Sampai kapan korupsi akan merajalela?

id korupsi,kpk,pemberantasan korupsi

Sampai kapan korupsi akan merajalela?

Tersangka kasus dugaan suap penyediaan sarana penunjang peningkatan mutu pendidikan di Kabupaten Malang Rendra Kresna (kiri) memasuki Gedung KPK untuk menjalani pemeriksaan di Jakarta, Senin (10/12/2018). Bupati nonaktif Malang itu diduga menerima suap terkait penyediaan sarana, terutama proyek pengadaan buku dan alat peraga pendidikan di Dinas Pendidikan Kabupaten Malang Tahun Anggaran 2011 sebesar Rp3,45 miliar. (ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/EM)

Malang (ANTARA News Sumsel) - Pada 2018, kejutan besar mencuat dari Kota Malang. Bagaimana tidak, sebanyak 41 orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Malang, diciduk oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan tindak pidana suap dan gratifikasi.

Wilayah Malang Raya yang merupakan gabungan dari Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Kota Batu, tidak lepas dari incaran KPK. Pada 2017-2018, tiga wilayah tersebut mendapatkan kado istimewa yang tidak bisa dilupakan masyarakat Malang Raya. Kado pertama, dimulai dari Kota Batu, Jawa Timur.

Pada 2017, penyidik KPK menjerat Wali Kota Batu Eddy Rumpoko dalam operasi tangkap tangan pada September. Dalam kasus tersebut, Eddy Rumpoko diduga menerima suap senilai Rp500 juta terkait proyek belanja modal dan mesin pengadaan meubelair di Pemerintah Kota Batu, tahun anggaran 2017 senilai Rp5,26 miliar.

KPK menetapkan dua orang tersangka lain dalam kasus tersebut, yakni Kepala Bagian Unit Layanan Pengadaan Pemerintah Kota Batu, Edi Setyawan, dan Filipus Djap yang merupakan Direktur PT Dailbana Prima.

Bergerak dari Kota Batu, KPK kemudian menyisir wilayah Kota Malang, hasilnya, secara keseluruhan pada 2018, sebanyak 41 orang anggota DPRD Kota Malang, ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK.

Dari total jumlah tersangka tersebut, sebanyak 22 anggota DPRD Kota Malang ditetapkan menjadi tersangka, pada Agustus 2018, dimana sebelumnya, pada tahap pertama ditetapkan dua orang tersangka, dan menyusul 18 tersangka pada tahap kedua.

Dalam kasus tersebut, KPK juga menetapkan Wali Kota Malang periode 2013-2018 M. Anton sebagai tersangka.

Diciduknya puluhan anggota DPRD Kota Malang termasuk Wali Kota Malang saat itu, sempat menghentikan jalannya Pemerintahan Kota Malang. Hadiah rompi oranye dari KPK terhadap 41 orang, praktis hanya menyisakan lima orang anggota DPRD aktif, yang tidak bisa mengambil keputusan.

Politisi dari berbagai partai politik tersebut, diduga menerima total uang sebanyak Rp700 juta untuk dugaan kasus suap, dan sebanyak Rp5,8 miliar untuk dugaan gratifikasi. Jika dilihat dari nominalnya, jumlah yang diterima oleh masing-masing anggota dewan tersebut tidak seberapa.

Padahal, fungsi DPRD kabupaten kota secara khusus memiliki fungsi pengawasan, anggaran, dan legislasi. Fungsi tersebut sangat strategis, sebagai instrumen pemeriksaan dan keseimbangan terhadap kinerja pemerintah daerah. Namun, apa jadinya jika lembaga yang diberi kewenangan untuk mengawasi, memilih untuk menutup mata.

Bisa saja kasus yang sudah disidangkan tersebut merupakan puncak gunung es, untuk membuka kasus-kasus lain yang merugikan negara dengan jumlah yang lebih besar.

Beberapa fakta yang terungkap dalam persidangan, antara lain adalah bahwa sebelum Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (P-APBD) 2015, telah diduga terjadi suap untuk penetapan APBD murni 2015. Kemudian, munculnya istilah uang sampah yang juga digunakan sebagai kode pembangunan Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Selain itu, juga terungkap suap anggaran tersebut, juga terkait dengan adanya sejumlah proyek yang mangkrak di Kota Malang, dan terdapat beberapa oknum yang hingga saat ini belum diproses lebih lanjut oleh KPK.

Pada Oktober 2018, untuk melengkapi wilayah Malang Raya, KPK melakukan penggeledahan di Pendopo Pemerintah Kabupaten Malang, Jalan Agus Salim Kota Malang, yang merupakan kantor Bupati Malang Rendra Kresna.

Penggeledahan tersebut diduga terkait dengan proyek yang menggunakan Dana Alokasi Khusus (DAK) tahun 2011 dan 2015. Tercatat, besaran alokasi DAK pada 2011 sebesar Rp108,4 miliar, sementara pada 2015 sebesar Rp153,3 miliar. Proyek tersebut juga melibatkan Dinas Pendidikan Kabupaten Malang.

Tersangka Rendra Kresna diduga menerima suap dari tersangka Ali Murtopo (AM) sekitar Rp3,45 miliar terkait penyediaan sarana penunjang peningkatan mutu pendidikan pada Dinas Pendidikan Pemerintah Kabupaten?Malang Tahun Anggaran 2011.

Selain itu, dalam kasus dugaan penerimaan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugas penyelenggara negara, KPK juga telah mendapatkan bukti permulaan yang cukup.

Sehingga, KPK meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan dengan dua orang sebagai tersangka, yakni RK dan dan Eryk Armando Talla (EAT) dari pihak swasta.

Tersangka Rendra Kresna selaku Bupati Malang dua periode 2010-2015 dan periode 2016-2021 bersama-sama dengan EAT, diduga menerima gratifikasi yang dianggap suap karena berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya sebagai Bupati Malang setidaknya sampai saat ini sekitar Rp3,55 miliar.


Akar Masalah Korupsi

Terciduknya tiga kepala daerah di Malang Raya oleh KPK, bagaikan "hattrick" dalam pertandingan sepak bola, belum lagi ditambah dengan 41 orang tersangka dari anggota DPRD Kota Malang. Namun, yang menjadi pertanyaan besarnya, apa yang menjadi alasan para kepala daerah dan anggota dewan terhormat itu melakukan korupsi?

Spesialis Kerja Sama KPK Nanang Farid menyatakan, berdasarkan dari kajian KPK, untuk memenangkan Pemilihan Kepala daerah (Pilkada), para calon tersebut harus menyiapkan uang senilai Rp15-Rp40 miliar, sementara, gaji kepala daerah itu berkisar Rp5-Rp7 juta per bulan.

"Dalam satu tahun, KPK itu lebih dari 12 kali datang ke Malang Raya, hasilnya apa? `Hattrick`, tiga kepala daerah," kata Nanang.

Sementara itu, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Malang Corruption Watch (MCW) menilai adanya fenomena tindak pidana korupsi tersebut tidak lepas dari mahalnya biaya politik di Indonesia. Sebagai salah satu contoh, saat satu orang calon anggota legislatif harus melewati berbagai tahapan yang membutuhkan biaya sangat tinggi.

Koordinator MCW M. Fahrudin mengatakan, khusus untuk calon anggota legislatif pada saat melakukan kampanye, membutuhkan biaya yang sangat banyak, sehingga saat para calon tersebut terpilih, ada kecenderungan untuk mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan.

"Masalah wakil rakyat yang melakukan korupsi berjamaah di Kota Malang beberapa waktu lalu, salah satunya disebabkan karena biaya dalam pesta demokrasi itu terlalu mahal," kata Fahrudin.

Berdasarkan data dari MCW, mulai 2017-2018, Jawa Timur menjadi satu-satunya provinsi di Indonesia yang memiliki rekor dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi. Ada sebanyak 12 orang kepala daerah, dan lebih dari 41 orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang telah diproses hukum terkait dugaan tindak pidana korupsi.

Menurut MCW, kasus korupsi yang dilakukan oleh 41 orang anggota DPRD Kota Malang tersebut, tidak dapat dilepaskan dari politik transaksional. Biaya politik yang sangat besar dan harus dikeluarkan oleh calon legislatif, untuk mendapatkan rekomendasi dari partai politik, atau yang biasa dikenal dengan mahar politik.

Selain itu, setelah mendapatkan rekomendasi tersebut, seorang calon juga masih harus mengeluarkan biaya dan menghalalkan segala cara untuk memenangkan pertarungan dalam pemilihan legislatif, termasuk dengan melakukan politik uang.

"Saya kira hal itu harus kita putus, kami melakukan komunikasi untuk mendorong revitalisasi partai politik. Hal ini penting untuk kedepannya," kata Fahrudin.

Korupsi harus dilawan, dengan membangun impian bersama dan membangun identitas bersama. Dengan semakin banyaknya orang yang terlibat, maka akan semakin cepat korupsi itu menjadi sejarah dan masyarakat Indonesia bisa melihat masa depan lebih cerah tanpa korupsi.

Pendidikan anti korupsi, harus menjadi ujung tombak dalam agenda pemberantasan korupsi di Indonesia. Langkah tersebut harus didukung para pemangku kepentingan dengan mengambil peranan dari masing-masing satuan pendidikan, mulai dari tingkat paling bawah, hingga untuk pendidikan tinggi.*