagi saat ini ada kekerasan berbasis gender di media `online`," katanya.

Kekerasan berbasis gender, tak lain adalah kekerasan yang ditujukan kepada perempuan karena dia perempuan.

Dia menyitir kekhawatiran Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) terhadap eskalasi politik yang tinggi seperti saat ini. RUU P-KS menjadi "bola panas" dan mudah dipermainkan.

"Maka pers harus jadi pengawal serta mendudukkan informasi mengenai RUU P-KS pada tempatnya. Lantaran situasi politik saat ini sangat memengaruhi kecenderungan masyarakat untuk menyimpulkan substansi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan lebih mudah untuk dihasut. Salah satunya adanya pihak yang menolak RUU P-KS disahkan," kata dia.

Leavy, begitu dia disapa, menyatakan pers harus bisa menjelaskan urgensi dari disahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual kepada masyarakat.

"Banyak hambatan yang dialami korban kekerasan seksual, terutama perempuan dan anak dalam mengakses pemulihan dan keadilan, merupakan salah satunya," katanya.

Selain itu, ketiadaan perlindungan hukum pun menyebabkan para korban kekerasan seksual dan keluarganya mengalami penderitaan.

Saat ini hukum yang berlaku hanya menempatkan kasus kekerasan seksual sebagai kasus kesusilaan, bukan kejahatan.

Dalam mendukung disahkannya RUU P-KS itu pula, Jurnalis Perempuan Khatulistiwa ikut dalam 16 Hari Kampanye Antikekerasan terhadap Perempuan 2018, sejak 26 November hingga 10 Desember 2018 yang digagas sejumlah organisasi di Tanah Air, melalui pemutaran film "Marlina Pembunuh Dalam Empat Babak".

Wakil Bupati Sambas Hairiah menyatakan terkait dengan HPN 2019, agar pers Indonesia semakin maju dan independensi tetap terjaga.

Dalam pemuatan berita tetap menjunjung prinsip perlindungan terhadap saksi korban dan kepada pelaku memberlakukan asas praduga tak bersalah.

Dia mengatakan pers dapat menjadi bagian terdepan dalam tulisan untuk pendidikan kepada masyarakat, untuk tetap waspada atas kejahatan yang mungkin dan potensi timbul di lingkungannya.

Pers juga dapat menjadi petunjuk untuk pengembangan penanganan kasus yang masih kabur.

"Sehingga tulisan di media dapat mengungkap fakta-fakta baru dan membantu aparat penegak hukum," katanya.

Hairiah menambahkan pers dengan tulisannya menjadi alat kontrol yang diperlukan oleh masyarakat.

Pers atau media hendaknya mampu menyampaikan berita yang imbang dan bukan menjadi "alat" kekuasaan yang dijadikan acuan untuk berita yang tersampaikan masyarakat.

"Tentu harapannya juga dapat menjadi bagian dari pencegahan hoaks (berita bohong)," kata Hairiah yang juga mantan anggota DPD RI tersebut.

Ia mengingatkan pers harus menjunjung tinggi prinsip yang ada, "Kebebasan yang bertanggung jawab" dan menjadi penangkal hoaks yang kini beredar luas di tengah masyarakat.

"Jika pers ikut bermain dalam pemberitaan hoaks, maka masyarakat pun tak tahu lagi mana yang harus dipercaya," katanya.

Pada tiga hari menjelang HPN 2019, tepatnya 6 Februari, Komnas Perempuan menyatakan adanya penyebaran hoaks melalui pesan-pesan secara sistematis dan meluas bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menyarankan perzinahan atau seks bebas, dan pesan-pesan negatif lainnya yang membuat kesalahpahaman masyarakat terhadap substansi dari RUU tersebut.

Pesan-pesan negatif itu mengakibatkan pro-kontra di masyarakat dan menjadi tidak berakhir dan tidak berujung pada penyelesaian.

Menurut Komnas Perempuan, pesan-pesan tersebut beredar tanpa adanya konfirmasi, dialog, dan pembahasan yang sehat sehingga situasi menjadi tidak kondusif terkait perjuangan pengesahan RUU P-KS.

Dalam siaran persnya yang diterima Antara, Komnas Perempuan menyatakan prinsip kerja lembaga tersebut adalah membangun situasi yang kondusif bagi perempuan Indonesia dari kekerasan berbasis gender.

Penyusunan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dilatarbelakangi hambatan yang dialami korban kekerasan seksual, terutama perempuan dan anak, dalam mengakses pemulihan dan keadilan.

Menurut Komnas Perempuan, akibat tidak adanya perlindungan hukum, para korban kekerasan seksual dan keluarganya mengalami penderitaan terus menerus.

Hukum yang berlaku hanya menempatkan kasus kekerasan seksual sebagai kasus kesusilaan, bukan sebagai kasus kejahatan.

Dalam catatan Komnas Perempuan sepanjang 2013-2017, terdapat laporan 28.019 kasus kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan dan anak-anak, baik terjadi di ranah pribadi atau personal maupun komunitas (publik).

Di antaranya 15.068 kasus kekerasan seksual yang terjadi di dalam rumah tangga (relasi personal) dan terdapat 12.951 kasus kekerasan seksual terjadi di ranah komunitas (publik).

Dampak yang dialami korban kekerasan seksual, di antaranya kehamilan yang tak dikehendaki hingga lahirnya anak.

Selain itu, korban terus bertambah di antaranya mengalami stres, depresi hingga gangguan jiwa dan percobaan bunuh diri.

Sementara partisipasi masyarakat sangat rendah dalam mencegah dan menangani korban kekerasan seksual.

Oleh karena itu, perlu difasilitasi melalui regulasi sehingga mereka dapat optimal dalam memberikan dukungan penuh untuk menikmati hak-hak korban sebagai manusia dan warga negara.

Komnas Perempuan menjelaskan lembaga ini bersama Forum Pengada Layanan sejak 2015 telah menyusun draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan draf tersebut sudah diserahkan ke pimpinan DPR RI pada 2016.

Badan Legislasi DPR RI telah membahas draf tersebut dan melakukan beberapa perbaikan. Melalui Sidang Paripurna DPR RI, RUU itu disetujui sebagai RUU inisiatif DPR RI dan menunjuk Komisi 8 untuk memimpin pembahasan. Pada tahap ini draf RUU P-KS sudah menjadi Naskah RUU P-KS yang akan dibahas oleh DPR RI bersama pemerintah.

Kemudian DPR RI sudah mengirimkan naskah RUU kepada pemerintah dan Presiden sudah menunjuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) sebagai "leading sector" (pemimpin) pembahasan.

Pemerintah sudah menyampaikan DIM (Daftar Inventaris Masalah) terkait dengan RUU tersebut kepada Komisi 8 DPR. Komnas Perempuan juga telah menyampaikan DIM (Daftar Inventaris Masalah) kepada Pimpinan Panitia Kerja (Panja) RUU P-KS di Komisi 8 DPR.

Hingga saat ini, belum ada satu pun regulasi di Indonesia yang secara spesifik memberikan jaminan perlindungan atas kasus kekerasan seksual.

Oleh karenanya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual merespons darurat kekerasan seksual dan memperbaiki penanganannya yang lebih manusiawi dan bermartabat, demikian Komnas Perempuan.

Karena itu, kapan pun Hari Pers diperingati, mari bersama-sama peduli terhadap pemberitaan isu-isu perempuan di Tanah Air. Menjadikan perempuan terbebas dari kekerasan berbasis gender dan menempatkannya sebagai subjek berita yang positif. Semoga. 

Selamat Hari Pers Nasional, 9 Februari 2019.