Telaah- Tanggung jawab Parpol calonkan koruptor

id koruptor,berita sumsel,berita palembang,berita antara,partai politik,caleg koruptor,kpu,pemilu 2019,calon legislatif

Telaah- Tanggung jawab Parpol calonkan koruptor

Koruptor. (ANTARA/Rosa Panggabean)

Para bekas koruptor itu sama sekali tidak peduli bahwa mereka itu dipekerjakan sebagai abdi rakyat
Tanggal 31 Juli yang merupakan batas waktu verifikasi para bakal calon anggota legislatif baru saja dilewati, namun pembicaraan tentang para eks narapidana kasus korupsi tetap saja masih berlangsung antara lain karena banyaknya anggota partai poltitik yang telah "dicekal" KPU.

Komisi Pemilihan Umum beberapa waktu yang lalu mengeluarkan Peraturan KPK (PKPU) Nomor 20 tahun 2018 yang menetapkan bahwa eks narapidana kasus korupsi, pelecehan seksual terhadap anak-anak dibawah umur serta kasus penyalahgunaan narkotika dilarang dicalonkan dalam Pemilihan Anggota Legislatif yang dijadwalkan berlangsung pada tanggal 17 April 2019.

Akan tetapi sekalipun PKPU 20 tersebut bernilai positif atau baik, tetap saja ada pihak-pihak tertentu yang menentangnya dengan berbagai dalih. Tidak kurang dari Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bambang Soesatyo mengeluarkan komentar yang "aneh". Politikus senior Partai Golongan Karya itu pernah mengatakan bahwa KPU tidak perlu melarang-larang mantan narapidana kasus korupsi untuk mencalonkan diri sebagai legislator.

Bamsoet atau Bambang Soesatyo antara lain berdalih bahwa karena para pemilih sudah semakin pintar dan cerdas maka biarkanlah mereka yang menentukan sendiri pilihannya sehingga KPU tidak perlu mengeluarkan larangan. Akhirnya KPU "dipaksa" mengadakan pertemuan dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) serta Kementerian Dalam Negeri untuk mencari "jalan tengah" terhadap masalah ini.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) terpilih, Arief Budiman. (ANTARA/Rivan Awal Lingga)

Ternyata KPU-lah yang memenangi "pertarungan " ini, sekalipun disepakati bahwa para terpidana itu tetap saja boleh mencalonkan diri atau dicalonkan tapi keputusan terakhir tetap saja diambil KPU sebagai penentu akhirnya.

Jutaan calon pemilih tentu sudah melihat data yang diumumkan KPU tentang nama-nama bakal calon anggota DPR RI, DPD RI, serta DPRD Tingkat I dan II yang dicalonkan 16 partai politik berskala nasional serta beberapa partai yang berskala lokal di Daerah Istimwa Aceh.

Partai-partai itu yang mau tidak mau terpaksa harus mengganti para bakal calon wakil rakyat tersebut antara lain adalah PKB, Golkar, PBB, Hanura, Nasdem, PDIP, PKS, PAN, Gerindra, Demokrat, Berkarya, PKPI serta Perindo. Dengan melihat begitu banyaknya nama parpol tersebut, maka para calon pemilih mampu melihat begitu banyaknya parpol yang "tak bersih- bersih" amat dalam masalah ini.

Kok bisa begitu? Dengan melihat dan kemudian merenungkan nama-nama parpol yang mau tidak mau harus mencoret sekitar 200 bakal calon wakil-wakilnya itu maka bisa disimpulkan bahwa selayaknya bahkan seharusnya parpol itulah yang paling patut dipersalahkan dalam masalah ini. Sudah tahu ada PKPU Nomor 20/2018 ternyata mereka tetap saja nekad mencantumkan nama-nama anggotanya yang namanya sudah tercemar akibat ulah mereka sendiri kok tetap saja dicalonkan untuk duduk di kursi- kursi empuk di DPR, DPD serta DPRD I dan II.

Sekalipun misalnya KPU tidak mengeluarkan PKPU Nomor 20 tersebut, maka seharusnya semua parpol tanpa terkecuali sama sekali jangan pernah mencoba-coba untuk mencantumkan nama-nama orang bermasalah dalam bidang hukum apalagi masalah korupsi, gratifikasi atau apa pun istilahnya bisa dipastikan ditolak semua pihak dalam masyarakat karena dana APBN ataupun APBD dirancang untuk memenuhi kebutuhan hajat hidup orang banyak atau rakyat.

Kalau saja tim seleksi di berbagai organisasi politik itu teliti, cermat serta sangat memperhatikan aspirasi lebih dari 150 juta calon pemilih maka tentu kesalahan itu tidak akan dibuat sama sekali. Atau bisa saja sekalipun mereka tahu bahwa ada bekas "warga binaan" di berbagai lembaga pemasyarakatan yang sudah kembali ke masyarakat, dicoba-coba saja untuk "meloloskan" segelintir nama yang pernah melakukan korupsi terhadap uang yang dipercayakan rakyat kepada mereka.

Karena itu tidak heran jika anggota KPU Ilham Saputra secara tegas mengatakan bahwa sudah terdapat tata cara untuk membatalkan atau menganulir para calon legislator tersebut, dengan dasar tidak memenuhi syarat atau TMS. Bahkan tidak kurang dari Presiden Joko Widodo yang juga pernah menegaskan bahwa kPU memang pihak yang paling berhak mengatur hal ini.

Bersihnya negara Sejak Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus tahun 1945, pasti sudah tercatat begitu banyak kasus korupsi yang dilancarkan para penyelenggara negara mulai dari pejabat pemerintah di tingkat pusat dan daerah, wakil rakyat, serta hakim baik di Jakarta maupun daerah.

Kasus korupsi misalnya yang dilakukan mantan kepala Depo Logistik(Dolog) Kalimantan Timur Budiaji pada tahun 1980 -an yang menyangkut ratusan juta rupiah sangat mengejutkan. Apalagi yang terjadi selama beberapa tahun terakhir ini mulai dari anggota DPR seperti Angelina Sondakh, Mohammad Nazaruddin, Anas Urbaningrum. Kemudian dari kalangan pemerintah seperti mantan menteri agama Suryadharma Ali. Tak kurang dari mantan ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar juga masuk penjara. Belum lagi mantan gubernur Sumatera Utara Gatot Pudjo Nugroho, serta begitu banyak bupati atau wali kota seperti mantan bupati Subang, Jawa Barat Immas S.

Kalau dipikir-pikir secara tenang maka kenapa sih para pejabat negara itu harus tega " makan" uang rakyat padahal mereka sudah mendapat fasilitas yang sangat menggiurkan mulai dari gaji yang besar ditambah dengan beraneka ragam fasilitas mulai dari rumah dinas, uang jabatan, mobil dinas plus ajudan-ajudan dan lain sebagainya.

Para bekas koruptor itu sama sekali tidak peduli bahwa mereka itu dipekerjakan sebagai abdi rakyat sehingga seharusnya orang- orang yang memberikan kepercayan kepada mereka lah yang wajib pertama- tama dilayani dan bukannya malahan menumpuk uang bagi diri mereka sendiri ditambah keluarga serta antek- anteknya alias orang-orang terdekatnya.

Baru-baru ini terjadi gempa bumi di Lombok, Nusa Tenggara Barat yang menimbulkan korban jiwa, luka-luka serta begitu banyak rumah, sekolah, bangunan pemerintah yang rusak serta berbagai fasilitas umum yang harus diperbaiki. Pada kasus seperti ini masih sering terjadi kasus korupsi, penyalahgunaan wewenang. Lihat saja, kasus penyalahgunaan dana bantuan sosial di berbagai daerah.

Bahkan beberapa tahun lalu silam terhadap pembuatan kitab suci Al Qur'an telah terjadi kasus korupsi yang mnelibatkan anggota DPR dari Senayan Jakarta serta segelintir pejabat Kementerian Agama.

Karena itu, sekalipun Pemilihan anggota Legislatif baru akan berlangsung pada 17 April tahun 2019, jutaan rakyat atau pemilih tentu saja berhak menaruh harapan kepada ribuan wakil rakyat di Jakarta dan daerah yang terpilih nanti untuk betul- betul menjaga amanah atau harapan jutaan orang Indonesia bagi terciptanya kehidupan yang baik atau bahkan lebih baik di bidang ekonomi, sosial, budaya.

Rakyat tentu berharap partai- partai politik akhirnya telah mencantumkan nama- nama bakal calon anggota legislatif yang terbaik demi kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga tidak muncul lagi istilah D4 atau datang, duduk, diam dan duit bagi para wakil rakyat terpilih masa bakti 2019-2024.