Telaah- Agustus jangan "tenggelam" oleh Asian Games dan Pilpres

id asian games,pilpres,isu politik,event olahraga internasional,berita sumsel,berita palembang,Bung Karno, Soeharto, BJ Habibie, Gus Dus alias Abdurrahma

Telaah- Agustus jangan "tenggelam" oleh Asian Games dan Pilpres

Kawasan Bandara Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II dihiasi ornamen terkait pelaksanaan Asian Games 2018 di Palembang. (ANTARA News Sumsel/Feny Selly/Ang/18)

bagi siapa pun yang menjadi presiden untuk membuat perencanaan program kerja yang betul-betul sebagai bentuk dari penjabaran amanah ratusan juta rakyat Indonesia
Periode pendaftaran bakal calon presiden dan bakal calon wakil presiden tanggal 4-10 Agustus 2018 telah usai, menghasilkan dua pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno.

Gegap gempita masa-masa menjelang hingga pendaftaran pasangan bakal capres-cawapres ini disusul mulai berdatangannya para atlet luar negeri peserta pesta olah raga Asian Games 2018 yang telah menyemarakkan Tanah Air.

Kedua pasangan bakal capres-cawapres ini akan memasuki babak-babak berikutnya misalnya pemeriksaan kesehatan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta Pusat. Kemudian Komisi Pemilihan Umum nantinya mengumumkan pasangan mana saja yang berhak memasuki tahapan kampanye sehingga status mereka berdua nantinya bisa berubah menjadi calon presiden dan calon wakil presiden, kampanye hingga pencalonan pada 17 April 2019.

Bersamaan dengan gawe di bidang perpolitikan di Tanah Air tersebut, ada babak lain di bidang sosial budaya yang tak kalah hebohnya yaitu kedatangan para olahragawan dari 45 negara untuk mengikuti AG alias Asian Games yang berlangsung secara resmi mulai 18 Agustus hingga 2 September. Namun ternyata sejak tanggal 11 Agustus sudah ada olahragawan yang bertanding untuk cabang-cabang tertentu seperti sepak bola.

Karena datangnya 15.000 olahragawan dan olahragawati beserta ofisial/petugas serta ribuan wartawan dalam negeri dan asing di Jakarta, Jakabaring-Palembang, Banten serta Jawa Barat maka sudah bisa dibayangkan betapa riuh rendahnya suasana di berbagai kota menyambut acara akbar yang sebelumnya pernah berlangsung satu kali di Jakarta pada tahun 1962. Jalan, trotoar dipercantik, dipoles agar menarik minat tamu-tamu luar negeri.

Padahal pada saat yang bersamaan Negara Kesatuan Republik Indonesia akan merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-73 tepatnya pada tanggal 17 Agustus 2018. Pada tahun-tahun silam, begitu banyak Bendara Merah Putih dikibarkan oleh rakyat dan juga instansi pemerintah dan swasta untuk menyambut hari kemerdekaan tersebut. Sementara itu, berbagai perlombaan diselenggarakan secara swadaya mulai dari memanjat pohon pinang, lomba lari dengan memakai karung dan sebagainya.

Akan tetapi "gara-gara" pilpres dan Asian Games tersebut, maka acara-acara kerakyatan itu kurang gencar dan semarak karena perhatian orang Indonesia terutama Jakarta dan Palembang lebih ditujukan kepada tamu-tamu terhormat di bidang olah raga tersebut.

Sekalipun demikian, ditengah-tengah kesibukan menyambut AG alias Asian Games 2018 serta berlanjutnya terus pesta demokrasi tersebut, maka amatlah wajar bahkan seharusnya jika seluruh rakyat Indonesia kembali merenungkan makna kelahiran negara kesatuan ini, apa saja hambatan atau kendala dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara serta apa yang harus dilakukan agar RI benar-benar akan menjadi negara yang makmur dan sejahtera sehingga angka kemiskinan sebanyak 25 juta jiwa bisa dihapus atau minimal dikurangi semaksimal mungkin.

Sejarah menunjukkan bahwa sekitar 350 tahun Indonesia pernah dijajah oleh beberapa bangsa asing, mulai dari Belanda, Inggris, Jepang hingga Portugis yang semuanya berakhir dengan berdirinya NKRI pada tahun 1945. Indonesia sudah beberapa kali bergantian dipimpin presiden mulai Bung Karno, Soeharto, BJ Habibie, Gus Dus alias Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono hingga kini Joko Widodo.

Karena setiap pemimpin negara itu mempunyai kelebihan dan kekurangan, maka pasti ada saja pujian, penghargaan, hingga kritik bahkan kecaman terhadap para pimpinan pemerintahan tersebut. Bahkan pada tanggal 17 April tahun 2019 akan berlangsung pemilihan pasangan calon presiden-calon wakil presiden untuk menentukan apakah Jokowi akan bertahan alias terpilih lagi ataukah sebaliknya.

Karena itu, adalah tidak salah apabila sekitar 150 juta calon pemilih pada pilpres tahun mendatang ini sudah sejak sekarang juga untuk memikirkan dan merenungkan apakah akan memilih pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin ataukah Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Beratnya tugas pemerintah Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 telah menetapkan bahwa pada dasarnya tugas pemerintah ada beberapa hal yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan ikut menjaga ketertiban dunia berdasarkan perikeadilan dan prikemanusiaan. Tugas-tugas ini amat mulia tapi sangat berat dan tidak bisa diwujudkan hanya dalam waktu setahun ataupun lima tahun tapi puluhan tahun.

Setiap kepala negara sejak Bung Karno hingga Joko Widodo mempunyai berbagai rencana mendasar dan berkesinambungan untuk melaksanakan beban yang ada di bahu mereka. Akan tetapi, masyarakat pasti bisa merasakan bahwa tugas-tugas ini tak akan bisa diwujudkan dalam waktu sekejap.

Selain mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum, maka tiap presiden tentu mempunyai ambisi atau cita-cita politik, misalnya Bung Karno yang ingin memasukkan Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi yang akhirnya memang terjadi dengan terbentuknya kini Papua dan Papua Barat. Kemudian Soeharto ingin mewujudkan program swasembada pangan.

Sang ahli konstruksi pesawat udara Habibie ingin memulihkan kepercayaan dunia internasional kepada NKRI hingga sekarang Joko Widodo yang terus membangun berbagai prasarana fisik terutama jalan dan jembatan serta meningkatkan produksi pangan.

Akan tetapi selama 73 tahun berdirinya NKRI, maka muncul saja berbagai ujian dan cobaan terutama lahirnya berbagai pemberontakan mulai dari PRRI/Permesta, pemberontakan PKI di Madiun hingga yang terakhir G-30 S/PKI tanggal 30 September tahun 1965. Selain itu ada saja gerakan-gerakan atau demonstrasi yang terutama dimotori para mahasiswa serta sejumlah tokoh masyarakat.

Karena kini semakin banyak yang menjalani pendidikan hingga perguruan tinggi sehingga terus lahir warga negara-warga negara yang pintar dan mahir dalam berbagai bidang keilmuan maka presiden yang mana pun juga harus sadar bahwa tugas mereka kian berat alias sulit.

Belum lagi korupsi atau penyalahgunaan wewenang sampai detik ini masih saja tetap terjadi baik oleh kalangan eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Sebut saja nama mantan ketua DPR Setya Novanto, mantan ketua MK Akil Mochtar, mantan ketua DPD Irman Gusman, mantan menteri agama Suryadharma ALi hingga mantan gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, padahal sudah ada Komisi Pemberantasan Korupsi alias KPK yang tetap saja galak dan matanya terus memelototi setiap upaya korupsi.

Jadi apa yang harus dilakukan pemerintah? Melihat begitu banyak tindakan penyelewengan yang dilakukan di begitu banyak jajaran pemerintahan termasuk Polri, TNI dan Kejaksaan Agung, maka tidak ada pilihan lain bagi siapa pun yang menjadi presiden untuk membuat perencanaan program kerja yang betul-betul sebagai bentuk dari penjabaran amanah ratusan juta rakyat Indonesia sambil benar-benar meneguhkan sikap untuk menghentikan apa pun bentuk penyelewengan terutama korupsi, kolusi dan nepotisme atau KKN.

Sudah cukup rakyat Indonesia yang menderita lahir dan bathin. Jadikankah peringatan HUT NKRI ke-73 sebagai titik tolak untuk benar-benar 100 persen mengabdi kepada rakyat dan bangsa Indonesia tanpa pamrih pribadi atau golongan apa pun juga.