Menilik intervensi media massa dalam olahraga

id asian games,asian games palembang,berita palembang,berita sumsel,jakabaring,jsc palembang,atlet asian games,Jonathan Christie,media massa,media massa

Menilik intervensi media massa dalam olahraga

Suasana di MPC Asian Games 2018 di JCC Jakarta. (30/8/2018) (Antara/Atman Ahdiat)

Menurut Suherman (1998: 71) olahraga lebih dulu dikenal oleh manusia dibandingkan dengan media massa
Jakarta (ANTARA News Sumsel) - Hingar bingar Asian Games 2018 memberi kesan mendalam bagi media massa serta masyarakat Indonesia yang menjadi tuan rumah dalam perhelatan besar tersebut.

Tidak jarang pagelaran Asian Games 2018 yang meriah ini menjadi "headline" atau pemberitaan utama di media massa serta mendapat porsi pemberitaan yang terus-menerus.

Cabang olahraga yang tidak awam diketahui masyarakat bahkan mulai dilirik sebagai olahraga alternatif, misalnya kabaddi, kurash, sambo bahkan "game" elektronik yang juga mampu masuk menjadi cabang olahraga ketangkasan alternatif, berkat terpaan informatif pemberitaan media kepada masyarakat.

Secara umum sajian pertandingan olahraga tidak akan menjadi menarik tanpa kehadiran awak media untuk mencatatkan, menggambarkan bahkan menyajikan audio visual guna disaksikan masyarakat.

Sebab secara khusus media massa dan olahraga memiliki hubungan yang resiprokal atau keduanya saling berpengaruh dan saling bergantung atas kesuksesan secara komersial serta popularitas masing-masing (Coakley, 1994 : 334-335).
Atlet sepatu roda beradu cepat pada nomor 20 km putri Asian Games 2018 di Arena Roller Skate Kompleks Jakabaring Sport City, Palembang, Sumsel. (INASGOC/Ahmad Rizki Prabu/Ang/thv/18)

Bagaimana sejarahnya media massa tertarik dengan isu olahraga? Menurut Suherman (1998: 71) olahraga lebih dulu dikenal oleh manusia dibandingkan dengan media massa.

Sejarah olahraga mencatat bahwa bangsa Yunani dan Romawi yang pertama kali mengembangkan olahraga melalui berbagai inovasi permainan yang hingga kini jenisnya banyak menyebar ke tiap-tiap negara di dunia.

Media massa berkembang kemudian, ketika perkembangan olahraga sudah mulai menemukan komunitas dan penggemarnya di tiap wilayah di dunia. Seiring perkembangan peradaban dan teknologi, informasi mulai dapat menembus ruang dan waktu.

Kemudian kepopularitasan olahraga dan penggemarnya makin terbentuk dari paparan media yang menyoroti keberlangsungan olahraga, sehingga masyarakat mulai terbiasa serta menikmatinya.

Kedua hubungan tersebut mulai tidak dapat dipisahkan, ketika keduanya mulai mendapatkan keuntungan dari masing-masing sajian olahraga yang digemari masyarakat sebagai hiburan.

Di Indonesia, tautan keduanya baru dimulai pada awal abad 20, yaitu pada era pergerakan sosial (Raditya, 2009 : 25). Pada zaman tersebut olahraga belumlah terlalu populer, di mana isu masih didominasi tentang politik, pemerintahan dan peristiwa.

Hingga suatu ketika beberapa surat kabar mulai melirik hasil pertandingan sepak bola, berkuda dan isu seputar kesehatan untuk menjadi berita pelengkap dari tema utama.

Sampai akhirnya muncul tabloid serta surat kabar khusus yang membahas tentang ulasan serba olahraga ketika masyarakat mulai menjadikan berita olahraga sebagai suatu kebutuhan.

Beberapa koran yang terbit pada masa itu, antara lain Pembrita Betawi merupakan satu dari sedikit koran yang mempelopori pemberitaan khusus untuk berita olahraga, walaupun sajiannya masih berupa kolom kecil dengan nama rubrik "Sepakraga" (Sukarmin, 2015 : 4).
Tim Kano/kayak Jepang beradu cepat dengan tim Unified Korea pada babak penyisihan 500 meter putra Asian Games 2018 di danau Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan, Rabu(29/8). (INASGOC/Hendra Syamhari/Ang/nz/18)

Bintang Batavia merupakan surat kabar yang terbit kemudian dan mengikuti jejak pendahulunya dengan memberitakan hasil perlombaan olahraga berkuda.

Setelah itu lahir Pantjaran Warta yang melakukan terobosan besar dengan menyisipkan suplemen olahraga seminggu sekali melalui rubrik olahraga "Kabar Sport" yang menyediakan empat halaman khusus liputan olahraga.

Koran dan mingguan yang terbit menyusul, antara lain Djawa Tengah, Sport (mingguan), Pemandangan, dan Noesantara juga ikut menyisipkan olahraga secara berkala atau rutin dalam setiap edisinya (Sukarmin 2015 : 4).

Intervensi Secara umum, dampak intervensi media massa terhadap olahraga bisa dikategorikan menjadi tiga, yaitu: netral, menguntungkan, dan merugikan (Suherman, 1998: 73-77).

Pertama, kategori netral apabila media massa menyiarkan olahraga secara profesional. Jadi siaran hanya sebatas tujuan komersial. Contohnya ketika tayangan sepakbola di mana hanya disiarkan peristiwa pertama hingga ada hasil akhir, tanpa adanya komentator yang menanggapi pertandingan.

Dalam porsi ini, olahraga mengembangkan popularitasnya atas usaha sendiri, dan menggandeng siaran media hanya untuk hiburan semata, begitu pula sebaliknya, media menganggapnya bukan sebagai sajian utama untuk digali lebih dalam lagi.

Kedua, media massa juga mampu memberikan keuntungan bagi olahraga. UNESCO dikutip oleh Bennett (1983: 241-243) mengusulkan agar media massa mengambil peran dalam meningkatkan pemahaman internasional terhadap nilai-nilai olahraga yang jauh melebihi realitas dunia olahraga yang ada.

Media massa juga dinilai mampu memberikan makna politik olahraga secara internasional.

Siapa yang kenal Lalu Mohammad Zohri sebelumnya? Masyarakat tidak akan penasaran terhadap cabang olahraga atletik nomor lari di Asian Games 2018 jika pemegang gelar juara dunia lari 100 meter di bawah usia 20 tahun tersebut cerita suksesnya tidak dilirik oleh media massa.

Siapakah Jonathan Christie? Masyarakat bahkan mengenalnya dengan nama sapaan akrab Jojo, ia adalah pemenang medali emas tunggal putra di cabang olahraga badminton di Asian Games 2018.

Aksinya membuka baju ketika melaju ke final, bahkan diabadikan oleh media massa baik cetak maupun elektronik, dan langsung menjadi viral di media sosial. Kepopulerannya pada saat itu melebihi pemberitaan mantan Menteri Sosial Idrus Marham yang ditahan KPK karena dugaan korupsi.

Pada porsi ini olahraga mendapat keuntungan dari sorotan media massa, menjadikan seorang atlet mampu menjelma menjadi selebriti, di mana berita olahraga tidak hanya tentang prestasinya, melainkan mulai pada kehidupan pribadinya.

Ketiga, ada pula peran merugikan perkembangan media massa bagi olahraga. Sage (1990: 119) menyatakan bahwa untuk meningkatkan daya tarik bagi penonton dan menyesuaikan dengan kebutuhan siaran, industri televisi diizinkan untuk mengubah struktur dan proses olahraga.

Tayangan olahraga dalam televisi semata-mata diarahkan untuk mendapatkan iklan, demikianlah cara media memanfaatkan olahraga.

Contoh yang pernah terjadi, misalnya Indonesia Open 1994 di Yogyakarta, pemegang hak siar pada saat itu mengatur jam pertandingan suatu turnamen bulutangkis tingkat dunia tersebut, agar sesuai dengan prime time (waktu tayang utama) di negara yang dituju.

Partai utama harus disiarkan tengah malam, karena perbedaan waktu sekitar enam jam dengan negara yang dituju siaran langsung.

Selain hal yang sudah diatur jadwalnya tersebut, partai tertentu juga harus dimainkan di lapangan utama agar dapat disiarkan ke negara tujuan.

Pemimpin pertandingan, atau wasit sekalipun tidak memiliki kewenangan untuk membantah pengaturan tersebut.

Dari contoh tersebut secara jelas, media massa hanya mengambil keuntungan dari hak siar, tanpa mempedulikan mengenai olahraga atau atlet itu sendiri.

Di sini, olahraga secara langsung merugi, walaupun penonton akan menyukainya karena tayang pada jam prime time.

Kesimpulan yang dapat ditarik adalah media massa dan olahraga memiliki keterkaitan yang tidak mungkin dapat dipisahkan, karena keduanya memiliki keuntungan masing-masing, baik segi popularitas ataupun komersial bisnis.

Namun, ada saat ketika olahraga mendapat porsi kerugian ketika intervensi media sudah terlalu jauh hingga mampu mempengaruhi hasil pertandingan.