Raibnya "lagu lama" dari pendengaran publik

id PKI,lagu lama,G 30 S/PKI,komunisme,pilpres,pemilu

Raibnya "lagu lama" dari pendengaran publik

Ilustrasi- poster film Penumpasan G30S/PKI. (Facebook)

Tak seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini, lagu lama itu seolah raib dari wacana publik.

Lagu lama? Ya. Setiap menjelang penghujung September, selalu ada kalangan yang mengangkat kembali wacana tentang bahaya laten komunisme yang dihadirkan dalam sekumpulan singkatan huruf, angka dan lambang yang sangat ikonik: G30S/PKI.

Dalam tiga tahun belakangan, pemerintahan yang dikomandani Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla selalu direpotkan oleh isu bahaya komunis yang konon selalu mengancam. Peniup isu bahkan pernah melontarkan tuduhan tak tangung-tanggung bahwa Istana menjadi sarang komunis.

Berulangnya kemunculan isu komunis setiap menjelang penghujung September itu bahkan sempat dikomentari oleh kelompok yang tertuduh, sebagai lagu lama.

Memainkan isu PKI pada era ketika komunisme ambruk di mana-mana diibaratkan memutar kembali lagu lama. Untuk tahun ini, lagu lama itu tampaknya raib dari pendengaran publik.

Mengapa peniup isu komunisme itu menghentikan rutinitas tahunan mereka? Bisakah itu dimaknai sebagai bangkitnya kesadaran dari pihak peniup isu bahwa memainkan isu kuno tersebut tak lagi membawa hasil yang diinginkan?

Manuver politik yang dilakukan Presiden Jokowi dalam menghadapi lagu lama yang ditiupkan tiap September tampaknya membawa hasil positif. Ketika Istana dicap sebagai sarang simpatisan komunis, Presiden Jokowi membentuk apa yang dinamakan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.

BPIP membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila, melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan, dan melaksanakan penyusunan standardisasi dan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan.

Selain itu untuk memberikan rekomendasi berdasarkan hasil kajian terhadap kebijakan atau regulasi yang bertentangan dengan Pancasila kepada lembaga tinggi negara, kementerian/lembaga, pemerintahan daerah, organisasi sosial politik, dan komponen masyarakat lainnya.

Manuver kedua yang dilakukan Jokowi untuk mengantisipasi kemungkinan munculnya isu komunisme pada kampanye Pilpres 2019 adalah memilih tokoh ulama Ma`ruf Amin sebagai cawapres.

Raibnya tiupan wacana komunisme dalam momen kampanye pada Pilpres 2019, bagi kepentingan demokrasi, merupakan berkah tersendiri. Kenapa demikian?

Perbincangan ideologi apa pun, termasuk ideologi marxisme - komunisme, tak perlu diwarnai prasangka yang sudah mendarah daging, yang ujung-ujungnya berhenti pada stigma bahwa komunisme adalah ideologi terlarang yang tak sesuai dengan Pancasila.

Bagi kalangan akademisi, prasangka semacam itu jelas tidak sehat. Sosiolog Ariel Heryanto secara telak menganalogikan bahwa larangan membahas komunisme tak ubahnya seperti larangan membahas penyakit bagi mahasiswa kedokteran.

Komunisme, yang dalam sejarah politik di Tanah Air diejahwantahkan dalam parpol terlarang PKI, sama sekali tak memikat bagi kelompok anak muda yang akan mencoblos pada bulan April 2019.

Itu sebabnya, kubu penantang dalam Pilpres 2019 lebih mengedepankan isu ekonomi dan merasa tak ada untungnya untuk mengembus-embuskan wacana komunisme dalam kampanye mereka.

Dari sudut pandang otentisitas status sosial ekonomi kubu penantang maupun kubu petahana, perkara komunisme juga tak menemukan benang merahnya jika dieksploitasi sebagai substansi kampanye.

Dalam bahasa yang sedikit sarkastik, kandidat pasangan capres-cawapres dari kedua kubu adalah sama-sama kelas borjuis yang selayaknya menutup buku perbicangan ihwal komunisme-marxisme yang punya agenda perjuangan kelas.

Akan muncul paradoks tak karuan jika Prabowo Subianto atau Sandiaga Uno sebagai kubu penantang mewacanakan bahaya laten komunisme.

Yang paling logis untuk mengangkat isu komunisme sesungguhnya parpol yang kader-kadernya berasal dari unsur Nahdlatul Ulama, yang punya organisasi kepemudaan yakni Gerakan Pemuda Ansor (GPA).

Dalam pertikaian ideologis berdarah pada tahun 1965, pemuda Ansor banyak terlibat dalam penumpasan anggota atau simpatisan PKI.

Namun, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang punya pertautan ideologis dengan GPA justru menjadi bagian dari kubu petahana.

Partai Golkar, yang genealogi ideologisnya erat berkait dengan Orde Baru yang membangun wacana komunisme sebagai momok ideologis anti-Pancasila, juga menjadi bagian dari koalisi parpol kubu petahana.

Dengan konstelasi politik semacam itu, tampaknya isu komunisme, narasi tentang antek PKI yang ditiupkan lawan-lawan politik Jokowi kepada sang petahana agaknya raib dalam kampanye perebutan kursi kekuasaan pada Pilpres 2019.

Diharapkan, raibnya lagu lama itu bukan sekadar atas pertimbangan konstelasi politik yang terbangun saat ini tapi lebih karena kesadaran dan kecerdasan politikus dan warga negara pada umumnya bahwa bahaya laten Partai Komunis Indonesia sudah jadi isu basi.

Bahaya riil jauh lebih layak dijadikan wacana perpolitikan pada setiap menjelang pilpres. Apa bahaya riil itu? Tak lain dan tak bukan adalah korupsi yang tak henti-hentinya dilakukan oleh kaum elite baik di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif.

Yang menarik adalah menggugat para kontestan di pilpres tentang nihilnya wacana tentang strategi mengatasi korupsi.

Sebetulnya kubu penantang bisa menawarkan narasi kampanye kepada konstituen mereka maupun warga negara pemilih pada umumnya untuk menyatakan janji politik ini: mengatasi korupsi dengan hukuman mati terhadap koruptor.

Dengan demikian, memutar kembali lagu lama, yakni meniupkan kembali isu bahaya laten komunis, kian ditinggalkan dalam memperebutkan suara pemilih dalam Pilpres 2019.