Jurnalis: Literasi bencana di Indonesia masih buruk

id Ahmad Arif,berita sumsel,berita palembang,antara sumsel,antara palembang,antaa sumsel,bencana alam

Jurnalis: Literasi bencana di Indonesia masih buruk

Arsip- Sebuah mobil terhempas di antara reruntuhan rumah akibat gempa dan tsunami. (ANTARA FOTO/Darwin Fatir)

Banda Aceh (ANTARA News Sumsel) - Kemampuan untuk memahahi, menganalisis dan mendekonstruksikan bencana gempa dan tsunami di Indonesia masih sangat buruk, kata jurnalis spesialis bencana Ahmad Arif.

Indonesia tingkat literasinya sangat buruk jika dibandingkan dengan negara lain, kata Ahmad Arif di Banda Aceh, Kamis (27/12).

Pernyatakan ini disampaikannya pada diskusi Membangun Gerakan Literasi Kebencanaan di Aceh yang berlangsung di Kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh.

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh World s Most Literate Nations tahun 2006, Indonesia berada di peringkat ke 60 dari 61 negara yang diteliti.

Penulis buku `Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme juga mengatakan, Indonesia tingkat literasinya masih sangat buruk ketimbang Negara lain. Literasi tidak hanya sekadar membaca, tapi bagaimana memahami tentang pendidikan kebencanaan itu sendiri.

"Berita bohong (Hoaks) sangat cepat menyebar di Indonesia dan literasi itu tidak hanya membaca, namun memahimi bencana itu sendiri, ujar jurnalis spesialis bencana itu.

Menurut Arif, para ahli geologi dan arkelogi telah menemukan jejak tsunami di Aceh. Ini membuktikan tsunami telah beberapa kali menerjang provinsi ujung barat Indonesia itu.

Terputusnya literasi kata Arif, telah menimbulkan ketidaktahuan masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke ketika gempa besar disusul gelombang tsunami.

Ia mencontohkan, seperti kampung runtuh di Kelurahan Talise, Palu Timur, Sulawesi Tengah. Tsunami yang menerjang pesisir Palu pada 28 September 2018 ternyata jauh sebelumnya juga pernah terjadi di sana.

"Cerita tentang tsunami masa lalu itu pernah saya tulis di Arif 2012 dilam," akui Jurnalis Bencana Harian Kompas itu.

Kala itu, warga Palu menyebut Bombatalu untuk tsunami dan nalodo untuk likuefaksi. Tapi pengalaman tersebut belum mampu menyelamatkan masyarakat disaat tsunami menerjang pesisir Sulteng September 2018.

Padahal di Palu masih banyak saksi hidup yang pernah merasakan tsunami masa lalu. Pengtahuan ini yang tidak dirawat oleh warga, sebut Arif.

Cerita bencana gempa dan tsunami lanjutnya, berbanding terbalik dengan masyarakat Kepulauan Simeulue, Aceh. Warga Simeulue masih menjaga erat kearifan lokal terkait literasi kebencanaan.

Pengetahuan tsunami masih dijaga dan diwariskan secara turun temurun. DI Aceh tsunami disebut Smong. Ketika bencana gempa dan tsunami terjadi di Simeulue masyarakatnya bisa selamat meskipun rumahnya hancur, jelasnya.

Sehingga kita kurang tau mana hoax dan benar. Sehingga ketidaktahuan dan memahami ini menjadi masalah, jelasnya.

Ia menyebutkan, lemahnya literasi di Negara Indonesia membuat banyak orang tidak mengetahui kalau Indonesia rawan terhadap gempa dan tsunami.

Gempa bumi berkekuatan 9,2 skala richter (SR) pada pukul 07:00 WIB Minggu 26 Desember 2004 disusul dengan bencana tsunami telah meluluhlantakkan 'Bumi Serambi Mekkah'.

Musibah yang menerjang provinsi paling barat Sumatera tersebut telah merenggut nyawa manusia lebih 200 ribu orang dan mereka dimakamkan secara massal di dua lokasi yakni, Ulee-lheue Banda Aceh dan di Gampong (desa) Siron, Aceh Besar.

Pemateri lainnya, Warga Negara Jepang, Megumi Sugimo menyampaikan, pemahanan atau sosialiasi bencana di Indonesia masih sangat kurangnya dan menyebabkan banyaknya korban saat bencana itu datang.

Kalau di Jepang banyak channel untuk menginformasikan tsunami seperti televisi, radio, dan telepon. Informasi yang saya pereloh di sosialisasi bencana di Indonesia masih kurang, ujar Warga Jepang.